Please, Adriano, katakan sesuatu! Jangan diam begitu! Tolong, katakan lagi!Tetapi … tidak.Pria itu hanya tersenyum sambil menatap Tabitha, tanpa berkata apa-apa. Tidak ada kalimat yang terucap. Pria itu hanya berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di dada, dan menatap Tabitha dengan matanya yang cokelat gelap.Tabitha mendongakkan kepala, karena memang harus begitu untuk bisa membalas tatapan mata pria itu. Adriano yang tubuhnya tinggi menawan membuat tubuh langsing Tabitha hanya sampai setinggi dagunya.Dan, itu sudah lama disadari oleh Tabitha, kalau dia adalah “si pendek” saat berdiri sejajar di hadapan pria itu.Dan, lagi, adalah perasaan yang sangat menyiksa ketika “si pendek” harus menunggu “si tinggi” berbicara. Ketika leher sudah terasa pegal karena kepala yang terus mendongak. Tetapi, yang ditunggu tidak kunjung berkata-kata.Lalu, ketika Tabitha sudah berdiri di ambang pintu malu. Ketika Tabitha hampir menyesali pengakuannya bahwa dia juga mencintai pria itu, sebagaimana
Dia? Tabitha terpaku.Serius nih?Ini sama sekali bukan keinginan Tabitha. Apalagi mimpinya. Bertemu dengan dia? Si pria itu? Di sini? Sekarang? Dalam situasi seperti ini?Ya Tuhan, apa masih belum cukup usahaku untuk menyembuhkan luka hatiku dulu? Melenyapkan rasa sakit itu? Trauma-trauma yang pernah kurasakan dulu ... apa aku harus mengingatnya lagi, Tuhan? Tidak sanggup rasanya! Biarkan aku bahagia dengan hidupku yang sekarang, Tuhan! Tabitha membatin.Tanpa berpikir dua kali, Tabitha langsung balik badan. Meninggalkan toko itu selagi masih sempat, tanpa membuang waktu. Berusaha secepat mungkin menjauh dari pria itu, pasti pilihan yang sangat jauh lebih baik daripada dia harus menghadapi pria itu lagi. Iya, pasti! Tidak terbayang rasanya kalau harus beramah tamah dengan orang-orang yang pernah menyakitimu, membuatmu sakit hati. Akan seperti apa rasanya?Tetapi ....“Bitha!”... terlambat! Pria itu sudah terlanjur melihat Tabitha.“Bith! Bitha! Tabitha!”Tabitha menolak untuk berhent
Sabtu cerah.Secerah hati Adriano yang sedang berdiri di tengah-tengah supermarket sambil memandangi Tabitha yang sibuk memilih buah alpukat. Sambil mendorong troli berisi aneka bahan makanan, aneka minuman dan makanan ringan yang sudah dipilih oleh Tabitha, Adriano melempar pandangan ke sekelilingnya. Sesekali pria itu tersenyum ramah pada wanita atau gadis-gadis yang mencuri pandang ke arahnya, yang akan membalas senyumannya dengan tersenyum malu-malu, atau membuang muka dengan pipi merona.Tabitha geleng-geleng kepala.“Suka tebar pesona juga rupanya ya? Aku baru tahu ...” ujarnya, sambil memasukkan sekantung buah alpukat yang sudah dia pilih ke dalam troli.Adriano tertawa kecil.“Aku hanya berusaha ramah! Apa itu salah?” Adriano balik bertanya.Tabitha merengut.“Nggak! Siapa yang bilang kalau itu salah?” ujarnya, dengan nada sedikit kesal.Kening Adriano sedikit berkerut."Kamu cemburu?" tanyanya.Tabitha menoleh."Apa? Cemburu? Nggak!" bantahnya."Yes, you are!""Nggak!"Adrian
Bayi mungil yang masih merah itu tertidur pulas di atas kasur kecilnya. Tabitha seolah tidak puas memandangi wajah cantik bayi yang berjenis kelamin perempuan itu. Bibirnya yang merah kecil. Hidungnya yang mungil. Rambut hitam yang masih sangat halus dan lembut. Anugerah yang sungguh luar biasa.“Bayi yang sangat cantik ya! Seperti dirimu!” Adriano tiba-tiba memeluk Tabitha dari belakang. Lengan berbulunya melingkar erat di pinggang gadis itu.Tabitha menggeliat kegelian. Hembusan nafas hangat pria itu mengusap lembut tengkuknya. Rambut panjang bergelombangnya memang sedang digelung. Memperlihatkan tengkuk yang putih mulus dan berbulu halus. Sangat menggoda hasrat Adriano untuk membuat “tanda merah”nya di situ. Tetapi sayang, bukan sekarang saatnya.“Berarti ... aku cantik seperti bayi, begitu ya?” tanya Tabitha.“Yes. But you are my ‘baby’!” Adriano berbisik di telinga Tabitha. Bibirnya menempel di daun telinga gadis itu. Membuat Tabitha semakin menggeliat.“Adrian ....”“Ehem!” Sand
“Hmm … Adriano … kamu ... mau bawa aku ke mana? Adrian ... Adrian ... sayaang ...."“Ke surga, Sayang! Kita akan pergi ke sana! Sabar ya!” ujar pria itu sambil menggendong tubuh seorang gadis menaiki tangga menuju sebuah kamar di lantai tiga.Suara bising dari musik yang menghentak di lantai dua masih dapat dia dengar jelas. Suara desahan nafas dari dalam kamar dengan pintu-pintu tertutup rapat yang baru saja mereka lewati, apalagi!Setelah membaringkan tubuh gadis yang sudah tidak berdaya itu di atas kasur, pria itu langsung mengunci rapat pintu kamar yang selama ini hanya boleh digunakan olehnya.Matanya tampak nyalang menatap tubuh yang sudah terbaring di hadapannya, hampir tanpa busana. Hanya terbalut pakaian dalam yang masih melekat, dan sebuah kemeja yang sudah setengah terbuka. Ulah siapa lagi kalau bukan ulah nakal dari si pria jalang itu? Jeans yang sebelumnya dipakai oleh gadis itu sudah melayang entah ke mana. Dibuka paksa dan dilemparkan begitu saja oleh pria itu.Kancing
Gadis itu terbaring di ranjang rumah sakit. Kondisinya sudah jauh lebih baik, walaupun masih kelihatan lemah. Tidak ada yang mengira bahwa dia mampu bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan fatal seperti itu. Ketika tubuhnya sudah tidak bergerak, semua berpikir gadis itu sudah mati. Pengemudi mobil yang menabraknya pun berpikiran sama. Tetapi, dugaan mereka ternyata salah. Tuhan memberi gadis itu kesempatan hidup kedua. Entah untuk apa.Ketika para petugas membawa tubuh yang mereka pikir sebentar lagi akan menjadi mayat, pengemudi mobil yang menabraknya pun langsung tertangkap. Tetapi sayang, belum sempat mereka interogasi, para petugas aparat itu sudah kecolongan.Mereka hanya lengah sebentar, tetapi nyawa pengemudi yang ternyata seorang pria berbadan besar sudah terlanjur melayang.Dia bunuh diri. Menelan pil racun yang langsung menghancurkan lambungnya saat itu juga.Tidak ada surat-surat. Tidak ada tanda pengenal. Sidik jari pengemudi itu bahkan tidak terdaftar.Segala sesuatun
Beberapa jam sebelumnya.Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di salah satu kamar mandi di dekat kolam renang itu. Sedari tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di kulit tubuhnya. Merasa frustasi karena akhirnya sadar bahwa “kotoran” itu tidak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun, bahwa “kotoran” itu akan terus melekat di kulit tubuhnya, gadis itu menangis tersedu-sedu.Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”.Dia tidak ikhlas tubuhnya “tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak selayaknya menyentuh dia.“Kotoran” itu memang tidak tampak di mata gadis itu. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihat “kotoran” itu. Tetapi, “kotoran” itu masih saja melekat di kulit tubuhnya, di dalam pikirannya. Menghantui dirinya, entah akan sampai kapan. Membuat dia terus merasa buruk. M
Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi, dengan lebih teliti. Bekas luka yang membelah alis mata sebelah kirinya ... Tabitha tidak akan pernah lupa.“Benar kok! Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?”Pria itu tertawa terkekeh.“Iya, itu memang benar saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Dulu kita belum kenalan secara pribadi seperti ini kan ya?” ujarnya, sambil mengulurkan tangan, dan tersenyum.Tabitha menyambut uluran tangan itu.“Tabitha.”“Saya tahu!”“Oh ya? Memangnya Bapak masih ingat nama saya?”Pria itu tersenyum lagi.“Yup! Dan tolong, sudah saya bilang jangan panggil saya ‘Bapak’, apalagi ‘Pak Ferdinan’ lagi! Saya merasa tua kalau kamu yang panggil saya begitu! Umur saya saja cuma lebih tua satu tahun kok dari pacar kamu! Apa kamu juga panggil dia 'Bapak'?”Tabitha melongo.“Apa?”“Adriano Alonzo? Jangan bilang kalau dia bukan pacar kamu lagi ya! Dia bisa mengamuk nanti!”Tabitha menatap heran.“Bapak tahu dari mana kalau ....”“Kan sudah saya bilang jangan p