Barra melangkah untuk membuka pintu. Mamanya sudah berdiri dengan menunjukkan wajah geram padanya. Wanita itu tadi mencari sang putra di kantor dan asistennya bilang kalau Barra sedang keluar. "Mama ingin bicara sama kamu."Bu Diyah masuk dan duduk di sofa ruang tamu. "Delia mana?" "Lagi tidur siang, Ma."Mak Ni dengan sopan bertanya pada Bu Diyah, mau minum apa?"Nggak usah, Mak Ni. Terima kasih. Saya nggak akan lama," jawab Bu Diyah. Mak Ni mengangguk kemudian mundur ke dapur."Kita bicara di luar saja!" Bu Diyah meraih tali tasnya dan langsung melangkah keluar tanpa menunggu jawaban putranya.Barra mengikuti dan mereka turun menggunakan lift. Pria itu tidak mengerti kenapa tiba-tiba mama mencarinya. Biasa sang mama jika butuh bicara hanya akan menelepon saja.Mereka duduk di bangku besi dekat taman kecil samping apartemen."Inneke tadi pagi cerita sama mama. Melihatmu makan siang bareng Cintiara beberapa hari yang lalu. Benar kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?" tanya Bu
Senyum manis terukir di wajah Delia saat Barra melangkah pelan menghampiri meja makan. Mereka sekarang duduk saling berhadapan. Delia mengambilkan nasi, lalu bertanya, "Mas, mau lauk apa? Ayam rica-rica, ikan bakar, atau udang crispy?""Aku akan mengambilnya sendiri."Piring diberikan Delia pada sang suami. Kemudian ia mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Mereka makan tanpa percakapan. Delia menyantap nasi berlaukkan ayam rica-rica dengan lahapnya. Wanita itu begitu santai makan dengan pakaian minim bahan yang melekat di badan. Terlihat santai, tapi siapa yang tahu bagaimana perasaannya.Sesekali Barra memandang pada wanita di hadapannya. Dalam dada ia merasakan satu sayatan yang terasa perih. Ada yang tersentuh ketika menyaksikan semua yang dilakukan Delia malam itu. Bukankah seharusnya dia bahagia karena akan mendapatkan haknya? Namun sayangnya, semua itu dilakukan dengan dalih sebuah 'transaksi' seperti yang dikatakan Delia tadi. Makanan yang seharusnya terasa enak, kini terasa me
Delia masuk dan langsung ke dapur untuk mencuci tangan. Barra mengekori di belakang lalu duduk di kursi meja makan."Sudah jam setengah enam. Mas, nggak mandi dulu. Nanti telat ke kantor." Delia mengingatkan sambil membuatkan secangkir kopi.Beberapa saat Barra masih diam termangu. Sungguh, tidak menyangka kalau Delia bisa setenang itu setelah kejadian semalam. Padahal dulu memandangnya saja sudah ketakutan. "Aku mandi dulu," pamit Barra kemudian bangkit dan melangkah masuk kamar.Setelah kepergian Barra, Delia menarik napas dalam-dalam untuk menghalau sesak yang membuatnya susah bernafas. Netranya berkaca-kaca. Siapa bilang dia tidak hancur? Delia hanya berusaha menunjukkan menjadi perempuan tegar di hadapan laki-laki yang telah membuat retak perasaannya.Ternyata dari konflik ini, Delia bisa mengendalikan hati. Tidak histeris, tidak teriak, juga tidak meringkuk ketakutan. Di puncak tertinggi rasa sakitnya, ia menemukan ketegaran dan keberanian. Dirinya berusaha sekuat hati menekan e
Barra tidak menjawab ucapan sang papa. Ia paham bagaimana jika laki-laki itu sudah berkehendak tidak akan bisa di bantah. Terlebih jika beliau tahu kalau Barra sekarang sedang bermasalah dengan Delia, pasti papanya akan mengamuk karena tahu putranya yang bersalah. Masih berlanjutnya hubungan dengan Cintiara sudah jadi bukti kalau Barra yang berulah."Jauhi Cintiara sebelum papa yang ngasih peringatan sama dia. Sampai kapanpun papa dan mamamu nggak akan merestui kalian. Dia hanya ingin hartamu saja. Jangan kamu pikir, papa nggak tahu kamu telah membelikannya banyak barang-barang branded, termasuk mobil. Mutasi rekeningmu terdeteksi semua, Barra."Mendengar ucapan sang papa membuat Barra makin bungkam. Dulu ia sudah memprediksi kalau lambat laun papanya bakalan tahu juga. Makanya dia bilang pada Cintiara supaya tidak terlalu sering memakai kendaraannya. Alhasil, gadis itu malah sering memintanya untuk menjemput di kantor dan mengantarnya pulang.Bunyi intercom di meja kerja Pak Adibrata
Delia tersenyum miring sambil membuang muka saat melihat pemandangan tak tahu malu di dekatnya. Cintiara memeluk erat Barra sambil menangis. Sedangkan laki-laki itu berusaha melepaskan diri.Hati Delia tidak hanya hancur, tapi seluruh persendiannya ikut remuk redam dan nyaris membuatnya kalap. Jika tidak ingat harga diri, sudah ditampar dan diamuknya perempuan yang tidak mengenal sopan santun itu. Delia menarik napas dalam-dalam, kemudian menoleh pada Barra yang telah berhasil melepaskan pelukan kekasihnya."Apa Mbak nggak punya etika? Yang kamu peluk itu memang kekasihmu, tapi dia masih menjadi suamiku dan ini di rumah kami. Mas Barra memang mencintaimu dan nggak pernah mencintaiku. Kamu menang, aku akui itu. Tapi tolong, jagalah maruahmu sebagai perempuan. Jangan membuat malu sesama perempuan. Terserah kamu ingin melakukan apa denganya, tapi jangan di hadapanku. Hargai aku di sini. Jika kelak kamu menjadi istri. Apa mau kamu diperlakukan seperti ini? Enggak kan?" Delia berhenti s
Delia langsung masuk kamar di lantai bawah. Tidak menempati kamarnya sendiri karena berada di lantai dua. Wanita itu langsung mandi dan berganti pakaian yang diambilkan Mak Ni dari kamarnya. Dari kusutnya sang majikan ia tahu, pasti ada masalah serius. Kalau tidak, untuk apa malam-malam begini Delia pulang. Terus Barra berulang kali meneleponnya dengan nada panik."Mak Ni, kembali saja ke kamar dan istirahat," suruh Delia pada ART yang tampak mencemaskan dirinya."Mbak, nggak apa-apa sendirian?""Nggak apa-apa.""Mbak, sudah makan apa belum?""Saya nggak lapar, Mak.""Saya ambilkan makan ya?"Delia menggeleng. "Mak Ni istirahat saja."Wanita itu mengangguk kemudian meninggalkan Delia. Baru saja masuk kamar, ponselnya berdering lagi. "Ya, Pak Barra.""Delia pulang ke rumah nggak, Mak?""I-iya, Pak. Barusan sampai.""Saya ada di depan pagar sekarang.""Sebentar, Pak." Mak Ni meninggalkan teleponnya di kamar, gegas ke kamar Delia dan mengetuknya perlahan. Tak lama sang majikan membuka pi
Barra turun dari mobilnya dan melangkah tergesa menghampiri mertua yang masih berdiri di teras. Pria berkaus hitam dan celana jeans warna biru itu mencium tangan mertuanya."Ayo, masuk!" ajak Pak Irawan. Bu Hesti telah mendahului dan sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari menantunya."Rini, buatkan minum untuk Mas Barra," teriak Bu Hesti pada asisten rumah tangganya yang baru berumur delapan belas tahun."Njih, Bu." Terdengar jawaban dari arah dapur."Ada apa sebenarnya, kenapa Delia pulang sendirian malam tadi?" Pak Irawan bertanya dengan sikap masih tenang.Barra mengatur napas. Netranya memerah dan lelah karena menahan sebak dalam dada, juga karena tidak bisa tidur hampir semalaman. Dengan pertanyaan mereka, Barra bisa tahu kalau Delia tak menceritakan permasalahannya. "Maafkan saya, Pa, Ma. Maafkan. Saya yang salah!" ucap Barra sambil memandang kedua orang tua di hadapannya secara bergantian."Memangnya ada apa dengan kalian?" tanya Bu Hesti tidak sabar sambil menat
"Apa yang kamu janjikan sama dia? Bukankah dulu kamu bilang sudah putus dengannya?""Maafkan aku, Pa." Jelas Barra menutupi kenyataan yang sebenarnya. Bilang putus tapi dirinya tidak pernah putus dengan Cintiara. Bahkan setelah menikah pun mereka masih tetap berhubungan. Mereka juga telah merencanakan untuk menikah."Maaf? Kamu pikir semuanya bisa diselesaikan hanya dengan kata maaf. Kalau kata maaf saja sudah cukup, penjara nggak akan ada narapidana. Sekarang jujur, apa yang telah kalian perbuat hingga membuat wanita itu masih juga mengejarmu? Kamu telah menidurinya?"Barra mengangkat wajah. Kaget dengan ucapan sang papa. "Nggak, Pa. Sumpah aku nggak pernah melakukan itu.""Berciuman?"Barra diam.Pak Adibrata menghela nafas panjang. "Barra, Barra. Papa jodohin kamu dengan Delia karena papa dan mamamu tahu, dia gadis baik-baik dan sudah hampir pulih dari traumanya. Nggak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya, apalagi soal pasangan hidup. Soal hutang budi pun nggak akan menggelapka