Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Aku nggak mungkin nikah sama perempuan kurang waras, Pa. Batalin ajalah acara lamaran besok." Ibarra bicara dengan nada kesal pada kedua orang tuanya ketika mereka sedang makan malam bersama. Setelah beberapa kali menolak, inilah kesempatan terakhirnya untuk berkompromi dengan sang papa, supaya membatalkan perjodohannya."Nggak mungkin kita batalin, Barra. Lamaranmu tinggal besok. Dua belas jam lagi dari sekarang," bantah Pak Adibrata sambil menyudahi makannya. "Sudah ada pembicaraan matang tentang pertunanganmu dengan Delia. Jadi jangan membuat ulah yang akan mengacaukan bisnis dan karir politik papa. Ingat juga kesalahanmu yang membuat perusahaan kita rugi milyaran rupiah."Pria muda itu bungkam seketika. Ia ingat akan kesalahan fatalnya beberapa tahun lalu yang membuat perusahaan hampir gulung tikar. Namun jika ingat kalau ia harus menghabiskan sepanjang hidupnya dengan seorang perempuan yang depresi membuat selera makan Ibarra mendadak musnah. Rica-rica ayam kesukaannya terasa ha
Samudra meraih ponselnya yang tergeletak di meja kamar. Ada panggilan tak terjawab dari Delia. Dokter itu langsung melakukan panggilan balik. Namun berulang kali di telepon tak ada jawaban. Kenapa Delia meneleponnya malam-malam begini?Lelaki yang masih memakai handuk sebatas pinggang itu gelisah duduk di pinggir pembaringan. Delia meneleponnya waktu dia masih mandi tadi. Samudra memandang jam dinding di kamarnya. Jam sepuluh malam. Perasaannya tak tenang. Semenjak menikah dan ikut Barra pindah, Delia hampir tidak pernah menghubunginya. Gadis yang dulunya periang itu kini jadi pendiam setelah kejadian perampokan setahun yang lalu.Mak Ni, Samudra mencari nomer asisten rumah tangga yang menemani Delia. Namun ia hanya memandang sederetan angka itu tanpa melakukan tindakan. Sudah malam, Samudra tidak enak kalau nanti akan mengganggu wanita itu. Kasihan, dia juga butuh istirahat.Samudra bangkit dari duduknya dan mengambil baju ganti di lemari. Kemudian menunaikan shalat isya. Kekhawati
Delia memandang di seberang jalan. Dalam mobil Barra ada perempuan yang tadi dilihatnya.Cukup lama keduanya terdiam. Delia tidak ingin bicara lebih dulu karena bukan dia yang harus menjelaskan. Sedangkan Barra masih memandangnya. Kemudian berdiri menegakkan tubuh. "Yang kamu lihat bersamaku tadi namanya Cintiara," kata Barra mulai bicara. "Kekasihmu?" tanya Delia menatap manik hitam suaminya.Barra diam. "Nggak usah merasa canggung atau apa. Orang nggak waras tak kenal cemburu, Mas. Nggak kenal sakit hati juga. Susah senang dia akan terus tersenyum," Delia bicara dengan tenang. Di puncak rasa sakit, kecewa, trauma, dan bayangan buruk yang sekejab tadi menjelma, Delia bisa setegar itu. Biasanya dia histeris jika ada sesuatu yang membuatnya teringat lagi oleh tragedi setahun yang lalu. Tapi kali ini dia bisa tenang. Meski sebenarnya dalam hati merasakan luka. Dia tidak gila, jadi perih tetap ia rasakan.Cak Rohmat yang baru kembali dari membeli rokok, menyapa ramah pada Barra. Kemudi
"Apa perkataanku salah?" tanya Barra penuh selidik."Seorang kakak pasti mencintai dan akan melindungi adiknya," jawab Samudra. Dia harus mengendalikan emosi. Jika sampai mengaku, keadaan bisa runyam. Barra bisa menimbulkan masalah baru dengan memanfaatkan pengakuannya. Bisa saja Barra menuduhnya menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya dengan Delia. Padahal sejak awal Samudra sudah bisa merasakan kalau hubungan mereka tidak sebaik yang dikira keluarganya. Jika suatu hari nanti dia harus bicara jujur, mesti dipastikan waktunya tepat saat itu."Aku titip adikku.""Seorang suami juga tahu apa yang harus dilakukan pada istrinya," jawab Barra cepat.Samudra menarik napas berat. "Oke, kamu lebih berhak. Tapi jangan buat dia lebih sakit dari sebelumnya. Kamu tidak tahu bagaimana dia berjuang mengatasi trauma."Hening. "Aku mengenalmu sudah lama, dokter. Semenjak remaja kita sering bertemu. Sebagai sesama lelaki, aku bisa merasakan bagaimana perasaanmu pada Delia. Bukan perasaan seorang
Tangan Delia mulai gemetar saat ingat bagaimana lelaki jahanam itu menggagahi dan menyiksa kakaknya. Gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Kedua tangannya diapit di antara paha untuk menyembunyikan getarnya. Kemudian menarik napas berulang kali hingga dadanya tak sesak lagi.Barra yang mulai paham dengan kebiasaan Delia mengambil air minum di pintu mobilnya. "Minumlah!""Terima kasih."Dua puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang pemukiman elite kediaman Pak Adibrata. Mobil masuk ke halaman sebuah rumah mewah berlantai dua. Barra meraih tangan Delia ketika mereka melangkah menuju teras rumah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman suaminya. Baru kali ini Barra bisa merasakan kecemasan Delia. "Yang berada di dalam sana kerabat semua. Kamu nggak usah takut."Delia mengangguk pelan. Di depan keluarga mereka harus terlihat mesra.Kehadiran mereka jadi pusat perhatian karena datang paling telat. Dengan senyum ramah, Barra membalas sapaan para kerabat dan membawa