Kurang baik apa mereka pada dirinya, sudah menyakiti hati Delia, tapi masih menghargainya sebagai menantu. Mungkin yang dikatakan orang tuanya benar, mereka berniat menjodohkannya dengan Delia tentu bukan semata-mata karena balas budi. Mereka menginginkan yang terbaik untuknya. Sebab record buruk kakaknya Cintiara sudah sangat melekat dalam keluarga besar mereka. Jadi sampai kapanpun, hubungannya dengan gadis itu tidak akan pernah mendapatkan restu. Tidak hanya orang tuanya yang menolak, seluruh keluarga besar mereka akan turut mengecam. Mereka tidak akan pernah lupa sosok Siska yang membuat hancur rumah tangga sepupunya Barra.Barra mengambil bluetooth earphone dari dalam dasbor. Kemudian menghubungi Delia, tapi panggilannya tidak dijawab. Dua kali tidak dijawab semua. Padahal Barra yakin kalau Delia pasti belum keluar kamar. Apakah sebenarnya dia marah? Tapi ditutupi dengan sikapnya yang tenang.Ketika Delia bisa tenang dengan caranya sendiri, ganti Barra yang kelabakan karena gelis
"Hayo, berani nggak, Mas?" tanya Delia sambil tersenyum."Jebakan ini," sahut Samudra cepat. Membuat Delia ganti yang terkekeh. Entahlah, Delia sangat penasaran. Tidak pernah sekali saja sang kakak menceritakan sosok gadis yang ditaksirnya. Terkadang terbesit pertanyaan konyol, 'Apa kakaknya termasuk pria tak normal?'"Mas, bulan depan usia Mas genap tiga puluh dua tahun. Hmm, kapan mau ngenalin calon istri pada kami?"Samudra tersenyum simpul. Tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu. Seperti rekan-rekannya, dia juga ingin menikah dan memiliki keluarga. Tiap pertemuan alumni, mereka datang bersama keluarga kecilnya. Dengan bangga mengenalkan istri dan anaknya. Sungguh momen yang selalu dinantikan oleh insan lajang seperti dirinya. Samudra mengangkat wajah menatap adiknya. "Bukan sekarang, Delia. Kalau sudah ketemu yang tepat, pasti Mas kenalkan pada keluarga."Delia menyangga dagunya dengan kedua tangan dan menenung lekat pria di hadapannya. Dia tidak menyadari bahwa tatapan lembu
Arsitek muda di depannya enak juga diajak diskusi. Meski memberikan sanggahan, tapi dia tahu waktu yang tepat untuk menyela dan menjelaskan. Berbeda dengan Barra yang langsung to the point saja jika merasa tak suka. Bagus juga karena jujur tapi terkesan tidak sopan dan terkadang membuat lawan bicara tidak nyaman. Ini penilaian Delia akan sosok dua lelaki itu. Mungkin memang Delia tidak menyadari jika Barra memperhatikan interaksinya dengan Xavier. Dia tidak paham sikapnya telah memantik rasa tak suka di hati suaminya. Makanya sesuka hati Barra untuk membantah.Meeting selesai tepat di jam makan siang. Delia, Xavier, Pak Feri, Mbak Ida, dan seorang laki-laki perwakilan dari Barra lunch bersama. Xavier penasaran dengan sosok laki-laki yang menjadi suaminya Delia. Apa dia tidak satu perusahaan dengan istrinya? Hendak bertanya segan juga."Maaf, Mbak Delia. Pak Barra ingin bicara?" Wakil dari Barra memberikan ponselnya dengan sopan pada Delia. Perempuan itu berdiri dan menjauhi meja maka
"Kurasa sekarang kamu pasti menyadari, dia perempuan seperti apa. Tentunya nggak gila seperti yang kamu duga sebelumnya. Cerdas malah." Remy terkekeh setelah bicara. Dia ingat ketika sahabatnya itu cerita kalau akan menikahi gadis depresi. Ternyata sekarang posisi sudah terbalik. Siapa yang depresi untuk saat ini?Sebagai sahabat yang tahu banyak tentang Barra, termasuk hubungan rumitnya antara Delia dan Cintiara. Ia yakin bosnya itu sudah menyimpan rasa pada sang istri. Hanya saja masih gengsi untuk mengakui. Sebab selama ini Barra memandang sebelah mata pada Delia yang kala itu terganggu mentalnya."Andai saja waktu itu kamu mendengarkan saranku. Tentu masalahmu nggak akan serumit ini. Sadar atau enggak, kamu sekarang mulai jatuh cinta, tapi kamu masih terikat dengan kisah lama. Satu menuntut ingin dilepaskan, satunya ingin agar kamu mempertahankannya. Coba saja kamu sudah tegas di awal. Aku nggak nyalahin Delia yang mau cerai, karena kamu mencintai wanita lain dari masa lalumu. Aku
Mentari belum menampakkan diri karena mendung kelabu menutupi langit pagi. Barra telah rapi dengan baju kerjanya dan menatap langit dari balkon kamar. Sedangkan Delia baru saja keluar dari kamar mandi dan buru-buru berganti pakaian. Setelan celana panjang dan blouse lengan panjang warna beige dengan aksen tali yang bisa diikat membentuk pita di kerahnya."Hari ini, maukah kamu menemaniku?" tanya Barra hati-hati pada Delia yang duduk di kursi meja rias."Ke mana?""Menemui Tiara dan keluarganya. Biar kamu percaya dengan keputusanku.""Aku nggak ingin terlibat dalam hubunganmu dengan mereka. Mas, selesaikan saja sendiri," tolak Delia."Aku ingin kamu percaya dengan keputusanku."Delia hanya menggedikkan bahunya. Banyak faktor yang bisa menjadi alasan Barra ingin mempertahankan pernikahan dengannya. Tapi Delia tidak yakin karena alasan cinta. Bagaimana mungkin semudah itu ia melupakan perempuan yang telah dipacarinya bertahun-tahun demi orang yang baru dikenalnya beberapa bulan ini. Dia
Delia memejamkan matanya lebih rapat lagi. Berharap lekas terlelap. Nyatanya tak bisa. Semua pergerakan Barra di belakangnya masih bisa dirasakan. Getar ponsel di nakas juga masih ia dengar. Siapa yang menghubungi malam-malam begini kalau bukan perempuan itu. Tidak mungkin Relasi bisnis. Mereka orang-orang profesional yang tahu waktu untuk membahas pekerjaan. Barra bergeser dan memeluk pinggangnya. Spontan Delia memindahkan lengan itu."Kamu belum tidur?" tanya Barra.Perlahan Delia merubah posisi. Kemudian menoleh dan memandang sepasang mata yang bernaung di bawah alis tebal hitam laksana kepak sayap burung elang itu. Mereka bersitatap, lalu Delia yang lebih dulu mengalihkan pandangan. Banyak hal yang membuncah dalam dada, tapi tidak tahu mana yang harus diutarakannya. Tentang keraguannya, tentang rasa sakit yang masih terasa, atau tentang perasaan Barra terhadapnya.Hampir lima bulan ini Barra tidak hanya curang diam-diam di belakangnya. Namun melakukan dengan jelas di depan matany
Diam sejenak. Mungkin di antara mereka bertiga hanya Barra yang tahu tentang perasaan Samudra."Aku kehilangan Mbak Melia, Van. Aku depresi cukup lama karena peristiwa itu.""Aku tahu. Seorang teman menceritakan tentang itu padaku. Tapi saat itu aku nggak bisa pulang karena ada sedikit masalah di sana.""Nggak apa-apa. Aku sudah waras kok sekarang," jawab Delia terkekeh. Yovan ikut tersenyum haru. Di matanya, Delia tetap menjadi sosok yang menyenangkan."Kamu sudah menikah?"Yovan menggeleng. Delia jadi canggung.Dari percakapan mereka, Barra bisa tahu sejauh mana keakraban Yovan dengan keluarga Delia. Mereka ternyata sudah begitu dekat. Sekarang ia tahu bagaimana rasanya tak dianggap meski ada di depan mata. Dia melakukan hal yang sama pada Delia di awal pernikahan mereka hingga beberapa bulan kemudian. Begini saja sangat terasa kalau tidak dihargai, bagaimana dengan perasaan Delia waktu dirinya bermesraan meski hanya dengan kata-kata via telepon.Sorot mata lelaki itu terlihat masih
Suasana hangat dan penuh canda di ruang makan rumah Pak Irawan. Anak-anak dan menantunya berkumpul untuk dinner bersama. Menu kesukaan masing-masing tersedia di meja. Kebetulan kegemaran Samudra, Delia, dan Barra sama. Ayam rica-rica. Nira lebih suka lapis daging. "Papa bahagia jika ada kesempatan kalian bisa ngumpul seperti ini," ujar Pak Irawan sambil memperhatikan satu per satu putra-putrinya."Apalagi kalau nanti ditambah suara tangisan bayi. Iya kan, Mbak?" Nira dengan riang menggoda Delia. Sementara yang digoda, dengan tenangnya menikmati hidangan. Barra melirik sekilas sang istri. Bu Hesti juga menatap putrinya. Wanita itu sudah rindu dengan tangisan bayi di rumah besar mereka.Percakapan beralih tentang bisnis. Pak Irawan mengingatkan Samudra mengenai sarannya dulu untuk membuka usaha dalam bidang penyediaan peralatan kesehatan. Tentang bisnis dan seluk beluknya, Delia sudah menguasai. Sementara dalam bidang kesehatan, Samudra juga ahlinya. Klop kan untuk membentuk sebuah pe