Mereka saling bersipandang. Kemudian Delia duduk di sofa tunggal warna krem. Barra menghampiri dan duduk di bibir ranjang tepat di depan sang istri. "Kamu nggak mau hamil?"Delia mengalihkan pandangan dari tatapan suaminya. "Kamu masih berhutang penjelasan padaku. Kenapa?"Hening. Delia menarik napas dalam-dalam kemudian kembali menatap sang suami. "Aku nggak akan mengandung anak dari lelaki yang nggak mencintaiku. Aku nggak ingin anakku menjadi korban keegoisan orang tuanya saat kita bercerai nanti.""Siapa yang bilang kita akan bercerai?" Barra menatap lekat istrinya. Sorot tajam netra itu membuat Delia tidak sanggup menentangnya."Aku memang telah membuat kesalahan. Aku sudah minta maaf dan ingin memperbaiki hubungan kita. Sudah kubilang kalau kita nggak akan bercerai." Suara Barra melunak. "Kamu nggak memercayai ini, Delia?""Nggak. Karena Mas masih membiarkan perempuan itu bisa menghubungimu. Berapa kali dalam sehari ini dia telah meneleponmu. Apa ini yang namanya kita memperbai
Rasa panas menjalar di seluruh aliran darah Delia. Wajahnya menghangat dan mungkin kulitnya sudah merona kecewa. Dia mengalihkan pandangan pada sederetan kendaraan milik penghuni apartemen lain. "Mungkin aku hanya jadi objek pelampiasanmu saja, Mas. Tampaknya kamu sangat bahagia membuatku tak berdaya." Selesai bicara Delia masuk mobil lantas pergi meninggalkan suaminya sendirian.Dahi Barra mengernyit, ia tidak paham dengan maksud ucapan istrinya. Dalam perjalanan Barra makin tak mengerti, hingga akhirnya dia sadar bahwa Delia telah salah paham. Maksudnya jika Delia menikmati, berarti secara tidak disadari mulai timbul chemistry di antara mereka berdua.Apa karena awal hubungan yang buruk dan rumit, Delia sampai sekarang tetap menilainya negatif. Begitu susahkah dia mempercayainya meski dari satu sisi saja? Barra mendesah pelan sambil mengamati jalanan yang penuh mobil berhimpitan.Barra tidak ada maksud melukai istrinya dengan perkataan mengenai hal sensitif yang baginya merupakan s
Delia menatap lama wajah berahang kokoh dihadapannya. Ingin menemukan kejujuran dari sorot mata dan ucapan Barra. "Mas, semalaman aku sudah berpikir dan aku nggak risau lagi dengan perjalanan hidupku. Aku nggak takut kehilangan orang yang nggak setia. Aku nggak akan rugi kehilangan orang yang tega mengkhianatiku. Setelah aku diberikan kesempatan oleh Allah pulih dari depresi, terus menjalani pernikahan yang penuh duri, sekarang aku akan remove toxic people. Aku akan bertahan selagi mampu dan pergi jika perlu."Barra diam menatap Delia. Berhadapan dengan perempuan cerdas dan terpelajar seperti Delia, Barra hanya perlu membuktikan dan bukan sekedar bicara. Keputusannya mengajak Delia liburan sudah tepat. Mereka akan memiliki waktu untuk bicara berdua saja. Delia tidak takut kehilangannya tapi ia mulai takut ditinggalkan istrinya. Perempuan seperti Delia tidak akan kesulitan mencari penggantinya. Ada Samudra dan Yovan yang siap kapan saja menggantikan posisinya sebagai suami. Bahkan tad
"Mas." Delia menatap mata Barra yang begitu dekat dengannya. "Jika suruh memilih. Mas lebih memilih memiliki cinta seorang perempuan atau tubuhnya semata." Pertanyaan yang diajukan Delia beberapa menit usai Barra memekikkan gelora kemenangannya. Setelah pria itu mulai stabil mengatur napas."Dua-duanya.""Aku hanya memberikan option untuk satu pilihan saja.""Nggak bisa. Harus dua-duanya." Barra tetap menyangkal. Ia tahu kalau sedang dijebak istrinya. Lagipula secara logika, pasti semua orang akan memilih paket lengkap. Cinta dan raganya."Kenapa kamu memberikan pilihan itu?" tanya Barra penasaran."Banyak pernikahan yang memilih bertahan hanya karena mementingkan status. Demi menjaga perasaan anak dari korban broken home. Pernikahan seperti ini sudah kehilangan cinta di dalamnya. Mereka hanya butuh raga jika sewaktu-waktu hasrat minta dituntaskan. Namun perasaan sudah hambar entah ke mana."Delia berhenti sejenak. "Waktu SMP aku punya teman dari sebuah keluarga yang sangat berantakan
"Aku ingin naik kuda, Mas!" Delia melepaskan tangan Barra dari pinggangnya. Kemudian melangkah menuju kuda-kuda yang disewakan di tepi pantai.Barra sebenarnya keberatan. Dengan alasan siapa tahu hubungan mereka semalam bisa menumbuhkan benih di rahim Delia. Jika mengalami guncangan, bukankah itu sangat riskan."Kita bisa naik satu kuda untuk berdua," kata Barra. Jika bersamanya, Barra tak akan membiarkan kuda itu berlari.Tampak Delia berpikir sejenak, kemudian mengiyakan karena malas untuk berdebat. Akhirnya Barra duduk di belakang istrinya. Berkuda berdua menyusuri tepian pantai sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi. Kemudian menyusuri jalanan yang kanan dan kirinya persawahan. Menghirup udara segar dan bebas. Kebersamaan yang membuat beberapa pasang mata menatap iri.Setelah perut terasa lapar karena tadi hanya minum teh dan makan roti tawar sebelum ke luar kamar, mereka menuju sebuah rumah makan. Sarapan sambil menikmati pemandangan hijaunya persawahan di sebelah kiri d
"Mas, kamu tau kan kenapa aku belum siap punya anak?" tanya Delia sambil menyusun lagi pakaian bersihnya yang berantakan ke dalam koper.Mereka saling berpandangan."Maafkan aku. Aku butuh beberapa waktu lagi untuk meyakinkan diriku sendiri. Bahwa aku layak untuk kamu pertahanan. Aku layak menjadi ibu dari anakmu. Jangan sampai Mas menyesal karena anakmu dilahirkan oleh perempuan yang pernah depresi."Barra berdecak lirih. Ucapan Delia yang menyalahkan dirinya sendiri membuatnya merasa tersudut. Sebab dulu selalu memojokkan Delia karena kondisinya kala itu. Dipikir Barra, Delia sudah lupa. Nyatanya tidak.Delia duduk di dekat suaminya. "Waktu Mas mandi tadi, Tiara meneleponmu.""Biarkan saja.""Dia akan terus mengejarmu, sampai Mas menikahinya. Karena Mas pernah menjanjikan itu.""Ya, itu salahku. Sejak dulu aku memang bilang ingin menikahinya jika telah mendapatkan restu keluarga. Tapi sebenarnya aku sudah mengajaknya bicara dan aku bilang ingin mempertahankan pernikahan kita.""Aku
"Siapa yang menelepon?" tanya Barra yang telah terbangun. "Kekasihmu."Barra duduk di sebelah istrinya."Aku bilang nggak usah diangkat kan?""Sejak tadi dia menerorku. Aku capek, Mas." Pria itu mengambil ponsel Delia. Kemudian menghapus semua foto dan memblokir nomer Cintiara."Kita akan hidup dalam bayangan masa lalumu. Entah sampai kapan? Sekarang Mas bisa saja bertahan denganku, tapi nggak tahu nanti. Khilaf bisa saja terjadi saat Mas tergoda lagi dengan cinta lamamu. Mas bisa saja bilang telah jatuh cinta padaku, tapi mungkin masih menyimpan perasaan padanya. Sekian lama bersama, nggak akan mudah melupakannya begitu saja. Tolong Mas memahamiku sebagai perempuan biasa, bukan malaikat atau bidadari. Suatu saat mungkin aku akan lelah dan menyerah dengan semua ini." Delia berdiri dan kembali masuk kamar. Mengemas semua pakaian dan oleh-oleh untuk keluarga."Kita berkemas dan langsung ke bandara saja," ucap Delia saat Barra menghampiri."Penerbangan masih jam empat nanti.""Nggak a
Setelah Samudra pergi, Diva baru menyadari sesuatu. Dia merasa tak asing dengan dokter tadi. Tatapan teduh matanya seperti pernah ia lihat."Ada apa, Mbak?" tanya Nunik, salah seorang karyawan butik mamanya."Aku sepertinya pernah lihat dokter tadi.""O, dokter Samudra namanya, Mbak. Ramah dan sopan dia."Sekalipun merasa mengenali, tapi benak Diva menyangkal. Tak mungkin dia pria yang ditabrak mobilnya tempo hari. Pria yang dinantikan teleponnya karena ia harus bertanggungjawab atas kerusakan lampu sein. Namun sampai hari ini, pria itu tak menghubunginya. Diva yang waktu itu buru-buru, tidak sempat mengingat plat nomer mobilnya."Nanti kalau ibu sudah boleh pulang, telpon saja aku ya. Aku yang akan jemput ke sini daripada kamu ajak naik taksi." Diva berpesan pada Nunik. Dan gadis itu mengiyakan.Sementara Samudra yang sudah selesai visit pasien, kembali ke ruangannya dan melepaskan masker. Tidak mengira kalau hari ini dia bertemu dengan gadis itu lagi. Walaupun dia tidak menyadari ba