"Ketika kita tidak tahu arah, Tuhan selalu memberi petunjuk melalui hati yang tenang."
--- Zahra melangkah menuju kelas dengan langkah kaki yang sangat yakin, berusaha menenangkan pikirannya yang masih kacau setelah percakapan singkat dengan Hafiz. Meskipun ia berusaha untuk tidak memikirkannya lagi, tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Semakin hari, kehadiran Hafiz semakin terasa dan tidak bisa ia dihindari. Tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga dalam pikirannya. “Zahra, kamu baik-bain saja?” tanya Aisyah yang duduk di sampingnya saat mereka masuk kelas. “Aku baik-baik saja,” jawab Zahra, berusaha tersenyum. Aisyah memandangnya dengan tatapan penuh curiga, “Kamu kok kayaknya nggak tenang gitu? Apa ada yang menganggu pikiranmu?” Zahra hanya menggelengkan kepala, lalu berkata, " Aku hanya kecapean aja ko, soalnya banyak tugas akhir-akhir ini. Kamu tenang aja aku engga apa-apa ko." Aisyah tidak yakin, tetapi tidak memaksak sahabtanya untuk bercerita padanya. Mereka duduk dan mulai mempersiapkan buku pelajaran mereka. Namun, Zahra tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda. Hafiz, yang sebelumnya selalu menjadi sosok yang biasa ia lihat di kelas, kini seakan menjadi bayang-bayang dalam kehidupannya. Setiap kali ia menoleh, selalu saja ada sosoknya yang muncul entah dari mana. Hari itu, pelajaran baru dimulai, dan Hafiz datang terlambat. Dengan terburu-buru, ia masuk ke ruang kelas dan langsung berjalan menuju kursinya di sebelah Zahra. “Maaf aku telat,” katanya sambil tersenyum, berusaha menutupi rasa canggungnya. Zahra mengangguk sekilas, tetapi tidak memberikan komentar. Meskipun ia merasa sedikit risih, ia berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran. Namun, mata Hafiz terus menatapnya dengan intens. Zahra bisa merasakannya meskipun ia berusaha menatap buku di depannya. Ketika pelajaran selesai, Hafiz mendekati Zahra, “Zahra, bisakah kita bicara sebentar setelah pelajaran?” Zahra sedikit terkejut mendengar permintaannya, tetapi ia mengangguk, “Tentu, ada yang perlu dibicarakan?” “Cuma... ada hal yang ingin kutanyakan,” jawab Hafiz dengan nada ragu. Setelah kelas berakhir, Zahra dan Hafiz berjalan keluar kelas bersama. Mereka berhenti di lorong yang cukup sepi, hanya ada beberapa siswa lain yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. “Zahra, aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu,” kata Hafiz, dengan wajah yang serius. Zahra terdiam sejenak, “Kenapa kamu ingin tahu tentang diriku?” Hafiz menatapnya, mencoba menyusun kata-kata. “Karena... menurutku, kamu orang yang berbeda. Kamu nggak seperti yang lain. Kamu tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Itu langka.” Zahra sedikit merasa tersanjung, tetapi juga merasa canggung, “Itu hanya cara aku belajar mengendalikan diri.” Hafiz mengangguk, “Aku rasa itu sangat berharga. Banyak orang di sekitar kita seringkali kehilangan kendali atas diri mereka.” Zahra merasa sedikit terharu mendengar perkataan Hafiz. Meskipun mereka belum terlalu lama saling kenal, ada sesuatu yang membuatnya merasa nyaman berbicara dengannya. Tapi, ia tahu, ada banyak hal yang perlu ia pertimbangkan. “Jangan terlalu memujiku,” jawab Zahra dengan sedikit tertawa, “Aku hanya mencoba untuk jadi lebih baik, seperti yang diajarkan di sini.” Hafiz tersenyum, tetapi kemudian ekspresinya berubah menjadi lebih serius, “Aku tidak mengerti, Zahra. Kenapa kamu selalu menjaga jarak dengan orang lain? Kamu sangat berbeda, tapi dalam cara yang baik.” Zahra terdiam, “Karena aku tahu, kita harus menjaga diri kita dari hal-hal yang tidak seharusnya terjadi. Terutama dalam pergaulan.” Hafiz terkejut mendengarnya, “Apa maksudmu?” Zahra menatapnya dengan tajam, “Hafiz, dalam hidup ini, kita seringkali menghadapi pilihan sulit. Dan aku sudah belajar, bahwa menjaga diri adalah hal yang paling penting. Kita nggak boleh terjerumus hanya karena godaan sesaat.” Hafiz terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Aku paham. Maaf kalau aku terlalu berani mendekatimu.” Zahra tersenyum tipis. “Aku bukan orang yang mudah terbuka. Tapi terima kasih, sudah berbicara jujur.” “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai dirimu,” kata Hafiz, akhirnya, “Aku nggak akan menekanmu untuk apapun. Tapi aku ingin kamu tahu, kalau aku ada jika kamu butuh teman.” Zahra merasa sesuatu yang hangat menyelinap di dalam hatinya. Meskipun ia tahu, perasaan itu adalah sesuatu yang harus ia jaga agar tetap terkontrol, ia merasa terberkahi memiliki teman sebaik Hafiz. Namun, di dalam hati kecilnya, ada bisikan yang mengingatkan, "Hati yang terlena mudah terjatuh, tapi hati yang waspada akan selalu menemukan jalan." Setelah percakapan itu, mereka berpisah. Zahra berjalan menuju tempat duduknya di perpustakaan, mencoba mencerna segala sesuatu yang baru saja terjadi. Aisyah yang sejak tadi menunggunya di meja membaca langsung menatap Zahra dengan penuh perhatian. “Kamu kelihatan agak berbeda,” katanya. “Ada yang kamu bicarakan dengan Hafiz tadi?” Zahra menggelengkan kepalakepala, “Nggak ada apa-apa. Kami hanya ngobrol sebentar.” Aisyah tidak puas dengan jawaban itu, tetapi memilih untuk tidak memaksa. “Kamu harus hati-hati, Zahra. Hafiz itu beda. Dia terlihat serius, dan bisa jadi dia punya niat lebih.” Zahra hanya tersenyum kecil, “Aku tahu, Aisyah. Nggak bodoh. Aku hanya... nggak tahu harus bagaimana.” Aisyah menatapnya tajam, “Jangan sampai kamu terjebak, Zahra. Hati-hati.” Zahra mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya, perasaan yang sama masih terus mengguncang. Meskipun ia berusaha untuk menjaga jarak dan fokus pada tujuannya, perasaan itu, perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, perlahan tumbuh semakin kuat. Namun, ia tetap berpegang pada satu keyakinan, "Jika hati kita dijaga dengan baik, maka tidak ada yang bisa mengganggu kedamaian dalam diri kita." Dan hari itu, Zahra tahu, langkah kecil yang ia ambil bisa mengubah segalanya. Tetapi ia juga sadar, bahwa untuk melangkah lebih jauh, ia harus berhati-hati. Karena terkadang, langkah pertama membawa kita ke jalan yang tak terduga.Hafiz duduk sendirian di kamarnya, matanya terpaku pada layar ponsel yang bergetar di tangannya. Pesan dari Zahra yang baru saja mengungkapkan kehamilannya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Ia tahu tanggung jawab yang kini terjatuh di pundaknya, namun ketakutan akan reaksi keluarganya membuatnya ragu untuk mengambil langkah pertama."Apakah aku siap untuk ini?" gumam Hafiz dalam hati, merasa beban yang semakin berat setiap harinya.Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Ia membayangkan wajah ibunya yang penuh kasih dan ayahnya yang tegas, namun bayangan kegagalan dan kekecewaan mereka membuatnya merasa terjebak dalam dilema yang tak mudah.Hafiz menatap foto keluarganya yang terpajang di meja belajar. Senyum bahagia mereka saat liburan terakhir masih jelas teringat. Ia tahu bahwa keluarganya selalu menjadi sumber kekuatan dan dukungan, namun sekarang ia merasa dirinya tidak mampu memenuhi harapan mereka."Tidak bisa te
Zahra merasakan detak jantungnya semakin cepat seiring waktu berlalu. Panggilan dari orang tuanya tidak datang dengan cepat, dan setiap menit terasa seperti jam. Akhirnya, suara langkah kaki terdengar mendekat, diikuti oleh pintu yang terbuka perlahan. Ibunya masuk terlebih dahulu, diikuti oleh ayahnya. Ekspresi wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Ibu, Ayah, ada apa?" tanya Zahra, mencoba menahan kecemasannya. Ibunya duduk di sofa, mengambil napas dalam sebelum berbicara. "Zahra, kami tahu bahwa ada sesuatu yang kamu simpan dari kami. Kami ingin kamu terbuka sekarang." Zahra menunduk, merasakan tekanan berat di dada. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa." Ayahnya duduk di sebelah ibunya, matanya tajam menatap putrinya. "Kamu tahu betapa kami peduli padamu. Jangan biarkan rahasia ini merusak hubungan kita." Zahra menghela napas panjan
Setelah kabar tentang kehamilan Zahra tersebar, sekolah menjadi sangat berbeda. Di setiap lorong, di ruang kelas, dan di kantin, bisikan-bisikan terdengar di mana-mana. Semua orang seolah-olah memiliki pendapat mereka sendiri tentang apa yang terjadi, dan hampir tidak ada yang peduli untuk mengetahui kebenaran dari sisi Zahra. Beberapa teman-temannya mengejek, beberapa menghindari, dan yang lainnya hanya bisa menatapnya dengan penuh kasihan.Zahra, yang biasanya merasa percaya diri di tengah-tengah teman-temannya, kini merasa terasing. Setiap kali dia melangkah di koridor, dia bisa merasakan tatapan tajam yang jatuh padanya. Seolah-olah setiap langkah yang dia ambil penuh dengan penilaian, setiap helaan napasnya disorot dengan sinisme yang tak bisa dihindari.Ia berjalan melewati kelompok teman sekelasnya, dan mereka berhenti berbicara. Beberapa dari mereka mengalihkan pandangan, sementara yang lainnya tampak terbata-bata, mencoba mencari kata-kata yang t
Zahra merasakan tubuhnya semakin lemah saat duduk di bangku kelas. Kepalanya berputar-putar, dan meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran yang sedang diajarkan, pikirannya terus melayang. Setiap napas yang dihirupnya terasa semakin berat. Namun, Zahra mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya, takut jika orang lain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.Satu jam berlalu, dan semakin lama, tubuh Zahra terasa semakin tidak terkendali. Tiba-tiba, perasaan pusing yang sangat hebat datang, dan dalam sekejap, Zahra terjatuh dari bangkunya. Tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras, dan suara benturan itu langsung memecah keheningan ruang kelas. Semua mata langsung tertuju pada Zahra yang tergeletak di lantai, tak bergerak."Aduh! Zahra!" seru Aisyah, yang duduk tak jauh dari Zahra, segera berlari menuju sahabatnya. Ia menunduk, mencoba memeriksa keadaan Zahra, tetapi ia merasa cemas saat melihat wajah Zahra yang pucat dan tubuhnya yang kaku.S
Zahra berjalan gontai menuju kelas, merasa pusing setiap kali langkahnya menginjak lantai. Sejak beberapa hari terakhir, pusing yang tak kunjung hilang membuatnya sulit berkonsentrasi. Tubuhnya terasa lemah, dan mual yang datang begitu mendalam hampir membuatnya tak sanggup bertahan. Namun, Zahra berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan rasa sakit itu. Dia tidak ingin dianggap lemah, tidak ingin ada yang tahu bahwa sesuatu yang besar tengah terjadi pada dirinya. Hari demi hari, dia mulai merasa semakin terjebak. Setiap kali menatap cermin, Zahra merasa melihat perubahan yang semakin jelas. Tubuhnya yang dulu tegap kini terlihat lebih kurus, wajahnya semakin pucat, dan matanya tampak lelah. Meski demikian, dia berusaha tersenyum kepada teman-temannya, berharap mereka tidak melihat tanda-tanda yang semakin jelas. Tetapi, dia tahu, tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Ketika bel berbunyi, menandakan pergantian jam pelajaran, Zahra duduk di bangkunya, berusaha menahan gejala-gejal
Hafiz menatap layar ponselnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Pesan dari Zahra masih terbuka di hadapannya, tetapi kali ini, dia merasa lebih sulit untuk menanggapinya. Perasaannya tidak lagi ringan seperti dulu, ketika hubungan mereka baru dimulai. Semua terasa lebih rumit, lebih berat, dan dia tidak tahu bagaimana harus meresponsnya."Aku tak tahu harus bagaimana, Hafiz. Aku butuh bantuanmu," begitulah isi pesan terakhir Zahra.Perasaan bersalah menggelayuti dirinya. Bagaimana dia bisa mengabaikan pesan itu? Bukankah dia seharusnya berada di samping Zahra sekarang, memberikan dukungan, bukan terperangkap dalam kebingungannya sendiri?Hafiz menggenggam ponselnya lebih erat, berpikir keras. Pertemuan pertama mereka begitu sederhana. Senyum Zahra, canda tawa mereka, semuanya terasa seperti permainan yang menyenangkan. Namun, saat kenyataan datang dengan segala kompleksitasnya, semuanya berubah. Zahra hamil. Dan itu adalah kenyataan yang tidak bisa mere