Di balik pintu itu, tampak Sagara berdiri dengan tangan bersidekap di atas perut. Senyum miring ia sunggingkan saat telinganya menangkap gumaman Fidella dari dalam sana. Tidak terlihat kecewa, hanya ada sesuatu yang membuatnya kesal saat mendengar kalimat itu.
"Wanita itu mengesalkan," tukas Sagara lalu ia berjalan menyusuri lorong kamar yang akan membawanya ke arah, di mana tangga rumah itu berada.
Langkah demi langkah Sagara terus membawanya menuju pintu keluar dari rumah itu. Ini sudah pukul sebelas malam, wajar jika rumah sudah nampak sepi.
Daniel Liam sudah tidur sejak satu jam lalu di kamar tamu sebelah kamar Sagara. Barusan ia pun sempat mengintip sejenak ke kamar Daniel, hanya untuk memastikan.
Ternyata benar saja, bocah itu sudah tidur nyenyak dengan dengkuran halus yang mengembalikan senyum Sagara. Setelah beberapa menit sebelumnya pudar karena perlakuan Fidella.&nbs
"Dr. Sagara, aku benar-benar menyukaimu. Kau tahu, ini adalah kali pertama aku menyatakan cinta pada seorang pria. Sebelumnya merekalah yang selalu mengejarku."Sagara tetap tak bergerak atau sekadar memberi respon akan pengakuan Evelyn. Pria itu terlihat tidak terkejut sama sekali. Tanpa perlu diberi tahu pun, Sagara memang sudah menyadarinya sejak awal.Saat Evelyn dan Veera terus menatapnya dengan binar takjub di pertemuan mereka tadi. Lebih dari itu, sikap Veera dan Evelyn saat makan malam membuat dugaan Sagara makin meyakinkan dan benar adanya."Mungkin aku terlihat seperti wanita penggoda sekarang. Tapi aku tidak peduli, inilah perasaanku dan aku ingin kau tahu itu," aku Evelyn makin tidak tahu diri."Aku sudah beristri, Evelyn," tolak Sagara masih berusaha mempertahankan sikap sopan santun yang telah melekat telak di dalam dirinya."Tentu saja aku tahu. Fidella, gadis itu sepertinya tidak mencintaimu. Dia terlihat ka
"Fidella, bisakah aku minta tolong padamu sekali saja?" Pertanyaan Sagara itu membuyarkan pikiran aneh Fidella."Apa?" jawabnya singkat dengan suara sedikit bergetar."Aku ....""Bicara yang jelas, Sagara.""Tolong siapkan tempat tidur untukku. Di bawah lantai saja, cukup beri aku bed cover dan satu bantal," ucap Sagara tidak menoleh ke arah Fidella. Ia hampir memasuki kamar mandi, sampai Fidella mengatakan sesuatu yang membuat Sagara mengurungkan niatnya."Tidak mau!" tolak Fidella cukup lantang.Sagara menghela napas berat. Ia berbalik dengan telunjuk yang sudah mengarah pada wajah Fidella dari jarak jauh."Kau ini benar-benar! Aku hanya memintamu untuk—""Kau tidur bersamaku," pungkas Fidella cepat."Apa?" tanya Sagara menggumam terkejut. Mungkinkah ia salah dengar?"Kau akan tidur di ranjang ini, di sampingku. Apa kau tuli?" balas Fidella ketus. Namun, dibuat-buat.
Ini hari kedua di Santa Monica, yang juga direncanakan menjadi hari terakhir liburan singkat Sagara, Fidella, dan juga Daniel. Matahari sudah menampakan diri sejak tiga jam lalu.Pantai yang terletak di bagian barat Amerika ini memang selalu ramai dikunjungi. Terutama di akhir pekan seperti ini, orang-orang berlomba untuk menikmati sensasi unik yang kerap mereka dapat saat mengunjungi pantai.Menggelar tikar di sepanjang pesisir, membuat istana pasir, dan berselancar ria di sela ombak besar yang datang. Semua kegiatan itu terlihat sangat menyenangkan dan terbukti membuat semua pengunjung di sana ingin tinggal lebih lama lagi.Fidella mengedarkan pandangannya ke semua penjuru, banyak pria dan wanita dalam keadaan mengenaskan, menurutnya. Terhitung sudah sepuluh tahun keluarganya menetap di New York, seharusnya Fidella sudah terbiasa dengan hal seperti itu.Mata sipit yang dilin
"Kau sendirian saja, Nona?" tanya seorang pria berkulit hitam yang baru saja menghampiri Fidella. Saat ini, Fidella sedang duduk di pasir pantai yang cukup sepi.Ini adalah bagian ujung pantai yang jarang dikunjungi orang- orang. Entah apa perbedaannya yang jelas banyak pengunjung yang mengatakan, bahwa tempat ini kurang menarik. Padahal menurut Fidella tidak ada perbedaan antara tempat sepi ini dengan tempat sebelumnya.Fidella mendongak dan menyunggingkan senyum enggan. Ia sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun, apalagi oleh asing yang tak dikenalnya. Pria itu duduk di samping Fidella, menekuk kakinya persis seperti apa yang Fidella lakukan."Aku temani saja agar kau tidak kesepian," ungkap si pria sekali lagi, Fidella kian risih dibuatnya."Tidak, terima kasih," tolak Fidella sebaik mungkin."Rupanya gadis Asia sangat suka jual mahal, ya?" cet
-Fidella Agri Mathewson-Tangan kekarnya masih menggenggam erat tangan mungilku. Ruas jari kami menyatu tanpa jarak, mengisi kekosongan satu sama lain dan saling melengkapi.Gelenyar hangat di tengah suhu tinggi Santa Monica membuat sekujur tubuhku dibanjiri peluh kegugupan. Setelah kejadian tadi yang membuatku menangis tersedu dalam pelukannya, kami masih betah menyisihkan diri dari orang- orang.Berjalan di tepi pantai selatan berdua. Ya, hanya berdua, aku dan dia. Meninggalkan keramaian yang memang tidak begitu aku sukai, mungkin dia juga.Setengah jam sudah kami seperti ini, terus menyusuri pantai tanpa ujung. Membawaku menuju ketenangan, itulah tujuannya.Pria ini memang sangat penuh kejutan. Sejak aku menyukainya saat jumpa pertama di rumah sakit, kemudian membencinya dengan sangat, hingga kini hatiku kembali luluh karenanya. Selalu ada hal-hal yang membuatku tercengang dan memutar otak begitu keras.
"Kenapa takut bermain air? Fobia?" tanyanya dengan tangan yang masih sibuk menautkan tali-tali untuk menyatukan pelampung itu."Terlalu berlebihan jika disebut fobia. Aku hanya tidak suka bermain air di tempat umum seperti seperti pantai dan sejenisnya. Aku suka berenang, tapi di kolam renang indoor.""Kalau begitu lain kali kita harus mengunjungi kolam renang.""Untuk apa?" tanyaku polos, Sagara meyentil keningku pelan, tetapi cukup untuk membuatku meringis dan melayangkan delikan runcing."Bodoh, tentu untuk berenang. Memangnya orang pergi ke kolam renang untuk apa? Bermain bola?" Dia mencibirku, menyebalkan!"Di kolam renang juga ada yang suka bermain bola, Bodoh!" balasku mulai berani, syukurlah kini suasananya tidak sekaku tadi.Sagara tidak menjawab, ia hanya menatapku. Kenapa dia menatapku begitu? Bukankah yang kukatakan a
"Aku akan pelan-pelan. Jadi, bukalah matamu, Fidella!" perintahnya yang terdengar mengalun lembut. Lihat, dia bahkan tahu aku sedang memejamkan mata erat."Jangan banyak bicara, bawa saja speed boat- nya dengan benar. Aku tidak mau mati muda!" bentakku asal. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku begitu paranoid seperti ini, aku hanya panik.Kekehan kecil menyusup ke indera pendengaranku di antara berisiknya deru mesin dan suara gelombang air. "Katanya tidak fobia, tapi ketakutanmu menjelaskan hal yang sebaliknya," ledeknya membuatku ingin menangis kesal.Dia jahat. Di saat aku ketakutan seperti ini dia masih saja menggodaku.Benar, dia memang tidak bisa dibodohi. Aku fobia bermain di laut. Ini menyeramkan dan dadaku terasa sesak jika berada di dalamnya.Aku mulai takut air laut sejak kejadian itu. Di mana aku tenggelam dan tubuhku teromban
"Kebanyakan wanita selalu mengangungkan perasaan. Menggunakan hati dalam segala hal yang dia lakukan, tidak salah, itu memang kodrat mereka."Sagara mengambil jeda dalam ucapannya. Ia berbelok untuk menghindari speed boat lainnya.Aku masih menatap lekat ke arah pria ini, wajah tenang itu selalu terpampang dalam segala situasi, aku heran. Mengapa dia bisa seperti itu? Menghadapi semuanya dengan santai dan tenang, tanpa terlihat sedikit pun air muka getir, gugup, atau hal sebagainya."Namun, ada satu dampak negatif dari wanita yang seperti itu. Karena terlalu banyak menggunakan hati, wanita jadi lemah. Pola pikir mereka terikat pada satu spekulasi samar hanya karena setitik kebaikan pria," sambungnya yang entah mengapa kurasa seperti tengah menyindir."Menduga-duga adalah kebiasaan wanita, jangan menyangkal karena itu kenyataan!"Sial! Mulutku terkatup, dia menyela