"Berterima kasihlah padaku!" sungut Fidella kesal.
"Hah?" pekik Sagara merasa aneh.
"Aku yang membuatnya bukan ibu!" sentak Fidella sekali lagi. Ia menjelaskan dengan nada tinggi.
Sagara terpaku. "Benarkah itu istrinya?" pikir Sagara konyol.
Menyadari ini memalukan, Sagara menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Ia dibuat tak menyangka oleh tindakan Fidella, istri keras kepalanya.
"Maaf, kupikir itu—"
"Oke, aku paham," potong Fidella memaklumi.
Gadis itu ikut berjongkok di sebelah suaminya. Dia meletakan nampan dan gelas jus tadi di atas tanah berlapis rumput.
"Setiap pagi kerjaanmu memberi makan ikan. Apa kau tidak bosan?" tanya Fidella membuka pembicaraan atau kalau tidak, kecanggungan ini akan mencekiknya lagi.
"Tidak sama sekali. Jika aku bosan, mungkin ikan-ikan cantik ini
"Jika seperti itu yang terjadi, maka lanjutkan saja. Jangan biarkan kebencian itu luntur sedikit pun hatimu. Jika dengan membenciku hatimu akan lebih tenang, maka benci aku selamanya. Lupakan kata-kataku yang pernah memintamu untuk tidak melepasku. Buang aku sejauh yang kau mau!" balas Sagara yang meneriaki Fidella.Merasa hatinya kian panas memikirkan hal tersebut, Sagara mencoba menarik napas dalam. Sagara berdiri, ia tidak kuat berlama-lama berseteru dengan Fidella."Apa ada yang bisa menghentikan laju angin untuk tidak berembus? Apa ada yang mampu menahan dentang waktu barang sedetik saja?" ketus Fidella menyoal sambil menyeka air matanya kasar.Gadis itu ikut berdiri. Menatap Sagara tajam dan menumpahkan kekecewaannya tanpa ragu dan malu. "Tidak satu pun insan yang mampu menghentikan tumbuh kembang perasaan seseorang. Tidak satu pun orang bisa menghentikan hati untuk men
"Siapa bintang tamunya?" tanya Fidella penasaran. Jenny menggulum senyum, sepertinya rencananya mengajak Fidella akan berjalan lancar."Michael Bubble," sebut Jenny sambil menjentikkan jarinya."Really?" pekik Fidella senang."Yups, benar sekali," jawab Jenny yakin.Michael Bubble adalah salah satu penyanyi jazz yang sangat diidolakan Fidella. Beberapa album dari penyanyi berbakat yang sekarang sudah berusia sekitar empat puluh tahunan itu sudah Fidella koleksi sejak lama.Salah satu album yang paling gadis itu suka adalah "It's Time" dan "Call Me Irresponsible". Dengan kedua album itu karir Michael Bubble semakin melejit hingga lagu-lagunya di album itu sukses merajai tangga lagu di Kanada, Us Billboard 200, dan Australia Album Chart.Bisa kalian bayangkan bagaimana perasaan Fidella sekarang ini? Bertemu dengan sang idola, sungguh hal yang
"Jangan mendekat atau aku akan membunuhmu!" ucap seorang gadis dengan nada bergetar takut.Mata sipitnya menatap tajam ke arah sekumpulan pria berbaju hitam yang perlahan kian mengikis jarak dengannya. Tubuh gadis itu sudah membentur tembok, dia terjebak di sana. Tidak ada celah untuk melarikan diri.Seringaian ganjil menjadi momok mengerikan bagi si gadis. Berteriak pun akan terasa percuma, ini sudah larut malam, di saat seperti ini tidak ada satu pun orang yang akan melewati gang sempit nan gelap seperti itu."Ahaha, kalian dengar teman-teman? Gadis cantik ini akan membunuh kita. Oh, mengapa tiba-tiba aku merasa merinding?" ledek pria berjanggut tipis yang memiliki rambut panjang terikat."Aku rela mati setelah bersenang-senang dengannya," ungkap pria lainnya yang tak kalah menyeramkan. Gelegar tawa pun terdengar."Oh Tuhan, kumohon selamatkan aku," batin si gadi
Fidella Agri, gadis itu menopang dagu dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya sibuk menusuk-nusuk helai white toast yang dikenal sebagai roti. Roti berselimut selai kacang itu, seharusnya sudah memenuhi isi perut Fidella.Wajahnya nampak pucat tanpa riasan, hal yang tidak biasa ia lakukan selama ini. Fidella adalah pribadi yang perfeksionis dalam segala hal, dia tidak pernah ingin tampil biasa di depan orang-orang. Oleh sebab itu, make up menjadi salah satu kebutuhan vital yang tidak boleh Fidella lewatkan dalam kesehariannya.Akan tetapi, hal itu tidak begitu ia perhatikan hari ini. Aneh, semua orang dapat merasakan adanya kejanggalan, meski Fidella tak bermaksud mengutarakan isi hatinya.Pandangan gadis itu sayu bagai sekuntum mawar yang tidak tersentuh kesegaran air belasan hari lamanya. Entah hal apa yang sedang Fidella pikirkan, yang jelas sepertinya itu cukup mengganggu."Kau ke
"Kau tahu, seseorang yang tidak bisa berkaca diri adalah pecundang sejati." -Sagara Affandra-Tatapan murka itu tak sedetik pun menyingkir dari mata Fidella. Rasa kesal, kecewa, dan marah berbaur jadi satu.Kesal, saat mendengar dokter lain menggantikannya untuk mengoperasi Mr. Janson. Kecewa, pada Dr. Harold yang sudah bertindak sewenang-wenang dan menyalahi aturan. Marah, karena ternyata Sagara adalah orang yang menggantikan dirinya.Benar-benar sial. Fidella merasa hari ini Tuhan tidak mengizikannya untuk merasa sedikit tenang.Langkah tak sabar Fidella menunjukkan bahwa gadis itu ingin segera menuntaskan permasalahan ini dengan Sagara. Pecundang sialan itu selalu bisa membuat Fidella jadi kebakaran jenggot.Beberapa
"Maaf, semua ini memang salahku." Fidella menunduk sesal. Ia tahu kata maaf tidak akan memperbaiki keadaan. Hanya saja Fidella tetap melakukannya, setidaknya dengan meminta maaf bisa sedikit mengurangi rasa bersalah di hatinya.Fidella sedang berada di ruang kerja Dr. Harold, terletak di lantai enam belas dengan ukuran cukup luas membuat siapa saja bisa melihat pemandangan kota New York yang padat dan tidak pernah tenang. Bangunan-bangunan klasik menjulang tinggi seperti hendak menggapai langit di kawasan Civic Center Manhattan.Di sebelah utara tampaklah Broadway dan kawasan Chinatown. Beralih ke timur terdapat pemandangan indah dari sungai East dan jembatan Brooklyn yang bisa kita nikmati dengan mudah kapan saja.Semua keindahan yang bisa memanjakan mata itu sama sekali tidak memberikan hiburan apa pun untuk Fidella. Wanita itu masih berdiri di samping sofa. Memainkan jemarinya tanpa sadar, sementara Dr. Harold s
"Sudah lama?" tanya Fidella menghampiri Stevan, napasnya terdengar tak beraturan selepas berlari sepanjang jalan takut tunangannya menanti terlalu lama."Tidak, hanya lima belas menit. Satu jam pun aku sanggup untuk menunggumu, Sayang." Stevan mulai menggombal, Fidella tersipu lantas memukul pelan dada bidang prianya.Stevan mengunci tangan mungil itu di sana, mengikis jarak antara dirinya dengan Fidella kemudian merengkuh kekasihnya erat."Ahh, aku sangat merindukan pelukan hangat wanita manja ini," tutur Stevan, menyimpan dagunya pada puncak kepala Fidella."Aku juga sangat merindukanmu, Honey. Kau tahu, akhir-akhir ini Sagara kembali berulah. Aku selalu dibuat kesal setengah mati olehnya," gerutu Fidella sambil mengeratkan pelukannya.Gadis itu menenggelamkan wajah lelahnya pada dada bidang sang kekasih; mencium aroma maskulin khas prianya yang teramat ia suka.
Stevan Anderson, pria itu masih sibuk berkutat dengan segudang pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabnya di perusahaan San Capital Corporation, milik keluarganya. Ia menjabat sebagai manager keuangan di sana.Pria itu perlu belajar banyak tentang berbagai ilmu dan taktik dalam menjalankan usaha, sebelum kelak menggantikan sang ayah sebagai direktur utama. Terlahir dari pasangan Sammuel Anderson dan Jenna Kirania, membuat kehidupan Stevan begitu diberkati dengan harta kekayaan yang melimpah.Statusnya sebagai anak tunggal di keluarga besar Anderson, mau tidak mau memposisikan Stevan sebagai satu-satunya harapan untuk meneruskan bisnis yang telah dirintis kedua orang tuanya. Sejak kecil, pria muda bertalenta ini memang sudah diarahkan untuk belajar bisnis dan mengelola perusahaan.Tidak seperti kebanyakan anak konglomerat lain yang merasa terkekang atau terbebani oleh keinginan orang tuanya. Stevan j