Share

Curhat Kepada Sahabat

Bastian menepuk-nepuk pundak Jonathan dengan perasaan sangat iba. Dia merasa beruntung perkawinannya sendiri dikaruniai dua orang anak perempuan yang lucu-lucu.


Walaupun terkadang masih terdengar suara sumbang mengapa dia dan istrinya tidak mencoba untuk mempunyai anak laki-laki, hal itu tidak dipedulikannya. Bagi dirinya anak laki-laki dan perempuan itu sama saja. Bahkan dikaruniai seorang anak tanpa kesulitan apapun itu sudah merupakan anugerah yang luar biasa dari Tuhan, batinnya dalam hati seraya membandingkan nasibnya dengan Jonathan.


Bro, apakah kau keberatan mengadopsi anak? Barangkali ketidakmampuan istrimu mengandung itu merupakan suatu pertanda dari Tuhan agar kalian memelihara anak-anak yang telantar. Secara finansial, kalian berdua sangat mampu mengasuh beberapa anak sekaligus!”


Jonathan menghela napas panjang. Sepasang mata elangnya menerawang ke langit-langit restoran tempat mereka berdua menyantap makan siang. Beberapa saat kemudian terdengar suaranya lirih berkata, “Aku tidak pernah menuntut Theresia memberiku keturunan, Bas. Bagiku kehadiran seorang anak memang penting, tapi bukanlah yang utama. Perkawinan kami bisa langgeng sampai akhir hayat saja aku sudah amat bersyukur.”


Bro, aku mau nanya sesuatu tapi kamu jangan tersinggung, ya.”


Jonathan mengangguk mengiyakan.


“Pernahkah tersirat dalam pikiranmu untuk…ehm…bercerai?”


Sahabat Bastian itu terpaku sejenak. Lalu dipandanginya lelaki yang duduk di hadapannya dengan tatapan penuh arti. “Jujur saja, pemikiran seperti itu sempat beberapa kali muncul setiap kali Theresia memperlakukanku dengan sewenang-wenang. Tetapi selalu kusingkirkan jauh-jauh karena….”


Jonathan menggantung kalimatnya. Diseruputnya minumannya dan ditenangkannya hatinya selama beberapa saat. Kemudian dilanjutkannya ucapannya dengan perasaan getir, “Pertama, aku dan Theresia menikah secara Katolik, Bro. Sampai kapanpun kami terikat pernikahan di mata Tuhan hingga maut memisahkan kami. Kami terikat oleh janji suci perkawinan yang menyatakan bahwa kami akan selalu bersama-sama dalam keadaan susah ataupun senang, berkekurangan ataupun berkelimpahan, dan sebagainya. Bukankah setiap pasangan pengantin juga menyatakan hal yang sama saat menikah, Bro ?”


“Betul…,” jawab Bastian membenarkan. “Tapi seandainya pada waktu itu kau mengetahui bahwa nasibmu akan menjadi seperti ini, apakah kau masih mau mengucapkan janji suci itu?”


 “Aku tidak mau berandai-andai, Bas. Percuma. Toh, masa lalu tidak bisa diulang kembali.”


 “Lalu sampai kapan kau sanggup bertahan diperlakukan tanpa martabat oleh istrimu sendiri, Jon?”


“Aku tidak tahu,” sahut Jonathan seraya mengangkat kedua bahunya pasrah. Bastian menatapnya dengan sorot mata prihatin.


“Yang aku tahu…,” ucap Jonathan selanjutnya, “Theresia telah berkorban luar biasa untuk memberiku keturunan. Setelah dokter di Malaysia itu memvonisnya mandul, dia masih berusaha berkonsultasi dengan dokter-dokter ahli kandungan di Singapore. Bahkan dia sampai menjalani berbagai terapi pijat dan herbal di Cina yang entah apa namanya aku lupa. Aku selalu menemaninya, melihatnya begitu menderita dan kelelahan menjalani itu semua. Karena itulah ketika dirinya mengalami frustasi akibat kegagalan semua upayanya itu…aku berusaha memahaminya. Aku belajar memaklumi sikapnya yang lambat-laun berubah….”


“Menyakitimu….”


“Betul! Aku tidak sanggup meninggalkannya, Bas. Dia bisa mati sengsara.”


“Sebaliknya kau yang akan mati jika masih terus bersamanya.”


“Akan kuambil risiko itu.”


Bastian menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Kalau orang yang menjadi korban sudah tidak mau berjuang membebaskan diri dari penindasan yang menimpanya, maka aku juga tidak berdaya menolongnya, batinnya sedih.


Dilanjutkannya menyantap makan siangnya dan tidak mengungkit-ngungkit lagi tentang kondisi pernikahan sahabatnya itu.


***


“Pak Jonathan,” sapa sekretaris pribadinya ketika dilihatnya bosnya itu sudah kembali dari istirahat makan siangnya.


“Ya. Ada apa, Bu Rosa?”


“Keponakan saya sudah selesai mengikuti psikotes dan wawancara di ruang HRD, Pak. Apakah sekarang Pak Jon berkenan meluangkan waktu untuk mewawancarainya? Dia sudah menunggu sejak tadi.”


“Oya? Mana orangnya?”


“Masih di dalam ruangan HRD, Pak. Saya tidak berani memintanya datang kemari tanpa persetujuan Bapak.”


“Ya, sudah. Mintalah dia datang ke ruanganku sekarang juga. Aku sudah nggak ada jadwal apa-apa, kan?”


 “Tidak ada, Pak. Besok jam sepuluh pagi ada jadwal meeting properti di kantor satunya, Pak.”


Jonathan manggut-manggut tanda mengerti. Hari ini dia dan Rosa bekerja di pabrik cat yang dipimpinnya. Besok pagi mereka akan menghadiri rapat di perusahaan propertinya yang letaknya agak jauh dari pabrik ini.


Sekretaris pribadinya itu berusia empat puluh tujuh tahun, lebih tua dua belas tahun dari dirinya. Jonathan sejak dulu membiasakan diri memanggilnya dengan sebutan Bu Rosa,  karena perempuan berambut pendek cepak itu merupakan mantan sekretaris ayah mertuanya ketika masih aktif bekerja di perusahaan. Wanita ini begitu efektif dan efisien dalam bekerja.


Ayah Theresia dahulu sangat mempercayainya Begitu pula dengan Jonathan yang kemudian diserahi tongkat estafet untuk terus menjalankan perusahaan-perusahaan milik ayah mertuanya tersebut.


Setelah bertahun-tahun merasa nyaman bekerja sama dengan perempuan setengah baya yang masih kelihatan awet muda itu, pada suatu hari Rosa berkata padanya akan mengundurkan diri.


“Wah! Ada masalah apa, Bu Rosa, sampai pada keputusan itu?” tanyanya terkejut. Selama ini tak pernah tebersit dalam benaknya sekretarisnya yang cekatan itu akan keluar dari perusahaan. Mau mencari kerja di mana lagi? Usianya sudah kepala empat.


“Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Sungguh.”


“Lalu kenapa Ibu sampai mau mengundurkan diri? Apakah ada yang kurang nyaman selama bekerja dengan saya? Atau mungkin ada yang kurang memuaskan dalam hal…ehm…income?”


“Oh, tidak, Pak Jon. Justru Bapak sangat bermurah hati pada saya selama ini.”


“Lalu apa masalahnya?” tanya bos muda itu tidak mengerti. Dia rasanya bersedia memberikan apa saja asalkan orang yang menjadi tangan kanannya ini tidak keluar dari perusahaan.


“Saya…ehm…saya malu sekali mengatakannya, Pak,” ucap Rosa sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Pipinya bersemu merah. Bosnya sampai keheranan melihatnya. Kok tingkahnya seperti gadis yang sedang jatuh cinta? gumam Jonathan dalam hati. Jangan-jangan…ah, masa, sih? pikir Jonathan geli. Masa Bu Rosa mau menikah? Dengan siapa?


 “Saya dilamar orang, Pak.”


Diieeenggg! Benar dugaanku, keluh Jonathan dalam hati. Apa lagi yang bisa meluluhkan hati seorang wanita setengah baya hingga rela meninggalkan karirnya yang cemerlang selain dua hal klise, menikah atau menjalankan bisnis sendiri.


Hal yang terakhir hampir tidak mungkin dipilih oleh Rosa. Wanita itu tipe pekerja profesional, bukan wirausaha. Kecuali kalau dia membantu pasangan hidupnya yang sudah bekerja sebagai pengusaha, itu baru masuk akal.


“Selamat, Bu Rosa,” ucap laki-laki itu tulus seraya mengulurkan tangannya menyalami sekretaris yang sangat dihormatinya tersebut.

“Terima kasih, Pak,” sahut perempuan itu seraya bersalaman dengan bos-nya.

“Siapakah orang yang beruntung itu, Bu? Kalau saya boleh tahu….”

“Ah, malu sekali rasanya bercerita, Pak.”

“Ayolah, Bu. Tidak apa-apa. Saya sudah menganggap Ibu sebagai senior saya, orang yang dituakan di kantor ini.” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status