Share

Bab 0009

Yara tidak menyangka Yudha akan datang.

Sinar di matanya sedikit demi sedikit padam di bawah tatapan menghina pria itu.

"Nggak, aku cuma mau bantu Melanie pilih-pilih gaun."

"Semoga memang begitu."

Yudha mencibir.

"Yara, aku sudah peringatkan kamu sejak lama."

"Jangan mimpikan hal-hal yang bukan milikmu. Nggak akan ada akhir yang baik kalau dipaksakan."

Yara membendung perasaannya dalam diam.

Dia mengerti bahwa di mata Yudha, pernikahan mereka adalah sesuatu yang bukan miliknya. Lebih-lebih lagi pria itu. Tidak pernah menjadi miliknya sama sekali.

Oleh karena itu, hingga saat ini, Yara sendiri memikul tanggung jawab penuh atas segalanya.

Yara ingin pulang saja. "Yudha, kalau kamu sudah sempat, jangan lupa menyelesaikan proses perceraian kita."

"Rara, kamu pikir semua orang punya waktu luang sebanyak dirimu?"

Wajah Yudha bertambah kelam.

"Kamu bisa menyisihkan waktu pergi ke sini. Kenapa ...."

"Kenapa? Kamu merasa diabaikan?" Yudha tertawa sinis. "Yang satu adalah orang yang sebentar lagi nggak ada hubungannya denganku. Satunya lagi calon istriku. Menurutmu, aku harus membagi waktuku seperti apa?"

Telapak tangan Yara terkepal erat. "Tuan Muda Lastana ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan calon istrinya, 'kan? Kalau iya, sebaiknya cepat-cepat selesaikan urusanmu dengan istri lamamu ini."

"Ingat ya, Yara, surat nikah kita nggak pernah punya arti sama sekali."

Yudha melenggang pergi.

Kemudian, Melanie berjalan keluar.

"Yudha mana?"

Dia mengenakan gaun pengantin satu bahu bergaya bangsawan, memamerkan payudara penuh dan pinggang rampingnya.

Rok besarnya dilapisi kain tule tipis dan berhias mutiara dan berlian yang berkilauan, sangat memesona.

Sejenak, Yara mematung.

Hanya dengan melihat gaun pengantin ini, dia bisa membayangkan pernikahan bahagia mereka.

"Rara? Yudha nggak ke sini?"

Melanie bertanya lagi.

"Um, barusan dia keluar."

Yara mengalihkan pandangannya.

Ponsel Melanie berdering.

Dia melambaikan layar di depan mata Yara, yang menelepon adalah Yudha.

Dia melangkah ke samping untuk menjawab panggilannya.

"Aku sudah taruh di butik."

Ketidaksabaran jelas terdengar dari suara Yudha.

"Oke, oke, aku tahu kamu orang sibuk. Malam ini kita makan bareng, yuk."

Melanie menutup telepon dan menggelengkan kepala tanpa daya ke arah Yara.

"Sudah kubilang jangan datang, tapi dia maksa mau datang."

Dia berbalik dan memutar tubuhnya. "Yang ini gimana?"

"Cantik."

Yara berkata jujur.

Melanie mengerutkan kening.

"Nggak deh, pundaknya terlalu rendah. Yudha pasti nggak suka."

"Rara, tunggu sebentar ya, aku ambil yang lain."

"Ya."

Yara merasa hatinya tidak cukup untuk lanjut melihat-lihat gaun pengantin, jadi dia pergi melihat gaun lain di sampingnya.

Butik ini memang salah satu yang terbaik di tingkat nasional. Desain pakaiannya sangat indah.

Sambil melihat-lihat, Yara juga menggambar seiring inspirasinya datang.

Dia begitu fokus menggambar sampai tidak sadar Melanie sudah keluar.

Melanie melangkah maju. Melihat gambaran Yara, dia bisa langsung menebak.

Ternyata Anita menugaskan klien yang sama untuk mereka berdua.

Roda-roda di dalam kepalanya berputar. "Rara, kamu lagi gambar apa? Gaun?"

"Iya." Yara mengangguk. "Ini pesanan pertama yang aku terima, aku ingin mengerjakan sebaik mungkin."

"Oh, sini kubantu."

Melanie menarik Yara duduk di samping. "Ceritakan ide desainmu, nanti kubantu kasih saran."

Yara tidak punya pikiran lain, lagi pula Melanie adalah direktur bagian di Baruy. Pendapatnya tentu sangat penting.

Jadi, dia memberi tahu Melanie seluruh detail ide desainnya.

"Rara, idemu bagus. Semangat ya, kliennya pasti puas."

Rasa percaya diri Yara meningkat pesat.

Mereka berdua memilih tiga gaun pengantin, lalu pergi bersama.

Melanie ingin mengundang Yara makan malam, tetapi Yara menolak.

"Melanie, lain waktu saja. Besok hari kerja, aku mau mengumpulkan rancanganku ke Bu Anita pagi-pagi sekali."

"Oke, Rara, semangat!"

Setelah pulang, Yara bergadang sepanjang malam. Ketika dia tiba di perusahaan keesokan harinya, dia mengetuk pintu kantor Anita.

Sayang sekali, Anita sedang tidak di tempat.

Tepat pada saat ini, Anita berada di kantor Melanie. Saat baru tiba tadi, resepsionis mengatakan bahwa dia dipanggil ke sana.

Tidak ada Melanie di kantornya, tetapi di atas meja ada beberapa rancangan desain.

Anita mengambilnya dan melihat rancangan itu dengan mata penuh kagum.

Tak lama, Melanie datang.

"Bu Melanie," sapa Anita dengan tulus. "Kamu sudah membuat rancangannya lebih awal?"

Hari ini, batas waktu yang ditentukan masih tersisa dua hari.

"Menurutku masih belum cukup memuaskan, masih harus dipikirkan lagi."

Melanie tampak tenang dan santai.

"Bu Anita, aku panggil kamu ke sini, aku mau tanya bagaimana kabar Yara akhir-akhir ini?"

Anita agak ragu sejenak. "Baik-baik saja. Aku sudah memberi pekerjaan untuknya, mari kita lihat nanti seperti apa bakatnya."

"Bu Anita sudah mulai menyerahkan pesanan ke Yara?"

Melanie menggerakkan bibirnya dengan enggan. "Yara masih kurang berpengalaman dan belum pernah mendesain pakaian. Harusnya nggak apa-apa kalau Bu Anita tunggu lebih lama lagi."

Anita tertawa kecil. "Dia 'kan sudah di Baruy, ya nggak bisa kalau mau lanjut duduk-duduk saja tanpa bekerja."

Melanie menghela napas pelan.

"Jangan salah paham, Bu Anita, aku nggak bermaksud melindungi dia, tapi ... aku takut dia malah jadi gugup dan melakukan kesalahan lagi."

"Bu Melanie perhatian banget. Yara memang beruntung punya sepupu sepertimu."

Keduanya berbasa-basi beberapa saat sebelum Anita pergi.

Sekembalinya dia ke kantornya sendiri, Yara datang.

Raut wajah Yara dipenuhi kegembiraan. Dia menyerahkan beberapa rancangannya. "Bu Anita, saya sudah merancang pesanan yang Anda tugaskan sebelumnya."

"Secepat itu?" Anita agak terkejut. Saat dia mengambil rancangannya, seketika dia terbakar amarah.

Dia mengangkat matanya dan menatap Yara dengan raut wajah dingin. "Kamu yang gambar ini?"

"Ya." Yara tidak mengerti apa yang salah dengan Anita. "Apa menurut Bu Anita, kliennya mungkin nggak suka?"

Dia berkata dengan sedikit enggan, "Saya bisa menjelaskan proses desainnya."

"Nggak usah." Anita hampir tidak tahan lagi. "Keluar."

"Bu Anita ...." Yara panik. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan yang susah-susah dia dapatkan.

"Aku bilang keluar!" Kemarahan Anita jelas tidak main-main.

"Baik." Namun, Yara masih ingin berjuang. "Kalau Bu Anita sudah punya waktu luang dan mau ngobrol lebih lanjut tentang rancangan desain ini, silakan Bu Anita panggil saya kapan saja."

Begitu Yara pergi, Anita merobek-robek rancangan desain itu dan membuang semuanya ke tempat sampah.

Dia benar-benar gila karena percaya bahwa seorang plagiator bisa menjadi orang baik.

Dalam beberapa hari berikutnya, tidak ada kabar tentang desain yang Yara kumpulkan. Dia berubah lagi menjadi orang yang seolah tidak ada.

Dia pun tidak bisa menahan diri dan menanyakan informasi kepada Safira.

"Gaun?" Safira mengeluarkan desain cetakannya. "Sudah diputuskan. Kliennya sangat suka set yang ini."

Yara mengambilnya dan melihatnya hampir tidak ada perbedaan besar antara gambar desain ini dan rancangan yang dia buat.

Sudah disetujui kliennya?

Mengapa Anita marah pada hari itu?

Dia bahkan tidak bilang-bilang tentang ini padanya!

Semakin Yara memikirkannya, dia jadi semakin sedih.

Meski terpaksa bergabung dengan perusahaan sebagai plagiator, kini dia telah membuktikan diri dengan kekuatannya.

Mengapa Anita masih meremehkannya?

"Safira, aku pinjam desain yang ini sebentar, nanti kukembalikan lagi."

Yara mengambil gambar desain itu dan langsung pergi ke kantor Anita.

Dia harus meminta penjelasan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
amymende
makin dibaca rasanya c rara makin bego malessss
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status