Share

Bab 0010

"Bu Anita!"

Yara meletakkan gambar desain itu langsung di atas meja.

Anita menatap Yara dengan amarah terbendung, menunggunya melanjutkan.

"Bu Anita, bukankah ada sesuatu yang harus Anda jelaskan pada saya?"

Yara sangat percaya diri.

Anita benar-benar tertawa saking marahnya.

Baru pertama kali ini dia melihat plagiator yang begitu sombong.

"Penjelasan? Penjelasan apa yang kamu minta?"

"Klien sudah menerima desain yang saya buat, bukankah seharusnya Bu Anita memberi tahu saya?"

"Saat saya mengumpulkan rancangannya waktu itu, kenapa Bu Anita marah tanpa alasan?"

"Terakhir, kalau memang rancangan saya diterima, kenapa Bu Anita nggak memberi saya pesanan lagi? Saya ingin tahu kenapa."

Satu per satu, Yara mengatakannya dengan jelas.

Anita terdiam sesaat. Dia tidak menyangka plagiator ini memiliki logika berpikir yang begitu jelas.

Dia berpikir beberapa saat, lalu menjawab satu per satu.

"Akhir-akhir ini aku sibuk, jadi aku lupa memberi tahu kalau rancangannya sudah disetujui."

"Aku nggak marah waktu itu. Aku cuma merasa rancanganmu ... agak familier."

Jelas terlihat kesinisan dalam nada bicaranya.

"Apa ada buktinya?"

Yara berkata dengan sangat serius, "Bu Anita mengatakan rancangan desain saya mirip dengan rancangan orang lain. Mari kita lihat."

Kemarahan dalam hati Anita sudah hampir mencapai puncaknya. Jika Melanie tidak menyuruhnya mengabaikan hal ini, dia sudah ingin melemparkan desain itu ke wajah Yara.

"Bagaimana?" Yara merasa kali ini dia harus membersihkan namanya.

Anita marah hebat sampai napasnya menderu. Butuh beberapa saat sebelum dia akhirnya berhasil mengatakan, "Nggak perlu."

Jauh di lubuk hatinya, dia sangat membenci Yara.

Dia berdiri dan menatap Yara sejajar. "Kamu mau pesanan baru, 'kan?"

Bagus sekali. Dia akan memberinya pesanan baru tanpa memberikannya pada Melanie juga. Dia ingin lihat Yara bisa meniru siapa lagi kali ini.

Anita menunduk dan mengeluarkan sebuah dokumen dari laci dan melemparkannya ke Yara.

"Beri aku rancangannya dalam lima hari."

Dia bahkan tidak ingin mengucapkan sepatah kata lagi.

Yara sejenak terdiam. Dia merasa harus mengatakan sesuatu.

"Bu Anita, saya tahu kesan pertama saya sangat buruk saat wawancara."

Anita mendengus.

"Tapi, saya sangat suka menggambar. Saya sangat suka pekerjaan ini. Saya akan bekerja keras dan membuktikan bahwa Baruy telah membuat pilihan yang tepat."

"Bu Anita, saya keluar dulu."

Anita menimpali dengan sinis, "Kalau kamu mau terima kasih, terima kasihlah sama sepupumu."

Langkah Yara terhenti. "Itu pasti."

Kesempatan kedua ini juga diperolehnya dengan susah payah. Yara segera mengabdikan diri lagi untuk pekerjaan kali ini.

Di akhir pekan, Melanie kembali mengajak dia keluar.

"Rara, mau ada pesta penyambutan untukku malam ini. Kamu harus ikut juga."

"Ah? Nggak bisa. Aku sudah ada janji sama temanku malam ini. Selamat bersenang-senang ya."

"Jangan gitu, Rara, kamu harus datang. Yudha juga nanti datang. Kalau kalian berdua menyambutku, aku bisa tinggal kembali di sini dengan tenang."

Yara masih enggan, tetapi tidak punya pilihan lain. "Ya sudah, sampai ketemu malam nanti."

Setelah menutup telepon, Yara memandang Siska dengan mata berkaca-kaca.

Siska berkata tepat pada sasarannya, "Rara, rasanya, kalau kamu belum cerai dari Yudha, Melanie nggak akan pernah melepaskanmu."

"Biar kuberi tahu Yudha lagi malam ini."

Malam harinya, Yara mengenakan gaun hitam ramping.

Dia tidak punya pakaian banyak. Bahkan sebagian besarnya dibuang Melanie.

Silvia tidak suka membelikan pakaian untuknya, apalagi mendandaninya.

Gaun satu-satunya ini Yara beli diam-diam.

Dia awalnya berencana ingin memakainya saat dia dan Yudha pergi berbulan madu. Tak disangka ... dia terlalu naif.

Perayaan selamat datang itu diadakan di Hotel Royal, satu-satunya hotel bintang tujuh di negara ini. Pesta ulang tahun waktu itu juga diadakan di sini.

Menapaki ingatan masa lalu kembali, Yara merasa sangat rumit.

Sesampainya di ruang perjamuan lantai 18, orang-orang sudah banyak yang datang. Sebagian besar adalah teman Melanie dan saksi skandal tahun lalu.

Semua orang memandang Yara dengan tatapan aneh.

"Rara, akhirnya kamu datang juga."

Melanie melangkah maju dan meraih lengan Yara, menariknya menuju kerumunan.

"Melly." Judy Baskoro, salah satu teman baik Melanie, berkata dengan bingung, "Kenapa kamu undang dia juga?"

"Iya, kamu nggak putus hubungan saja sama orang kayak dia?"

"Punya nyali juga dia datang ke sini. Nggak punya malu."

Yang lain menyuarakan hal serupa.

"Sudah, Judy, kalian nggak boleh bicara gitu sama Rara. Dia sudah minta maaf soal kejadian waktu itu."

Melanie tampak sangat dekat dengannya. "Dia setuju bercerai dengan Yudha biar kami bisa bersama."

"Cih!" Semua orang seperti ingin meludahi Yara.

"Yudha!" Melanie tiba-tiba penuh semangat. Dia melepaskan Yara dan berlari menuju pintu.

Semua orang melihat ke arah pintu.

Yudha mengenakan setelan jas berwarna hitam. Dengan bahu bidang, pinggang tamping, dan kaki yang panjang, dia tampak penuh wibawa. Sedangkan Melanie mengenakan gaun panjang berekor yang menyapu lantai. Sangat menawan.

Berdiri bersama, mereka seperti pasangan serasi yang dijodohkan Tuhan.

Judy memutar matanya ke arah Yara. "Kamu lihat itu? Kamu cuma anak bebek jelek di depan mereka. Sadar diri, deh."

Semua orang setuju dan ikut menertawakan. Mereka mengelilingi Yudha dan Melanie, menyanjung-nyanjung dengan segala cara.

Yara merasakan sensasi panas di matanya. Dia mencari tempat duduk dan mengambil segelas minuman.

Kerumunan tamu terhormat yang tidak jauh dari situ tidak ada hubungannya dengan dirinya sama sekali.

Dia selalu memperhatikan situasi di sana.

Yudha tidak suka keramaian seperti ini. Benar saja, tak lama kemudian, dia pergi ke ruang VIP di belakang.

Yara berdiri dan bersiap untuk pergi.

"Rara." Melanie muncul di waktu yang tepat. Tangannya memegang segelas minuman. "Dari mana saja kamu tadi? Kenapa nggak main-main sama yang lainnya?"

"Aku agak capek." Yara tersenyum enggan. "Melanie, aku mau ketemu Yudha dulu memastikan perceraiannya lagi, habis itu pulang. Aku terlalu capek hari ini."

"Oh, ya sudah." Melanie menyerahkan minuman di tangannya. "Aku mau antar ini buat Yudha, tolong bantu kasihkan ke dia ya."

"Oke." Yara menerima gelas itu dan pergi ke ruang VIP.

Yudha sedang duduk di sofa. Ketika mendengar ada seseorang masuk, dia membuka mata dengan raut wajah tidak sabar.

Wanita di depannya mengenakan gaun yang agak ketinggalan zaman, memperlihatkan anggota tubuhnya yang ramping. Bahkan pinggangnya sangat langsing memberi kesan rapuh yang menggugah.

Dia duduk dan meletakkan minumannya. Garis tubuhnya yang melekuk-lekuk lembut jadi semakin sulit diabaikan.

Harus diakui, sosok tubuh Yara mampu membuat semua pria tergila-gila.

Kecuali Yudha, tentu saja.

"Kamu mau ngapain lagi?"

Insiden yang terjadi di ruang VIP ini memang sulit dilupakan.

Wajah Yara sedikit merona.

"Yudha, sudah sebulan. Perceraiannya ...."

"Kamu kesini cuma mau mengingatkan aku?"

Yudha tersenyum sinis.

"Ya." Yara merasa tidak nyaman. "Luangkan waktu secepatnya."

Yudha mengambil minuman di depannya dan minum seteguk.

"Kamu serius mau bercerai dariku? Terus buat apa kamu repot-repot menjebakku sejak awal? Kamu anggap apa aku?"

Yara menguatkan hatinya.

"Aku sudah bilang berkali-kali. Waktu itu aku juga dibius ...."

"Tapi ya sudahlah, kamu nggak pernah percaya satu kata pun yang aku ucapkan."

"Aku cuma berharap kamu ...."

Tiba-tiba, pintu ruang VIP terbuka lagi, dan Melanie masuk.

Yara tidak ingin tinggal lebih lama lagi.

"Pokoknya, cepat selesaikan proses cerainya. Aku pergi dulu."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
amymende
semakin dibaca semakin bodoh c rara, cukup sampe sini bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status