Share

Bab 0015

Anita serasa ingin muntah darah.

Dia tidak tahu Yara punya berapa banyak skandal dan seberapa besar masalah yang akan ditimbulkannya.

"Nona Baskoro ...."

Saat dia hendak mengatakan sesuatu untuk memperbaiki situasi, Yara yang sedari tadi diam di sampingnya angkat bicara tiba-tiba.

"Judy!"

Yara tidak tahan lagi.

Apa yang terjadi saat itu berakhir dengan dia menikah dengan Yudha.

Di mata semua orang, dialah yang paling diuntungkan dari kejadian itu. Lupakan saja jika mereka tidak percaya.

Namun, mengapa mereka mencurigai dia sebagai pelaku kejadian di pesta penyambutan?

"Apa yang terjadi di pesta penyambutan nggak ada hubungannya denganku."

"Hahaha ...." Judy tertawa. "Nggak ada hubungannya denganmu? Siapa yang mau percaya!"

"Ada yang pertama kali, dan akan ada yang kedua kalinya. Yara, sifat dasar seseorang nggak akan berubah dengan mudahnya."

Yara melangkah maju dan menampar wajahnya.

"Plak!"

"Kamu berani menamparku?" Judy menatap Yara tak percaya. "Wanita murahan, kamu berani menamparku?"

Dia melemparkan tasnya dan melompat ke depan. "Jalang, jangan harap aku akan melepaskanmu."

Yara bukan bocah bau kencur.

Dia bukan nona yang selalu dimanjakan seperti Judy. Dia telah bekerja sebagai pembantu tanpa bayaran selama satu tahun setelah menikah dengan Yudha.

Beberapa saat kemudian, dia menjambak rambut Judy dan memaksa wanita itu duduk di bawahnya.

"Aaahh ... penyiksaan!" Judy berteriak histeris.

Yara menjambak rambutnya keras-keras. "Diam!"

Judy menangis kesakitan dan tidak berani berteriak lagi.

"Dengarkan aku baik-baik. Kalianlah yang membuat jebakan di pesta penyambutan. Kalau kamu nggak percaya kata-kataku, tanya Melanie."

"Nggak mungkin!" teriak Judy lagi. "Yudha itu siapa? Mana berani kami macam-macam sama dia? Kami nggak mau dapat hukuman dari keluarga kami."

Yara tertegun sejenak.

"Rara?"

Entah siapa yang memberi tahu Melanie, saat ini dia datang tergesa-gesa.

"Lepaskan dia. Mungkin ada salah paham di sini. Kamu lepaskan dia dulu."

Dia meraih tangan Yara dan menariknya berdiri.

Judy akhirnya terbebas dan kembali bersikap arogan. "Yara, tunggu pembalasanku."

Dia membenahi pakaiannya dan segera pergi.

"Rara, aku nggak tahu Judy mau datang, aku ...." Melanie menjelaskan dengan cemas.

Yara menatapnya, mengulangi kata-kata Judy barusan di benaknya.

Sekumpulan teman Judy memiliki jaringan informasi yang baik. Jika ada di antara mereka yang sungguhan melakukan sesuatu pada Yudha, mustahil Judy tidak tahu.

Dia menyela Melanie. "Apa yang terjadi di pesta penyambutan?"

Sorot mata Melanie tampak berubah sekilas.

"Rara, aku bisa jelaskan nanti."

Dia lalu pergi meminta maaf kepada Anita. "Bu Anita, aku minta maaf atas apa yang terjadi hari ini. Tolong maafkan Rara juga."

"Aku nggak salah, kenapa aku harus meminta maaf?"

Mata Yara seperti terbakar api. "Judy yang duluan datang membuat onar. Kalau Bu Melanie ingin minta maaf, mintakan maaf atas nama temanmu juga."

Melanie tertegun sejenak, lalu cepat-cepat merespons.

"Benar, benar, ini masalah pribadi. Seharusnya nggak dibawa ke tempat kerja dan mengganggu ketenangan."

Kerutan di kening Anita semakin dalam. Melanie benar, meski masalah ini adalah masalah pribadi, tetapi sudah berdampak pada perusahaan.

Terutama bagi Yara sendiri. Jika reputasi pribadinya buruk, akan berdampak pula pada reputasi perusahaan.

"Bu Melanie, kamu nggak perlu memintakan maaf untuk mereka."

Anita memandang Yara. "Yara, apa yang terjadi hari ini semua karena kamu. Kamu harus pulang dan merenungkan kesalahanmu selama beberapa hari."

"Alasannya apa?" Yara tidak bisa menerimanya.

"Karena aku atasan langsungmu. Karena reputasi perusahaan akan terpengaruh jika hal-hal yang kamu lakukan itu tersebar."

Anita telah mengambil keputusan. "Kamu bisa pilih pulang dan merenungkan kesalahanmu sekarang, atau kamu bisa pilih pergi ke kantor personalia untuk mengundurkan diri dan pergi sesegera mungkin."

Kemarahan dalam hati Yara hampir membuatnya menggila.

Melanie menghampiri Yara dan meraih lengannya. "Rara, pulang saja dulu. Nggak apa-apa, di perusahaan masih ada aku."

Yara menatap Melanie dalam diam.

"Ayolah, kalau kamu benar-benar bertengkar dengan Anita, nggak ada lagi jalan kembali untuk masalah ini."

Melanie langsung menarik Yara masuk ke dalam lift.

"Judy ini memang keterlaluan. Sumbu pendek, nggak bisa berpikir panjang ...."

Dia melirik Yara dari samping. "Rara, kenapa kamu diam saja? Kamu marah sama aku?"

"Nggak."

Yara melihat angka-angka di layar lift, satu per satu semakin berkurang.

Dia merasakan tangan tak kasat mata itu muncul lagi, menerjangnya dari belakang.

"Melanie, siapa yang membius Yudha hari itu? Kenapa Judy bersikeras kalau itu aku?"

Dia menatap Melanie tanpa berkedip.

"Jangan ambil hati kata-kata Judy, dia anjing gila, suka gigit orang sembarangan."

"Siapa?"

"Rara, ini urusan memalukan. Mereka juga melakukannya untuk aku. Aku nggak bisa bilang siapa dia."

"Nggak bisa bilang siapa? Atau memang nggak ada sama sekali."

"Rara, apa maksudmu?"

Yara membuang muka.

"Saat Yudha dibius sebelumnya, akulah yang paling diuntungkan, jadi semua orang akan curiga padaku. Tapi ...."

Dia menatap Melanie lagi. "Di pesta penyambutan, satu-satunya orang yang diuntungkan dengan membius Yudha itu kamu."

"Rara, bagaimana bisa kamu berpikiran buruk tentangku?"

Melanie tampak sangat sedih sampai hampir menangis.

"Nggak, aku cuma mengikuti alur logika mereka."

Yara tersenyum simpul. "Jangan salah paham, Melanie, aku nggak bermaksud apa-apa lagi. Tapi kamu juga harus percaya, bukan aku yang melakukannya di pesta ulang tahunmu."

Pintu lift terbuka dan akhirnya dia berkata pada Melanie, "Kalau ada waktu, aku harap kamu bisa menjelaskannya pada Yudha."

"Selamat tinggal, Melanie." Yara segera pergi.

Melanie menggertakkan gigi penuh kebencian.

Satu tahun yang lalu, kalau bukan karena yakin bahwa Yara tidak punya dukungan, ditambah dengan kerja sama Silvia ... dia tidak akan memilih Yara.

Siapa sangka, gadis murahan ini begitu keras kepala dan masih ingin membuka kejadian tahun lalu.

Tidak bisa dibiarkan!

Yara tahu kali ini situasinya sangat sulit.

Tidak ada perusahaan yang menginginkan karyawan yang telah berulang kali menimbulkan masalah.

Dia belum ingin pulang ke rumah Siska untuk sementara waktu, jadi dia menyusuri jalan tak tentu arah dan akhirnya sampai di depan gedung Perusahaan Lastana.

Dia duduk di sebuah kursi dan mengirimkan pesan kepada Yudha.

Yudha masih belum menghubunginya lagi sejak terakhir kali dia bilang akan menghubungi.

"Tuan Muda Lastana, bisakah kamu meluangkan waktu sepuluh menit? Pergi bersamaku mengurus perceraian."

Dibaca tetapi tidak dibalas.

"Aku setuju nggak akan minta apa pun dalam perceraian ini. Kamu nggak akan merugi sedikit pun."

Dibaca tetapi tidak dibalas.

"Kepada dunia luar, katakan saja kamu yang minta cerai. Kepada keluarga, katakan aku yang minta cerai. Tuan Muda Lastana, bisa pergi atau nggak? Cepat balas!"

Dibaca tetapi tidak dibalas.

Yara sangat marah hingga dia mengetuk-ngetuk ponselnya dengan keras, seakan ingin melubangi layarnya.

"Yudha, membalas pesan adalah etika dasar sebagai manusia."

Di lantai paling atas Perusahaan Lastana, Yudha berdiri di depan dinding kaca yang lebar. Mengalihkan pandangan dari ponselnya menuju ke sebuah titik putih kecil di bawah.

Aneh rasanya. Pada jarak ini, bahkan pria atau wanita sulit dibedakan, tetapi dia dapat mengenali wanita itu dalam sekilas.

Yara segera menerima balasan.

"Ngapain kamu nggak kerja, malah duduk-duduk di sana?"

"Naik ke atas."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status