***Raya berjalan lesu memasuki pekarangan rumahnya, sesekali Ia melirik rumah Dirga yang sepi. Mobil pria itu masih ada disana, Raya penasaran apa perempuan tadi masih ada atau sudah pulang. Menghela napas Raya masuk kedalam rumah, tangannya menjinjing kresek berisi pempek dari depan komplek.Mengambil piring kedapur, Raya melihat Ethan sedang makan sendirian. "Baru pulang?" tanya Raya lesu. Tangannya mengambil pempek dari dalam kresek lalu disimpan di piring.Kemudian Raya duduk dengan menyantap pempek. Ethan melirik Raya bingung, tidak biasanya Dia sedikit lesu seperti ini. Biasanya melihat makanan saja Raya sudah berbinar-binar. "Kamu kenapa? Koo lesu?"Raya melirik Ethan lalu menghela napas. "Tahu gak, bang? Tadi aku lihat Om Dirga bawa cewek ke rumahnya" jelas Raya menatap serius Ethan. Ia sangat penasaran dengan perempuan tadi.Ethan terkekeh mendengarnya, Raya mendelik memukul lengan Ethan kencang. "Kok malah ketawa? Serius tahu!" kesal Raya lalu memberikan cubitan dilengan Et
***Raya sudah siap dan rapi, siap berangkat kuliah pagi ini. Pikirannya mumet gara-gara Chat singkat dari Dirga. Pria itu tidak menjawab untuk memuaskan rasa penasarannya malah membuat Raya semakin pusing. Kesal juga dengan Dirga karena tidak langsung menjawab. "Awas aja Om Dirga, kalo Om Dirga jadi bucin sama aku, aku pastikan akan membuat Om Dirga menyesal" kesal Raya melirik jendela yang menampilkan rumah Dirga. "Kalo Om Dirga bohongi aku, aku gak mau lagi ketemu sama Om" lanjut Raya melirik sinis rumah Dirga. Lalu keluar dari kamar untuk berangkat kuliah. Seperti biasa Raya selalu memaki motor matic kesayangannya kemanapun Raya pergi. Tapi jika Raya pergi sendiri, kalo sama orang lain Raya suka naik mobil. Karena tidak boleh ada yang menggunakan motor matic kesayangannya. Raya melirik mobil Dirga yang juga sedang keluar, bagus mereka berpapasan seperti ini. Ia melotot kala melihat Dirga tidak sendiri didalam mobil, ada seorang wanita yang duduk disamping Dirga. Raya kesal, la
***Setelah selesai membuntuti Dirga, Raya tidak pergi ke kampus, Ia malah masuk ke Cafe langganannya. Ia sudah merasa tidak mood, perasaannya tidak karuan, hatinya sangat panas mengingat pria yang dicintainya sudah memiliki pasangan. Raya semakin yakin jika perempuan tadi adalah kekasih Dirga. "Mereka sangat serasi" lirih Raya mengingat wajah perempuan tadi itu sangat cantik dan tinggi, pas dengan tinggi Dirga dan umurnya pasti tidak jauh dari umur Dirga. Sedangkan dirinya? Hanya mahasiswa akhir yang doyan rebahan dan makan, tubuh tidak terlalu tinggi dan tidak cantik. Pantas sih, Dirga tidak meliriknya sedikitpun. "Sakit banget, berjuang sendiri"ujar Raya sambil mengaduk minumannya."Lucu gak, ya, kalo gue berhenti sekarang? Secara gue kan yang mulai deketin Om Dirga." "Tapi gue gak mau jadi perusak hubungan orang." "gue berusaha pelan-pelan aja kali, ya?" Raya bergumam sendiri memikirkan apa yang harus Ia lakukan kedepannya. Apa harus terus memperjuangkan cintanya, sedangkan p
***** "Berhenti ganggu saya, Rara!" Dirga menatap malas Rara yang sedang tersenyum lebar. Dirga sampai ngeri kalau-kalau mulut gadis itu robek. "Rara gak ganggu Om, kok. Rara cuma liatin Om yang lagi kerja. Hehe." Rara menangkup kedua pipinya, memandangi wajah tampan milik pria itu. Dirga. Lelaki dewasa yang Rara sukai selama tiga bulan ini. Dan kebetulan Dirga adalah tetangga baru dirinya, rumah Dirga persis di depan rumah Rara. " Apa tidak ada tugas dari kampus? Jangan ganggu saya, saya sedang banyak pekerjaan sekarang" Dirga berbalik menghadap Rara. "Please, Ra, jangan malam ini. Saya lagi banyak kerjaan yang tidak bisa di tunda." Rara menatap wajah memelas Dirga. Kantung matanya sedikit menghitam, akibat kekurangan tidur. Rara tahu akhir-akhir ini Dirga sangat sibuk dengan pekerjaan di kantor, sampai harus di bawa ke rumah.Dengan berat hati, Rara mengangguk pelan. Kasihan juga lelaki dewasa ini, sudah sibuk di kantor di tambah dengan dirinya yang selalu menempeli Dirga. Tapi R
***** Dirga berjalan keluar dari cafe, setelah menemui klien yang ingin menggunakan jasanya. Membuka pintu mobil kemudian memakai sabuk pengaman, menyalakan mesin lalu pergi ke kantor. Di kursi samping terdapat kotak bekal. Dirga melirik beberapa kali, setelah sampai di kantor Dirga menjinjing kotak bekal itu. Di cafe tadi Dirga hanya memesan minuman, sekedar menghormati klien tadi karena teringat dengan bekal tadi pagi. Dirinya hanya menghargai makanannya bukan niat gadis itu, Dirga hanya sayang jika nanti makanannya harus dibuang. Dirinya sangat menghargai makanan. Dirga membuka pintu ruangannya kemudian duduk di sofa, lalu membuka kotak bekal itu. "Em, enak" suapan pertama Dirga merasakan nikmatnya makan siangnya. Kemudian suapan kedua, ketiga, dan seterusnya sampai bekal habis. Dirga meneguk air minum lalu menghela napas, perutnya sekarang terasa penuh. Suara dering handphone terdengar, Dirga segera mengambil handphonenya di kursi. Melihat siapa yang memberinya pesan Dirga s
***** Rara termenung. Sudah hampir jam sepuluh malam tapi Rara merasa tidak mengantuk sama sekali. Pikirannya teringat dengan perkataan Ayahnya tadi. 'Berhenti, ya. Rara jangan menemui dia lagi. Rara fokus kuliah saja, jangan ke rumah dia lagi, jangan buat makanan lalu diantar ke rumah dia lagi. Rara cukup fokus dengan kuliah Rara saja, ya.' Apa memang Rara harus berhenti mendekati Om Dirga? Apa Rara harus mulai melepas rasa sukanya kepada Om Dirga? Dan apakah Rara sanggup jika dirinya melakukan semua itu? Di satu sisi Ia sangat menyukai Om Dirga entah sejak kapan. Di satu sisi lagi Ia sangat menyayangi Ayahnya. Rara bingung, apa dirinya harus mempertahankan cintanya, atau tidak? "Ahhh!!" teriak Rara menenggelamkan wajahnya dikasur. Berteriak mengeluarkan kebimbangannya. Rara mengangkat wajahnya lalu menghembuskan napasnya kasar. "Bingung. Gue cinta sama Om Dirga, gue juga sayang sama Ayah. Gue gak bisa milih salah satu dari mereka. Gue mau Om Dirga, gue juga gak mau Ayah benci
***** "Ah, sial" rutuk Rara menatap pantulan wajahnya di depan kaca. Wajahnya sangat kusut, apalagi kedua matanya, sembab. "Mata aku kaya bola bekel" rengek Rara meraba kedua matanya yang sangat sembab dan matanya merah. Rasanya Rara tidak mau keluar kamar kalo begini, bagaimana kalo Ayah, Bunda, dan Kak Ethan lihat? Bisa-bisa dirinya disidang sama mereka, di tanya kenapa matanya sangat sembab dan mengerikan.Mengingat kejadian tadi malam Rara menjadi sedih. Mengingat bagaimana Om Dirga seperti tidak menahan rasa risih nya semalam kepadanya. Hatinya sangat sakit mengingat hanya dirinya yang berjuang, hanya dirinya merasakan rasa suka. Cinta Rara bertepuk sebelah tangan.Tidak terasa air mata kembali menetes, Rara menghapus segera. "Jangan nangis lagi. Bisa-bisa mata aku berubah jadi bola basket." ***** Rara menghela napas pelan, berusaha terlihat tenang seperti biasanya. Hanya saja yang terlihat berbeda yaitu kacamata hitam yang bertengger di wajahnya. Sengaja, takut keluarganya ta
***** "Akkhh!!!!" teriak Rara sembari menenggelamkan wajahnya diatas bantal. Kedua tangannya mencengkeram sprei dengan erat, kedua kakinya menendang-nendang asal. "Om Dirga, aku kangen!!" Rara menggigit bantal menyalurkan kekesalannya. Kemudian menelentangkan badannya menatap langit-langit kamar. Sudah dua hari Ia tidak menghampiri Om Dirga, dan juga tidak berbagi makanan kepada pria itu. Bukannya Rara tidak mau, namun Rara sering melihat Ayahnya selalu menatap tajam dirinya ketika Ia kedapur. Jika sedang berada didapur Ia selalu berusaha untuk terlihat tenang, berusaha untuk tidak tahu apa yang dilakukan Ayahnya. "Ayah juga, ngapain sih, suka mantau aku terus? Dikira aku gak tahu apa, ish, nyebelin. Jadi kan gak ketemu Om Dirga." kesal Rara, sekarang dirinya sangat merasa kesal setengah mati. Harus menahan gejolak rindu yang selama ini Ia tahan. Dan untuk malam ini Ia sangat tidak tahan, rasanya Ia ingin berlari kencang keluar rumah lalu masuk kedalam rumah Om Dirga. Dan tingg