***Setelah selesai membuntuti Dirga, Raya tidak pergi ke kampus, Ia malah masuk ke Cafe langganannya. Ia sudah merasa tidak mood, perasaannya tidak karuan, hatinya sangat panas mengingat pria yang dicintainya sudah memiliki pasangan. Raya semakin yakin jika perempuan tadi adalah kekasih Dirga. "Mereka sangat serasi" lirih Raya mengingat wajah perempuan tadi itu sangat cantik dan tinggi, pas dengan tinggi Dirga dan umurnya pasti tidak jauh dari umur Dirga. Sedangkan dirinya? Hanya mahasiswa akhir yang doyan rebahan dan makan, tubuh tidak terlalu tinggi dan tidak cantik. Pantas sih, Dirga tidak meliriknya sedikitpun. "Sakit banget, berjuang sendiri"ujar Raya sambil mengaduk minumannya."Lucu gak, ya, kalo gue berhenti sekarang? Secara gue kan yang mulai deketin Om Dirga." "Tapi gue gak mau jadi perusak hubungan orang." "gue berusaha pelan-pelan aja kali, ya?" Raya bergumam sendiri memikirkan apa yang harus Ia lakukan kedepannya. Apa harus terus memperjuangkan cintanya, sedangkan p
***** "Berhenti ganggu saya, Rara!" Dirga menatap malas Rara yang sedang tersenyum lebar. Dirga sampai ngeri kalau-kalau mulut gadis itu robek. "Rara gak ganggu Om, kok. Rara cuma liatin Om yang lagi kerja. Hehe." Rara menangkup kedua pipinya, memandangi wajah tampan milik pria itu. Dirga. Lelaki dewasa yang Rara sukai selama tiga bulan ini. Dan kebetulan Dirga adalah tetangga baru dirinya, rumah Dirga persis di depan rumah Rara. " Apa tidak ada tugas dari kampus? Jangan ganggu saya, saya sedang banyak pekerjaan sekarang" Dirga berbalik menghadap Rara. "Please, Ra, jangan malam ini. Saya lagi banyak kerjaan yang tidak bisa di tunda." Rara menatap wajah memelas Dirga. Kantung matanya sedikit menghitam, akibat kekurangan tidur. Rara tahu akhir-akhir ini Dirga sangat sibuk dengan pekerjaan di kantor, sampai harus di bawa ke rumah.Dengan berat hati, Rara mengangguk pelan. Kasihan juga lelaki dewasa ini, sudah sibuk di kantor di tambah dengan dirinya yang selalu menempeli Dirga. Tapi R
***** Dirga berjalan keluar dari cafe, setelah menemui klien yang ingin menggunakan jasanya. Membuka pintu mobil kemudian memakai sabuk pengaman, menyalakan mesin lalu pergi ke kantor. Di kursi samping terdapat kotak bekal. Dirga melirik beberapa kali, setelah sampai di kantor Dirga menjinjing kotak bekal itu. Di cafe tadi Dirga hanya memesan minuman, sekedar menghormati klien tadi karena teringat dengan bekal tadi pagi. Dirinya hanya menghargai makanannya bukan niat gadis itu, Dirga hanya sayang jika nanti makanannya harus dibuang. Dirinya sangat menghargai makanan. Dirga membuka pintu ruangannya kemudian duduk di sofa, lalu membuka kotak bekal itu. "Em, enak" suapan pertama Dirga merasakan nikmatnya makan siangnya. Kemudian suapan kedua, ketiga, dan seterusnya sampai bekal habis. Dirga meneguk air minum lalu menghela napas, perutnya sekarang terasa penuh. Suara dering handphone terdengar, Dirga segera mengambil handphonenya di kursi. Melihat siapa yang memberinya pesan Dirga s
***** Rara termenung. Sudah hampir jam sepuluh malam tapi Rara merasa tidak mengantuk sama sekali. Pikirannya teringat dengan perkataan Ayahnya tadi. 'Berhenti, ya. Rara jangan menemui dia lagi. Rara fokus kuliah saja, jangan ke rumah dia lagi, jangan buat makanan lalu diantar ke rumah dia lagi. Rara cukup fokus dengan kuliah Rara saja, ya.' Apa memang Rara harus berhenti mendekati Om Dirga? Apa Rara harus mulai melepas rasa sukanya kepada Om Dirga? Dan apakah Rara sanggup jika dirinya melakukan semua itu? Di satu sisi Ia sangat menyukai Om Dirga entah sejak kapan. Di satu sisi lagi Ia sangat menyayangi Ayahnya. Rara bingung, apa dirinya harus mempertahankan cintanya, atau tidak? "Ahhh!!" teriak Rara menenggelamkan wajahnya dikasur. Berteriak mengeluarkan kebimbangannya. Rara mengangkat wajahnya lalu menghembuskan napasnya kasar. "Bingung. Gue cinta sama Om Dirga, gue juga sayang sama Ayah. Gue gak bisa milih salah satu dari mereka. Gue mau Om Dirga, gue juga gak mau Ayah benci
***** "Ah, sial" rutuk Rara menatap pantulan wajahnya di depan kaca. Wajahnya sangat kusut, apalagi kedua matanya, sembab. "Mata aku kaya bola bekel" rengek Rara meraba kedua matanya yang sangat sembab dan matanya merah. Rasanya Rara tidak mau keluar kamar kalo begini, bagaimana kalo Ayah, Bunda, dan Kak Ethan lihat? Bisa-bisa dirinya disidang sama mereka, di tanya kenapa matanya sangat sembab dan mengerikan.Mengingat kejadian tadi malam Rara menjadi sedih. Mengingat bagaimana Om Dirga seperti tidak menahan rasa risih nya semalam kepadanya. Hatinya sangat sakit mengingat hanya dirinya yang berjuang, hanya dirinya merasakan rasa suka. Cinta Rara bertepuk sebelah tangan.Tidak terasa air mata kembali menetes, Rara menghapus segera. "Jangan nangis lagi. Bisa-bisa mata aku berubah jadi bola basket." ***** Rara menghela napas pelan, berusaha terlihat tenang seperti biasanya. Hanya saja yang terlihat berbeda yaitu kacamata hitam yang bertengger di wajahnya. Sengaja, takut keluarganya ta
***** "Akkhh!!!!" teriak Rara sembari menenggelamkan wajahnya diatas bantal. Kedua tangannya mencengkeram sprei dengan erat, kedua kakinya menendang-nendang asal. "Om Dirga, aku kangen!!" Rara menggigit bantal menyalurkan kekesalannya. Kemudian menelentangkan badannya menatap langit-langit kamar. Sudah dua hari Ia tidak menghampiri Om Dirga, dan juga tidak berbagi makanan kepada pria itu. Bukannya Rara tidak mau, namun Rara sering melihat Ayahnya selalu menatap tajam dirinya ketika Ia kedapur. Jika sedang berada didapur Ia selalu berusaha untuk terlihat tenang, berusaha untuk tidak tahu apa yang dilakukan Ayahnya. "Ayah juga, ngapain sih, suka mantau aku terus? Dikira aku gak tahu apa, ish, nyebelin. Jadi kan gak ketemu Om Dirga." kesal Rara, sekarang dirinya sangat merasa kesal setengah mati. Harus menahan gejolak rindu yang selama ini Ia tahan. Dan untuk malam ini Ia sangat tidak tahan, rasanya Ia ingin berlari kencang keluar rumah lalu masuk kedalam rumah Om Dirga. Dan tingg
****Raya tersenyum lebar menuruni anak tangga, kadang Ia melompat-lompat kecil dan terkekeh geli. Pagi ini suasana hati Raya amat sangat senang, Ia mengingat malam tadi di rumah Dirga. Pria itu tidak terlihat risih sama sekali melainkan Dirga berbicara kepadanya, memegang kening Raya walau hanya menggunakan telunjuk, dan duduk berhadapan dengannya. "Yaahh!! SBL, SBL, SBL! Seneng banget loh!" teriak Raya pelan sembari melompat-lompat kecil, kedua tangannya memegang dadanya merasakan detak jantung dirinya yang berdetak tidak karuan.Melirik jam tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh, Raya segera berlari kecil keluar rumah. Ia mendorong pelan motor maticnya keluar pagar rumahnya. Lalu memarkirkan motor itu di samping gang rumahnya, Raya tersenyum inilah saatnya misi dimulai.Raya tersenyum lebar sembari kedua tangannya saling bertaut, lalu jalan dengan lebar ketika melihat sebuah mobil sudah terparkir rapi didepan gerbang. Raya terpekik senang ketika melihat pria pujaannya keluar dar
***"Dek!" teriak Bunda menggedor pintu kamar Raya. Lalu muncul Raya dari dalam dengan wajah sayu seperti bangun tidur. "Kenapa bun?""Bunda sama Ayah ada kerjaan diluar kota, kamu d rumah sama abang kamu, ya. Berangkatnya harus hari ini. Yaudah, Bunda sama Ayah berangkat, baik-baik dirumah" ujar Bunda mencium kening anak bungsunya lalu pergi menghampiri Ayah yang sudah teriak suruh cepat.Raya melamun berusaha mencerna kejadian barusan bersama Bunda. Katanya, Bunda akan pergi ke luar kota bersama Ayah karena ada pekerjaan. Dan dirumah hanya ada dirinya juga Abangnya, Raya menyeringai, dirumah tidak ada Ayah dan Bunda. Well, saatnya beraksi?"Om Dirga! I'm Coming! Ehe" ujar Raya sesegera mungkin untuk mandi dan memakai baju bagus. Raya bersenandung berjalan kedapur, melirik jam dinding yang menunjukan pukul lima sore. Raya tersenyum pasti Dirga sudah mau pulang dari kantor."Masak apa, ya?" kata Raya sambil memakai apron, kepalanya melirik kanan kiri didepan kulkas memandangi satu per