Se connecter“Ah, syukurlah dia datang bersama Anda. Kalau tidak, saya tidak tahu bagaimana mengantarnya pulang,” ucap Samuel begitu memastikan Ronn sudah duduk dengan nyaman di kursi belakang mobil.“Ah, maaf karena saya belum mendapatkan lisensi mengemudi,” jawab Aerin sambil sedikit menunduk.Samuel melambaikan tangannya untuk memberikan tanda jika itu tidak masalah.“Saya mengerti. Anda baru pindah beberapa bulan dari Indonesia, jadi—” Samuel berdehem saat melihat reaksi terkejut Aerin. “Dr. Nathaniel banyak menceritakan tentang Anda.”Ekspresi terkejut Aerin bertambah ketara.“Kenapa?” Aerin tak bisa menahan rasa penasarannya, kenapa pengacara perceraian Ronn tahu tentang dirinya.“Ah, kami saling mengenal sudah lama. Walaupun tidak begitu dekat. Complicated.” Samuel tersenyum canggung.Aerin mengangguk mengerti, mungkin karena sudah lama saling mengenal, Ronn menjadi lebih nyaman berbicara tentang hal di luar pekerjaan dengan pria ini. Apalagi saat Aerin memperhatikan, sepertinya mereka berd
The Old Pages meredup, menyisakan cahaya hangat yang memantul di dinding kayu tua. Suara percakapan perlahan mereda ketika Aerin melangkah ke tengah panggung kecil, mikrofon sudah berada di tangannya.Ia menarik napas.Nada pertama mengalun pelan—rendah, nyaris berbisik.Di sudut ruangan, Ronn duduk diam dengan segelas minuman yang tak disentuhnya sejak tadi. Pandangannya terkunci pada Aerin sejak ia naik ke panggung. Cara gadis itu berdiri. Cara bahunya terangkat setiap kali ia menarik napas sebelum masuk ke bait berikutnya.Dan bibir itu.Ronn menelan ludah.Bibir Aerin bergerak mengikuti lirik, lembut dan penuh kontrol. Terlalu mudah baginya untuk mengingat bagaimana bibir itu pernah menempel di bibirnya. Bagaimana Aerin berhenti di tengah ciuman, terengah, seolah takut pada apa yang akan terjadi jika ia melanjutkan.Nada suara Aerin naik, memenuhi ruangan. Ada sesuatu yang rapuh di sana. Sesuatu yang jarang ia perlihatkan di kelas. Di rumah Ronn. Atau di rumah Nenek.Ronn mengepal
“Kau kelihatan capek.”Aerin mengangkat wajahnya dari buku catatan. “Hah? Oh. Tidak. Aku baik-baik saja.”Liz menyandarkan punggung ke bangku taman, tepat di depan gedung fakultas. “Kau selalu bilang begitu akhir-akhir ini.”“Apa maksudmu?” Aerin menutup bukunya perlahan.“Tidak tahu,” sahut gadis itu santai. “Kau lebih pendiam. Tapi nilaimu justru naik. Aneh.”Aerin tersenyum kecil. Musim telah berganti. Sejak kepergian Ronn malam itu dari rumah Nenek, Aerin jarang bertemu dengannya. Aerin juga enggan bertanya. Ia takut terlalu masuk ke ranah pribadi pria itu.Aerin lebih memilih kembali ke ritme kampusnya. Pagi-pagi yang dimulai dengan teh Chamomile hangat, siang yang dihabiskan di kampus, dan sore yang sering berakhir di The Old Pages—Aerin kembali bekerja paruh waktu di sana. Ia hadir di kelas. Ia mencatat. Ia menjawab pertanyaan dosen dengan cukup percaya diri. Nilainya stabil, bahkan cenderung membaik.Semua orang akan mengatakan ia baik-baik saja. Dan mungkin, di permukaan, itu
Rumah itu ternyata benar jauh lebih luas dari yang Aerin bayangkan.Langit-langit tinggi, lorong-lorong panjang dengan karpet tebal, dan dinding yang dipenuhi lukisan keluarga—wajah-wajah asing yang menatapnya dari masa lalu. Aerin berjalan di antara Evelyn dan Elinor, langkahnya sedikit tertinggal, matanya sibuk menyerap setiap detail. Rumah ini bukan sekadar besar; ia penuh sejarah. “Bagian ini jarang dipakai,” ujar Evelyn sambil menunjuk koridor yang lebih redup. “Nenek bilang, rumah terlalu besar untuk diisi kenangan yang tidak perlu.”Aerin tersenyum kecil, meski tak benar-benar mengerti maksudnya.Mereka berbelok di sudut lorong, meninggalkan ruang-ruang utama. Suara dari lantai bawah semakin samar, digantikan oleh keheningan yang terasa intim. Di sinilah, Evelyn tiba-tiba mempercepat langkahnya.“Aku mau ambil sesuatu di gudang kecil,” katanya cepat. “Kalian duluan ke ujung lorong.”Aerin sempat membuka mulut untuk bertanya, tapi Evelyn sudah menghilang di balik pintu.Kini ha
Lorong lantai atas itu terlalu sunyi. Aerin berdiri di depan wastafel, menatap pintu kamar mandi yang tertutup, jantungnya berdetak tidak beraturan. Rumah mewah itu menyimpan suara dengan cara aneh—setiap langkah terdengar lebih berat, dan lebih dekat. Langkah itu berhenti tepat di depan pintu. ‘Itu tidak mungkin Sebastian kan?’ Pikirannya kembali ke ekspresi wajah pria berusia akhir tiga puluhan saat di meja makan. Tatapannya yang menusuk ke arahnya, sekarang menganggap Aerin adalah musuhnya. ‘Tidak mungkin,’ Aerin menggelengkan kepalanya, mengusir bayangan itu dari kepalanya. ‘itu mungkin Evelyn atau Elinor.’ Tapi ucapan Marie kembali terngiang. “Di lantai atas lebih leluasa…” “Leluasa? Apa karena di lantai ini sepi? Aku juga tidak bertemu dengan siapapun saat naik ke sini tadi,” gumam Aerin. Ia segera mencuci tangannya di wastafel. “Aku sebaiknya segera kembali turun. Lebih baik bersama banyak orang daripada sendirian seperti ini.” Ia segera membuka pintu toilet. Tapi tiba-t
Jawaban Aerin menggantung di udara lebih lama dari yang ia kira. “Aku anak tunggal,” ucapnya pelan, tapi jelas. “Papa ingin aku bersama orang yang dia percaya. Dan Ronn… menjagaku dengan sangat baik. Seperti Papa.” Sendok Nenek Elara berhenti di udara. Untuk sesaat, wanita tua itu hanya menatap Aerin—bukan dengan tajam seperti sebelumnya, melainkan dengan sesuatu yang menyerupai kelegaan. Bahunya sedikit mengendur, napasnya terdengar lebih panjang ketika akhirnya ia mengangguk kecil. “Begitu,” gumamnya. “Itu masuk akal. Ronn juga anak tunggal. Aku mengerti kekhawatiran Danadyaksa.” Beberapa ketegangan di meja makan seakan luruh. Marie tersenyum tipis. Bahkan Sebastian menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi netral, seolah kehilangan bahan untuk menusuk lebih jauh. Namun Ronn—tidak. Aerin merasakannya tanpa perlu menoleh. Udara di sampingnya berubah. Tubuh Ronn tetap tegak, wajahnya tenang, tapi ada sesuatu di rahangnya yang mengeras, di tatapan matanya yang menjauh







