เข้าสู่ระบบ
“Kamu ini bodoh, ya? Hutangmu tidak akan lunas kalau kamu malas-malasan seperti ini! Cepat bekerja!”
Seruan kasar itu membuat Ivy tersentak dari lamunannya. Mata Ivy segera beralih dari para pengunjung bar yang sedang berkumpul, kepada pria tinggi besar yang memandangnya bringas. “Baik, Paman.” Ivy menundukkan kepalanya patuh. “Jangan bermalasan seperti orang bodoh. Walaupun kamu memandangi mereka sampai matamu terlepas, posisi kalian tidak akan tertukar.” Samson berbicara sarkastik pada Ivy yang sejak tadi memandangi pengunjung bar. Mereka semua anak muda. Berkumpul di sebuah sofa dengan banyak alkohol di hadapan mereka. Denting-denting gelas terdengar dibarengi dengan suara tawa kegirangan. Jelas sangat bertolak belakang dengan kondisi Ivy yang menjadi budak tempat tersebut. Ivy— wanita berusia di awal 20-an yang berasal dari keluarga sederhana. Ibunya sudah meninggal lama, dan dia hanya hidup dengan ayahnya. Mungkin beruntung kalau ayahnya waras, tapi pria itu adalah kumpulan dari definisi keburukan. Dia pemabuk, penjudi, seringkali melakukan kekerasan kepada Ivy, dan memiliki banyak sekali hutang. Seolah tak cukup dengan hal itu, ayah Ivy menyerahkan putrinya sendiri kepada Samson, sang debt collector, sebagai jaminan. Sebagai gantinya, Ivy harus bekerja di bar sesuai perintah Samson sampai hutang-hutang ayahnya lunas. Samson benar. Tidak peduli betapa pun Ivy mendambakan kebebasan penuh di sekelilingnya, dirinya tidak akan pernah bertukar tempat dengan keberuntungan milik mereka. Tempatnya hanyalah pada kemalangan. “Ikut denganku. Ada pekerjaan yang bayarannya besar, lakukan dengan baik.” Samson berbicara lagi. Dia tidak memberi penawaran, langsung menyeret lengan Ivy untuk menjauh dari lantai utama bar tersebut menuju tempat lainnya yang lebih private. “Ke mana, Paman…?” Ivy dibuat membelalak saat Samson membuka salah satu pintu pada lorong panjang dengan pencahayaan temaram. Biasanya, ruangan di balik barisan pintu itu digunakan oleh sebagai tempat prostitusi. “Layani pria di dalam sana. Diam saja dan turuti perintahnya.” Tubuh Ivy kaku di depan pintu. Dia menggelengkan kepalanya ketakutan. “Tidak, tidak usah, Paman. Saya akan kembali ke depan saja.” Ivy bermaksud berbalik pergi ke lantai utama bar, tapi Samson langsung menyambar lengannya. “Mau kemana kamu? Kerja yang becus. Lakukan apa yang aku katakan!” Samsung menyeret tangan Ivy dengan kasar dan mendorong tubuhnya masuk ke dalam ruangan. Blam! Langsung menutup pintunya tanpa sempat Ivy berbalik untuk kabur. “Wah, cantik juga mainannya.” Ivy menelan ludahnya sambil berbalik kaku. Seorang pria yang usianya jauh di atas Ivy duduk dengan kedua tangan bertengger pada sofa. Kedua kakinya menyilang di depan. Bibirnya menyeringai lebar. Sentakan bangga tergambar di wajahnya penuh gairah—seolah baru mendapatkan apa yang diinginkannya. Ivy mundur menjauh saat pria itu bangkit dari posisi duduk untuk mendekatinya. “Berapa umurmu? Masih muda sekali kelihatannya.” “Ma-maaf, sepertinya saya salah ruangan,” gagap Ivy, ingin meraih gagang pintu, tapi pria itu menarik tangannya. “Heh, mana ada salah ruangan? Samson mengantarmu ke sini untuk melayaniku.” Ivy terlonjak saat merasakan sentuhan halus pada bokongnya. Ia mundur, tapi cekalan di pergelangan tangannya tidak mau lepas. “Maaf, Tuan. Tapi saya tidak melakukan pekerjaan seperti itu,” kata Ivy gemetar, berusaha menjaga bicaranya agar tetap sopan. Pria itu cuma terkekeh. “Ah, jadi benar ini pertama kali bagimu? Aku bayar dua kali lipat untuk gadis perawan. Biasanya, aku ditipu, jadi aku harus memastikan...” Tangannya mulai meremas bokong Ivy dengan mesum, satu ujung jarinya menelisik melewati kemeja Ivy. “Ayo… kita cek apa benar kamu masih perawan?” Sekujur badan Ivy merinding dan gemetar luar biasa. “Tidak!” serunya, melepaskan cengkraman dan berlari ke arah pintu, tapi pria itu menyambar rambutnya. Membuat Ivy berteriak kesakitan. “Aahh! Tolong!” Pria itu mengencangkan jambakan dan menghempas kasar tubuh Ivy ke atas sofa. “Sudah kukatakan, aku membayar mahal untuk tubuhmu. Ayo, cantik, sekarang buka kakimu.” Ivy meronta saat pria itu menindih tubuhnya. Panik, tangan Ivy meraba-raba meja dan menyambar sebuah botol alkohol dari sana. Langsung saja, Ivy memukulkan botol itu ke kepala pria di atasnya. Prang! Botol itu pecah berhamburan di lantai. “ARGHH!” Pria itu mundur menjauh, memegangi kepalanya yang berdarah. Memberi kesempatan untuk Ivy menjauh. “Dasar jalang kurang ajar!” Pria itu menatap Ivy dengan pandangan garang yang menyala-nyala. Ivy sudah berlari meninggalkan ruangan sebelum pria itu bergerak menyambar tubuhnya lagi. “Kembali ke sini kau, jalang! Aku akan membunuhmu!” *** “Astaga, kamu berantakan banget, Ivy? Kamu tidak tidur semalaman atau bagaimana?” Clara—teman kuliah Ivy bertanya saat mereka berdua berjalan beriringan di selasar kampus. Ivy tertawa kecil. “Begitulah, hanya kurang tidur saja.” Atau karena Ivy memang hampir tidak tidur. Karena masalah yang disebabkannya di bar, Ivy tidak berani pulang ke rumah dan terpaksa tidur di sebuah taman. Di rumah pohon yang biasa dijadikan tempat mainan anak-anak. “Semalaman begadang mengerjakan tugas, ya? Gara-gara telat masuk kelas Pak Damian waktu itu?” tebak Clara. “Iya,” Ivy mengangguk, dengan lancarnya berbohong. “Eh, omong-omong, soal Pak Damian…” Sekarang Clara agak berbisik, memperhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada orang di dekat mereka. “Kamu tahu tidak, anak bimbingan Pak Damian, kating perempuan yang sangat populer itu?” Ivy mengangguk, sedikit tertarik. Tentu Ivy tahu. Mahasiswi itu terkenal sekali di seluruh penjuru kampus saking cantiknya. “Dengar-dengar, dia sering tidur sama dosen demi nilai.” Ivy memandang ngeri temannya. “Jangan bercanda begitu. Kalau ada yang mendengar bagaimana?” Tapi Clara mengangkat bahunya enteng. “Yah, itu ‘kan rumor yang aku dengar.” “Kita tidak tahu kebenarannya, Clara. Kalau rumor itu tidak benar, bisa jadi fitnah, tahu.” Clara hanya manyun, mengetahui kalau temannya memang tidak asik diajak bergosip. “Terus, soal tugas yang tadi, kamu mau ke perpustakaan dulu tidak buat cari referensi?” Ivy menggeleng. “Aku duluan, harus ke ruangan Pak Damian untuk mengumpulkan tugas.” Mendengar nama dosen yang barusan dibicarakan itu, senyum jahil Clara mengembang. “Ah, kamu ini, anak kesayangan Pak Damian!” “Mana ada anak kesayangan,” balas Ivy datar. Dosen dingin yang tak kenal ampun itu, sudah beberapa kali memberi hukuman pada Ivy, hingga tugasnya tak ada yang pernah selesai. “Ya sudah, ya sudah. Sana, Pak Damian menunggu.” Ivy hanya menghela napas, sebelum pergi meninggalkan temannya itu. Kantor dosen ada di gedung lain. Di depan sebuah ruangan yang pintunya tertutup, Ivy hendak mengetuk saat pintu itu sudah berayun terbuka. Seorang perempuan keluar dari sana dengan penampilan berantakan. Kancing atas kemejanya terbuka dan rambutnya kusut. Menyadari keberadaan Ivy, dia berdeham dan buru-buru melangkah pergi. Perempuan itu adalah Jasmine. Kating yang tadi dibicarakan oleh temannya. Apa yang dilakukannya di dalam ruangan dosen sampai penampilannya seperti itu? Ivy berusaha mengenyahkan pikiran buruknya dan langsung melayangkan ketukan pada pintu. “Masuk.” Suara berat dan dalam itu menyambut di ujung sana. Ivy langsung mendorong pintu terbuka. Pria berkemeja rapi dan bertubuh kekar di dalam ruangan menatapnya dengan mata memicing. “Lagi-lagi, kamu terlambat mengumpulkan tugas.” Damian—si dosen berwajah dewa—berbicara tegas. Pria itu tengah duduk di kursinya. Tubuhnya tegap dengan dada bilang, wajahnya memiliki paras tampan, rahangnya tegas dengan balutan tatapan dingin mengintimidasi. Siapa pun itu, setiap kali berhadapan dengan Damian pasti akan terpana oleh seberapa sempurnanya pria itu. Dosen muda terpopuler di kampus. Ivy menelan ludah. “Maaf, Pak.” “Ini maaf yang keberapa, Ivy?” “Saya tahu saya—” “Sering terlambat mengumpulkan tugas, terlambat masuk kelas, dan nilai-nilai juga turun. Begitu maksudmu?” Ivy menggigit bibir bawahnya. Tidak berani membantah. Damian mengangkat satu tangan, Ivy reflek mendekat dan langsung meletakkan makalah di tangan dosennya itu. Damian membukanya sejenak kemudian berbicara. “Terjemahkan karya ilmiah yang kita bahas Minggu lalu. Kumpulkan siang ini juga kalau mau memperbaiki nilai-nilai kamu.” Ivy langsung ternganga. “Pak, saya minta maaf untuk keterlambatan tugas ini. Tapi, waktunya tidak akan cukup kalau siang ini. Saya—” “Kamu tidak sanggup?” Ivy terdiam, spontan menunduk menyadari tatapan tajam pria itu. Damian bersandar santai pada kursinya. “Memangnya kamu bisa lakukan apalagi untuk memperbaiki nilai? Apa kamu bisa menawarkan jasa lain kepada saya?”Ini gila. Damian belum pernah melakukan hal lebih gila dibandingkan membawa seorang perempuan ke apartemennya.Tapi, sekarang, dia mendengar suara lenguhan-lenguhan erotis yang datang dari kamar mandi pribadinya.Gadis gila itu pasti tengah menyentuh dirinya sendiri!Damian tidak pernah bertemu orang yang mabuk dengan tindakan gila seperti itu. Dia juga tidak menyangka gadis yang tampak polos itu bisa bersikap liar. Apa sejak dulu Ivy memang seperti ini?“Ahhh… eunghhh…”Suara-suara itu seolah memancar dari kamar mandi. Damian tak tahan lagi. Mungkin gadis itu perlu diberi pelajaran.Brak!Pintu kamar mandi terbuka. Damian memandang murka pada Ivy—yang bukannya mandi, malah sibuk menyentuh diri sendiri. Gadis itu terduduk di lantai yang basah sambil bersandar ke tepian bath tub. Kedua tangannya sibuk. Satu meremas payudara, satunya bergerak keluar masuk di antara paha.“Tidak saya sangka kamu akan begini.” Damian memandang sinis. Geli hati melihat si gadis polos kepunyaan kampus, mal
Suara yang memanggil Ivy itu terdengar familier, tapi Ivy tak sanggup mengangkat kepala.Ivy hanya mendengar seruan pria mesum itu, suara pukulan dan tubuh yang menghantam meja dengan keras.Lalu, tubuh Ivy diangkat dengan lembut. Ada wangi segar yang maskulin sekaligus menenangkan memenuhi indera penciumannya.“Ivy, kamu mendengar saya?” Damian menepuk-nepuk pipi Ivy yang mulai memejam dan terbuka tidak beraturan.“Pak Damian?”Apa dia bermimpi? Kenapa dosennya itu ada di sana?Pria itu sedang membopong Ivy dan membawanya keluar dari area bar. Sekilas, Ivy bisa menangkap sang pria mesum yang terkapar di lantai dengan kondisi babak belur.“Ya, ini saya. Kita harus pergi dari sini sekarang juga. Apa kamu baik-baik saja?”“Kok, Pak Damian di sini…?”Suara Ivy sangat serak dan lirih, hampir tidak bisa dimengerti.“Saya mengikuti kamu. Soalnya, pria yang menjemputmu tadi terlihat mencurigakan. Dia bukan pamanmu, ‘kan?” balas Damian.Ivy tidak bisa mendengarkan dengan jelas. Kepalanya tera
Matilah Ivy!Setelah Evan pergi meninggalkan mereka berdua, Ivy masih membeku dalam syok dan keheningan ruangan yang mencekam.Dia menyadari tatapan tajam Damian yang masih mengulitinya.Sontak, Ivy membungkukkan badannya dalam-dalam di hadapan Damian.“Pak, saya benar-benar minta maaf!”Sekujur badan Ivy gemetar ketakutan.Bagaimana kalau Damian benar-benar melaporkannya atas pencemaran nama baik? Hancur sudah semua usahanya selama ini.Namun, Damian hanya menatap Ivy datar, seperti biasa. Ada dengusan tak ramah yang ditangkap Ivy dari pria itu.“Jadi? Kamu sudah sadar kalau kamu hanya menuduh saya sembarangan?”“Ya, Pak, saya benar-benar menyesal!” jawab Ivy panik.“Dan apa kamu sadar, kamu bukan hanya mencemarkan nama baik, kamu juga berniat melakukan pemerasan?”“S-saya benar-benar tidak berniat melakukannya! Saya mohon maaf!”Ivy segera mencerocos panjang. “Saya akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahan saya ini. Tapi tolong jangan laporkan saya, saya tidak bisa kehilangan b
Ivy terengah-engah setelah menjauh dari lab komputer tempat dirinya memergoki Jasmine dan Damian berhubungan badan.Di tengah perasaan syok, dering panggilan membuat Ivy berjengit kaget. Panggilan dari ayahnya.“Ya, Ayah?” panggil Ivy setelah mengangkat panggilan. “Hei, kamu anak sialan! Debt collector itu menghubungiku. Katanya kamu kabur dari bar setelah memukul pelanggan!”Ivy terkesiap. “Dia menghubungi Ayah?”“Dasar bodoh! Bisa-bisanya kamu main kabur begitu dan menyebabkan masalah? Kalau begini kapan hutangku akan lunas?”Tidak diragukan lagi. Pria itu memarahinya bukan karena cemas, tapi karena khawatir pada diri sendiri. Ayahnya memang egois.Ivy menggigit bibir. “Tapi, pelanggan itu hampir saja menyetubuhiku, Ayah.”“Memangnya kenapa? Toh, kamu dibayar! Pekerjaanmu memang melayani orang, dasar tolol. Apa susahnya menuruti perintah, hah?”“Ayah…”Ayahnya tidak menggubrisnya. “Aku tidak mau tahu! Kembali ke bar itu! Dasar anak tak berguna!”Panggilan ditutup. Ivy hanya bisa me
Jasa lain? Kepala Ivy penuh dengan kebingungan. Jenis jasa lain apa yang dimaksudkan agar dirinya bisa memperbaiki nilai?Ivy tidak bisa memikirkannya. Satu-satunya pilihan yang ada hanyalah mengambil hukuman itu."Baik, Pak. Saya akan menyerahkan tugasnya hari ini juga. Tapi bisakah saya meminta tenggat lebih? Saya akan menyelesaikannya malam ini."Bukan apa-apa, tapi tugas lainnya juga banyak. Ivy yakin seluruh jemarinya akan bengkok saking lelahnya dipaksa mengerjakan tugas.“Baiklah kalau begitu.” Damian akhirnya berkompromi. “Saya tunggu paling lambat malam ini. Lebih dari itu, saya tidak akan beri keringanan untuk memperbaiki semua nilaimu.”“Baik, Pak.” Ivy menjawabnya lagi, sudah pasrah. “Kalau begitu permisi.”Setelah mendapatkan anggukan singkat dari dosennya, Ivy berbalik dan segera keluar dari ruangan.Sisa hari berjalan menyebalkan. Tugas tidak hanya datang dari Damian saja, tapi dari dosen lainnya juga. Saat kelas terakhir selesai, rasa lelah menyerang Ivy.Parahnya, Ivy
“Kamu ini bodoh, ya? Hutangmu tidak akan lunas kalau kamu malas-malasan seperti ini! Cepat bekerja!”Seruan kasar itu membuat Ivy tersentak dari lamunannya.Mata Ivy segera beralih dari para pengunjung bar yang sedang berkumpul, kepada pria tinggi besar yang memandangnya bringas.“Baik, Paman.” Ivy menundukkan kepalanya patuh.“Jangan bermalasan seperti orang bodoh. Walaupun kamu memandangi mereka sampai matamu terlepas, posisi kalian tidak akan tertukar.”Samson berbicara sarkastik pada Ivy yang sejak tadi memandangi pengunjung bar. Mereka semua anak muda. Berkumpul di sebuah sofa dengan banyak alkohol di hadapan mereka.Denting-denting gelas terdengar dibarengi dengan suara tawa kegirangan. Jelas sangat bertolak belakang dengan kondisi Ivy yang menjadi budak tempat tersebut.Ivy— wanita berusia di awal 20-an yang berasal dari keluarga sederhana. Ibunya sudah meninggal lama, dan dia hanya hidup dengan ayahnya.Mungkin beruntung kalau ayahnya waras, tapi pria itu adalah kumpulan dari







