Masuk“Kenapa kamu tidak akur dengan Pak Damian? Bukankah kalian saudara?”Devon diam cukup lama. Fokusnya tidak pecah sedikit pun dengan jalanan di depannya.“Kepribadian kita berbeda. Mungkin kamu tahu. Damian itu orang yang serius dan punya tujuan untuk masa depannya, sementara aku sebaliknya.”Ivy merasa itu masuk akal. Damian memang sangat serius, sedangkan Devon … sangat tengil, seolah semua hal adalah candaan baginya.Mobil terus melaju. Bangunan besar yang sudah Ivy hafal terlihat di depan sana.“Sebaiknya turunkan aku di depan apartemen saja,” kata Ivy.“Kenapa?”Untuk sesaat, Ivy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Merasa tidak nyaman mengatakan hal itu, tapi lebih baik jujur di awal daripada membuat Devon terus mendatanginya tanpa alasan jelas.“Sebenarnya, setelah kedatanganmu ke kampus waktu itu, Pak Damian memberi pesan kepadaku untuk tidak dekat-dekat denganmu.”Hening untuk sejenak, sampai akhirnya suara tawa Devon memenuhi mobil. Pria itu sampai memukul-mukul setir mobil
Ivy memandangi Damian yang duduk di seberang meja. Pria itu sibuk dengan laptop menyala sejak tadi.Ragu-ragu Ivy berdeham pelan, tapi Damian tidak juga terganggu dengan hal itu. Mau tak mau Ivy akhirnya angkat suara.“Pak, saya sudah selesai mengoreksi semua tugas yang Bapak minta.”Berhasil, tatapan Damian beralih pada Ivy. Pria itu menganggukkan kepalanya pelan.“Oke, terima kasih. Kamu bisa pulang sekarang.”Ivy balas mengangguk dan langsung berdiri. Memasang tasnya di bahu kemudian mendorong kursinya agak ke belakang agar bisa keluar dari area meja.“Kalau begitu saya permisi.”Ivy baru ingin berbalik saat Damian justru berdiri dari posisi duduknya.“Tunggu.”Tidak diduga-duga, ternyata Damian mengeluarkan dompet dari saku celananya. Pria itu menarik selembar uang, dijepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, disodorkan ke Ivy.“Untuk ongkos,” katanya.Ivy mengerjap sambil menatap uang itu. Kepalanya menggeleng cepat. “Tidak. Ini bukan pertama kalinya Bapak memberi saya on
Devon memicingkan matanya. Sengaja menekankan kata ‘lainnya’.Tubuhnya mendadak maju mendekati Ivy. Membuat Ivy mundur sampai kepalanya terantuk kaca jendela.Mata Devon yang seperti elang itu menatap lamat-lamat Ivy yang kikuk dan gugup. Laki-laki ini … apa bermaksud menginspeksinya?Tapi, dilihat-lihat, paras Devon memiliki kemiripan dengan Damian. Sama-sama tampan. Menyadarinya membuat Ivy menelan ludah gugup. Seperti melihat Damian dalam versi yang sedikit lebih muda.“A-apa yang kamu lakukan?” Ivy mencoba mendorong Devon dengan menekan tangannya pada bahunya.“Hmm, aku penasaran,” ucap Devon, jarak mereka yang hanya sejengkal membuat napasnya menerpa wajah Ivy. “Bagaimana ya kalau satu kampus tahu bahwa kamu tinggal satu rumah dengan dosenmu sendiri?”Napas Ivy tercekat.Tiba-tiba menyesal menerima tawaran Devon untuk pergi ke kampus bersama. Apa pria itu hanya mengerjainya saja?“Kamu tahu? Untuk orang sepertiku, bukan hal yang sulit untuk menggaet satu saja wanita yang kuliah d
Ivy panik. Tatapannya menoleh ke sana ke mari seperti sedang mencari jalan keluar. Bagaimana caranya dirinya lari dari Devon?Ingatan Ivy terlempar ke kilas balik saat pria itu muncul di kampus. Damian mengatakan kepadanya bahwa dirinya tidak boleh berdekatan dengan Devon.Katanya ... pria itu nakal.“Maaf, aku harus pergi.” Ivy menundukkan kepalanya sambil mencengkeram tali tas. Menjadikannya kekuatan untuk mengambil langkah maju.“Kenapa buru-buru begitu? Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Devon dengan cepat menghadang langkah Ivy lagi. “Kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu mahasiswa kakakku?”“I-itu ... saya....” Ivy merapatkan mulut. Sekarang dirinya harus menjelaskan apa saat Devon melihatnya keluar tepat dari kamar Damian?Devon bergumam sambil memerhatikan Ivy, sebelum tersenyum lebar.“Ohhh … ternyata begitu!” serunya, suara tawa terdengar di sepanjang lorong kosong itu. Nyaring sekali.“Heh! Kalau tahu kamu adalah pacar Kak Damian, aku tidak akan memperlakukanmu dengan buru
Damian langsung berdiri dari posisi duduknya. Setiap gerakannya itu diikuti oleh tatapan Ivy yang tidak mau mengalihkan mata darinya. “Jangan lakukan ini lagi. Kamu itu mahasiswa saya. Kita tidak bisa melewati batas.” Perbedaan usia, status mereka, terlalu jelas sebagai batas yang seharusnya tidak boleh dilewati. Dan Damian baru saja menegaskan hal itu kepada Ivy. Ivy sudah membuka mulutnya, tapi akhirnya kembali dirapatkan begitu saja olehnya. Bahunya luruh dengan tatapan tertunduk lesu. “Maafkan saya.” Akhirnya hanya gumaman pelan itu yang terdengar dari Ivy. “Istirahatlah. Usahakan tidak tidur dalam posisi terlentang agar lukanya tidak tergesek dan jadi lebih parah.” Damian memberi pesan, tidak sadar dengan selipan perhatian di balik kalimatnya itu. Dia kemudian berbalik pergi menuju kamarnya. Suara langkahnya menggema di ruangan yang sepi. Menghilang dalam senyap yang tidak lagi didengar Ivy. *** Pagi di apartemen terjadi seperti biasa. Tapi jantung Ivy terus berd
Damian menurunkan tangan Ivy yang berada di atas pahanya. Tidak membiarkannya untuk bergerak lebih jauh.“Ivy, diamlah di tempat. Saya belum selesai mengobati kamu.”Damian menggerakkan kembali tangannya yang sempat terhenti. Mengabaikan ucapan Ivy sebelumnya.Ivy diam. Mulanya tidak menjawab apa-apa. Pertanyaan sebelumnya pun dirinya tidak sadar terlontar begitu saja dari mulutnya.Tapi suasana itu terlalu intens. Jauh berbeda dari yang selama ini dimilikinya saat bersama Damian.Air conditioner yang menyala, bagian punggungnya yang terekspos sempurna, setiap jemari Damian yang bermain mengusapi kulitnya.Sentuhan semacam itu tidak pernah sekalipun didapatkannya dari orang lain, bagaimana dirinya bisa menahannya?“Katanya dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda tidak akan bisa tinggal di tempat yang sama. Mereka pasti akan melakukannya. Mereka tidak akan bisa menahan dorongan itu.”Ivy kalah. Ditambah perubahan hormonal pada tubuhnya karena datang bulan, sentuhan Damian membuatny







