เข้าสู่ระบบSuara yang memanggil Ivy itu terdengar familier, tapi Ivy tak sanggup mengangkat kepala.
Ivy hanya mendengar seruan pria mesum itu, suara pukulan dan tubuh yang menghantam meja dengan keras. Lalu, tubuh Ivy diangkat dengan lembut. Ada wangi segar yang maskulin sekaligus menenangkan memenuhi indera penciumannya. “Ivy, kamu mendengar saya?” Damian menepuk-nepuk pipi Ivy yang mulai memejam dan terbuka tidak beraturan. “Pak Damian?” Apa dia bermimpi? Kenapa dosennya itu ada di sana? Pria itu sedang membopong Ivy dan membawanya keluar dari area bar. Sekilas, Ivy bisa menangkap sang pria mesum yang terkapar di lantai dengan kondisi babak belur. “Ya, ini saya. Kita harus pergi dari sini sekarang juga. Apa kamu baik-baik saja?” “Kok, Pak Damian di sini…?” Suara Ivy sangat serak dan lirih, hampir tidak bisa dimengerti. “Saya mengikuti kamu. Soalnya, pria yang menjemputmu tadi terlihat mencurigakan. Dia bukan pamanmu, ‘kan?” balas Damian. Ivy tidak bisa mendengarkan dengan jelas. Kepalanya terasa sangat pusing. Tapi bukan itu yang sangat mengganggu, melainkan perasaan panas yang menjalari seluruh tubuhnya. Ivy mengeratkan kedua lengannya pada leher Damian, membenamkan wajahnya ke ceruk leher pria itu. “Pak Damian…” “Ya?” “Mmm… rasanya aneh…” Gairah. Itu jenis perasaan yang tidak pernah Ivy rasakan sebelumnya. Rasa panas membakar seluruh tubuhnya, menyebar ke segala arah di waktu bersamaan. Tidak ada yang tahu bahwa pada alkohol yang Ivy minum sebelumnya, terdapat obat perangsang sudah dimasukkan ke dalam gelasnya. “Tolong… tolong sentuh saya!” mohon Ivy—memaksa dengan napas terengah-engah. Tubuh Damian menegang, pegangannya pada tubuh Ivy mengerat. Tetapi, dia berkata dengan tegas. “Kamu sedang di bawah pengaruh alkohol. Sadarlah, Ivy.” Tapi Ivy terus menggeliat. Rasa panas itu tak nyaman, perlu dipadamkan dengan sentuhan. Bruk! Tubuh Ivy dimasukkan dengan kasar ke dalam sebuah mobil. Aroma isi mobil itu seperti aroma Damian, dan membuat isi pikiran Ivy semakin kacau. “Ahh, Pak Damian … Sentuh saya …” racau Ivy dengan tubuh menggeliat. Damian tak menjawab. Dia memasangkan sabuk pengaman kepada Ivy dan menepuk-nepuk pipi Ivy yang hampir hilang kesadaran. “Beritahu saya di mana rumah kamu. Saya bakal antar kamu pulang.” Ivy menggelengkan kepala. “Tidak bisa… Banyak orang berbahaya … Kita akan mati!” Kening Damian berkerut, entah percaya atau tidak pada ucapan tak jelas gadis itu. Dia menutup pintu mobil dan memutari mobil untuk duduk di balik kemudi. Mesin mobil dinyalakan, dan mulai berjalan meninggalkan distrik hiburan itu. “Saya bawa kamu ke apartemen saya.” *** Petugas keamanan dan petugas resepsionis nampak kebingungan melihat Damian membawa seorang wanita di tengah malam seperti itu. Keduanya pergi menuju lift. Damian berulang kali menahan napas mendengar Ivy yang terus melenguh sambil bergumam tidak jelas. Suasana kamarnya gelap gulita saat dirinya membuka pintu. Damian membawa Ivy masuk. Susah payah melepaskan Ivy yang memeluknya seperti koala. Damian menghempas tubuh Ivy ke atas ranjang. Mengabaikan lenguhan yang terus datang. “Pak Damian …” panggil Ivy serak. Damian tidak menjawab, sibuk memunggungi Ivy sambil melepaskan jasnya. Punggung lebar Damian itu tampak begitu menggoda. Otot-ototnya tercetak pada kemeja putih yang pas di badannya. Dari belakang saja, pria itu sudah jelas begitu tampan. Ivy tak kuasa disajikan pemandangan seperti itu, panas di badannya sudah merajalela. Ivy butuh sentuhannya! “Ahh … Pak Damian…” Tangan Ivy turun menyusuri badannya sendiri. Yang pertama diraba olehnya adalah dua gundukan di depan tubuh. Bagian ujungnya mengeras. Turun sampai ke bawah, menurunkan celananya. Hingga menyentuh bagian paling sensitif yang kini sudah basah. Bagian itu berkedut parah, meminta diberi makan. Tanpa pikir lagi, Ivy mencoba memasukkan satu jarinya ke dalam sana. Tubuhnya mengejang dengan mata terpejam. Bukan nikmat, malahan … sakit! “Arghhh….” Ivy menggigit bibir bawahnya kuat. Ivy tidak pernah memuaskan dirinya sendiri seperti ini. Dia hanya berpikir, mungkin akan terasa enak jika memasukkan lebih dalam. Namun, belum sempat mencapai rasa puas itu, Damian sudah berbalik, kaget melihat pemandangan itu. Tangan besarnya segera mencekal pergelangan Ivy dan menariknya menjauh dari celah kedua pahanya. “Tidak di sini. Tidak di rumah saya,” titahnya tegas, lalu melemparkan tangan Ivy dengan sembarang, mengundang erangan protes dari gadis itu. “Bapak ‘kan yang membantu saya keluar dari tempat itu, jadi jangan lakukan setengah-setengah!” “Bukan berarti saya akan meniduri kamu.” “Saya … tidak bisa menahannya lagi, Pak! Eunghhh….” Sekilas, Ivy melihat badan Damian yang menegang saat mendengarnya melenguh manja seperti itu. Setelahnya, dengan wajah gelap pria itu menarik Ivy dari kasur, lalu mendorongnya ke depan pintu kamar mandi. “Mandi. Segarkan pikiranmu.” “Tidak!” Ivy justru mencengkeram lengan Damian kuat. Menyusurinya ke atas. Sampai jemarinya menyentuh otot biceps Damian yang keras. “Saya cuma butuh Bapak!” Dengan keras kepala, Ivy terus bergantung padanya dengan pegangan putus asa. Sekujur tubuhnya bergetar, napasnya terasa panas. Ivy menempelkan diri pada Damian, menggesekkan badannya demi memuaskan rasa tak nyaman itu. “Saya mohon…” Damian tidak menjawab, mendorong Ivy hingga dia akhirnya masuk ke ruang kamar mandi yang lembab dan basah, kontras dengan tubuh Ivy yang membara. Rasa dingin itu tidak lebih menusuk dibandingkan tatapan dingin Damian. Ivy baru menyadarinya, ternyata ini pesona seorang Damian yang kerap dibicarakan sepenjuru kampus itu? Tenang pembawaannya memang merupakan serangan yang menggetarkan. “Apa karena saya tidak cantik?” Suara Ivy lirih, diikuti isakan menyedihkan. Ivy mengusap matanya yang berair dengan lengan baju. “Hiks… Bapak tidak mau tidur sama perempuan jelek seperti saya, ya…” Bahkan tangisan Ivy itu tidak menggerakkan Damian yang masih berekspresi dingin. “Mandi. Atau saya usir kamu sekarang.” Dengan masih terisak, Ivy mulai melepaskan kancing bajunya satu per satu. Di depan pintu, Damian segera membuang muka. Ivy tidak tahu bahwa Damian tidak pernah membawa seorang wanita ke tempatnya. Apalagi yang sedang mabuk dan terangsang seperti ini. “Saya tunggu kamu selesai. Akan saya beri baju ganti.” Begitu saja, Damian menutup pintu kamar mandi itu. Meninggalkan Ivy yang berdiri sambil terisak di kamar mandi. Segera setelah menanggalkan seluruh pakaiannya, Ivy menatap pantulan tubuhnya di cermian. Menurut Ivy, badannya memang bukan tipikal yang menarik. Lekukan tubuhnya tidak begitu kentara. Dia hanya gadis kurus yang sejak kecil kekurangan gizi karena miskin. Pandangan Ivy turun ke bagian bawahnya yang sudah basah. Perlahan, tangannya diarahkan ke bagian itu.Ini gila. Damian belum pernah melakukan hal lebih gila dibandingkan membawa seorang perempuan ke apartemennya.Tapi, sekarang, dia mendengar suara lenguhan-lenguhan erotis yang datang dari kamar mandi pribadinya.Gadis gila itu pasti tengah menyentuh dirinya sendiri!Damian tidak pernah bertemu orang yang mabuk dengan tindakan gila seperti itu. Dia juga tidak menyangka gadis yang tampak polos itu bisa bersikap liar. Apa sejak dulu Ivy memang seperti ini?“Ahhh… eunghhh…”Suara-suara itu seolah memancar dari kamar mandi. Damian tak tahan lagi. Mungkin gadis itu perlu diberi pelajaran.Brak!Pintu kamar mandi terbuka. Damian memandang murka pada Ivy—yang bukannya mandi, malah sibuk menyentuh diri sendiri. Gadis itu terduduk di lantai yang basah sambil bersandar ke tepian bath tub. Kedua tangannya sibuk. Satu meremas payudara, satunya bergerak keluar masuk di antara paha.“Tidak saya sangka kamu akan begini.” Damian memandang sinis. Geli hati melihat si gadis polos kepunyaan kampus, mal
Suara yang memanggil Ivy itu terdengar familier, tapi Ivy tak sanggup mengangkat kepala.Ivy hanya mendengar seruan pria mesum itu, suara pukulan dan tubuh yang menghantam meja dengan keras.Lalu, tubuh Ivy diangkat dengan lembut. Ada wangi segar yang maskulin sekaligus menenangkan memenuhi indera penciumannya.“Ivy, kamu mendengar saya?” Damian menepuk-nepuk pipi Ivy yang mulai memejam dan terbuka tidak beraturan.“Pak Damian?”Apa dia bermimpi? Kenapa dosennya itu ada di sana?Pria itu sedang membopong Ivy dan membawanya keluar dari area bar. Sekilas, Ivy bisa menangkap sang pria mesum yang terkapar di lantai dengan kondisi babak belur.“Ya, ini saya. Kita harus pergi dari sini sekarang juga. Apa kamu baik-baik saja?”“Kok, Pak Damian di sini…?”Suara Ivy sangat serak dan lirih, hampir tidak bisa dimengerti.“Saya mengikuti kamu. Soalnya, pria yang menjemputmu tadi terlihat mencurigakan. Dia bukan pamanmu, ‘kan?” balas Damian.Ivy tidak bisa mendengarkan dengan jelas. Kepalanya tera
Matilah Ivy!Setelah Evan pergi meninggalkan mereka berdua, Ivy masih membeku dalam syok dan keheningan ruangan yang mencekam.Dia menyadari tatapan tajam Damian yang masih mengulitinya.Sontak, Ivy membungkukkan badannya dalam-dalam di hadapan Damian.“Pak, saya benar-benar minta maaf!”Sekujur badan Ivy gemetar ketakutan.Bagaimana kalau Damian benar-benar melaporkannya atas pencemaran nama baik? Hancur sudah semua usahanya selama ini.Namun, Damian hanya menatap Ivy datar, seperti biasa. Ada dengusan tak ramah yang ditangkap Ivy dari pria itu.“Jadi? Kamu sudah sadar kalau kamu hanya menuduh saya sembarangan?”“Ya, Pak, saya benar-benar menyesal!” jawab Ivy panik.“Dan apa kamu sadar, kamu bukan hanya mencemarkan nama baik, kamu juga berniat melakukan pemerasan?”“S-saya benar-benar tidak berniat melakukannya! Saya mohon maaf!”Ivy segera mencerocos panjang. “Saya akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahan saya ini. Tapi tolong jangan laporkan saya, saya tidak bisa kehilangan b
Ivy terengah-engah setelah menjauh dari lab komputer tempat dirinya memergoki Jasmine dan Damian berhubungan badan.Di tengah perasaan syok, dering panggilan membuat Ivy berjengit kaget. Panggilan dari ayahnya.“Ya, Ayah?” panggil Ivy setelah mengangkat panggilan. “Hei, kamu anak sialan! Debt collector itu menghubungiku. Katanya kamu kabur dari bar setelah memukul pelanggan!”Ivy terkesiap. “Dia menghubungi Ayah?”“Dasar bodoh! Bisa-bisanya kamu main kabur begitu dan menyebabkan masalah? Kalau begini kapan hutangku akan lunas?”Tidak diragukan lagi. Pria itu memarahinya bukan karena cemas, tapi karena khawatir pada diri sendiri. Ayahnya memang egois.Ivy menggigit bibir. “Tapi, pelanggan itu hampir saja menyetubuhiku, Ayah.”“Memangnya kenapa? Toh, kamu dibayar! Pekerjaanmu memang melayani orang, dasar tolol. Apa susahnya menuruti perintah, hah?”“Ayah…”Ayahnya tidak menggubrisnya. “Aku tidak mau tahu! Kembali ke bar itu! Dasar anak tak berguna!”Panggilan ditutup. Ivy hanya bisa me
Jasa lain? Kepala Ivy penuh dengan kebingungan. Jenis jasa lain apa yang dimaksudkan agar dirinya bisa memperbaiki nilai?Ivy tidak bisa memikirkannya. Satu-satunya pilihan yang ada hanyalah mengambil hukuman itu."Baik, Pak. Saya akan menyerahkan tugasnya hari ini juga. Tapi bisakah saya meminta tenggat lebih? Saya akan menyelesaikannya malam ini."Bukan apa-apa, tapi tugas lainnya juga banyak. Ivy yakin seluruh jemarinya akan bengkok saking lelahnya dipaksa mengerjakan tugas.“Baiklah kalau begitu.” Damian akhirnya berkompromi. “Saya tunggu paling lambat malam ini. Lebih dari itu, saya tidak akan beri keringanan untuk memperbaiki semua nilaimu.”“Baik, Pak.” Ivy menjawabnya lagi, sudah pasrah. “Kalau begitu permisi.”Setelah mendapatkan anggukan singkat dari dosennya, Ivy berbalik dan segera keluar dari ruangan.Sisa hari berjalan menyebalkan. Tugas tidak hanya datang dari Damian saja, tapi dari dosen lainnya juga. Saat kelas terakhir selesai, rasa lelah menyerang Ivy.Parahnya, Ivy
“Kamu ini bodoh, ya? Hutangmu tidak akan lunas kalau kamu malas-malasan seperti ini! Cepat bekerja!”Seruan kasar itu membuat Ivy tersentak dari lamunannya.Mata Ivy segera beralih dari para pengunjung bar yang sedang berkumpul, kepada pria tinggi besar yang memandangnya bringas.“Baik, Paman.” Ivy menundukkan kepalanya patuh.“Jangan bermalasan seperti orang bodoh. Walaupun kamu memandangi mereka sampai matamu terlepas, posisi kalian tidak akan tertukar.”Samson berbicara sarkastik pada Ivy yang sejak tadi memandangi pengunjung bar. Mereka semua anak muda. Berkumpul di sebuah sofa dengan banyak alkohol di hadapan mereka.Denting-denting gelas terdengar dibarengi dengan suara tawa kegirangan. Jelas sangat bertolak belakang dengan kondisi Ivy yang menjadi budak tempat tersebut.Ivy— wanita berusia di awal 20-an yang berasal dari keluarga sederhana. Ibunya sudah meninggal lama, dan dia hanya hidup dengan ayahnya.Mungkin beruntung kalau ayahnya waras, tapi pria itu adalah kumpulan dari







