Mag-log inMatilah Ivy!
Setelah Evan pergi meninggalkan mereka berdua, Ivy masih membeku dalam syok dan keheningan ruangan yang mencekam. Dia menyadari tatapan tajam Damian yang masih mengulitinya. Sontak, Ivy membungkukkan badannya dalam-dalam di hadapan Damian. “Pak, saya benar-benar minta maaf!” Sekujur badan Ivy gemetar ketakutan. Bagaimana kalau Damian benar-benar melaporkannya atas pencemaran nama baik? Hancur sudah semua usahanya selama ini. Namun, Damian hanya menatap Ivy datar, seperti biasa. Ada dengusan tak ramah yang ditangkap Ivy dari pria itu. “Jadi? Kamu sudah sadar kalau kamu hanya menuduh saya sembarangan?” “Ya, Pak, saya benar-benar menyesal!” jawab Ivy panik. “Dan apa kamu sadar, kamu bukan hanya mencemarkan nama baik, kamu juga berniat melakukan pemerasan?” “S-saya benar-benar tidak berniat melakukannya! Saya mohon maaf!” Ivy segera mencerocos panjang. “Saya akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahan saya ini. Tapi tolong jangan laporkan saya, saya tidak bisa kehilangan beasiswa ini. Saya… saya…” Ivy menggigit bibir yang gemetar, menahan tangis. Dia merasa begitu bodoh sudah membuat keputusan yang salah. Melihat gadis rapuh yang bodoh dan ceroboh di depannya, sudut bibir Damian terangkat. “Kalau begitu, bekerjalah untuk saya.” Ivy terdiam, lalu mendongak dengan bingung. “Apa?” *** “Heh, di situ kau rupanya,” Samson berucap pelan sambil menatap Ivy yang berjalan keluar area kampus. Bibirnya tersenyum puas. Tampaknya, Ivy tidak menyadari kehadiran Samson, sehingga pria itu dengan mudah menyambar lengan gadis itu. “Kamu pikir kamu bisa kabur dariku? Ke lubang semut pun pasti akan aku cari sampai ketemu!” Ivy terkejut, tidak sempat melarikan diri. Seharusnya Ivy tahu bahwa dirinya tidak akan bisa lari dari Samson. Hanya karena dirinya tidak datang ke bar, bukan berarti pria itu tidak mencarinya. “P-Paman, kenapa Paman ke sini?” Ivy menoleh ke sekitar dengan cemas. Tidak ingin pemandangan itu dilihat orang lain. “Kenapa lagi? Karena kamu kabur meninggalkan masalah untukku di bar.” Tangan Ivy ditarik lebih dekat. Samson berbisik dengan ancaman halus. “Kamu tahu? Aku bisa membunuh ayahmu sekarang juga. Hanya tinggal menghubungi orang suruhanku dan mereka akan langsung mencincangnya sampai habis.” Wajah Ivy memucat mendengarnya. “Tidak! Tolong jangan lakukan itu, Paman!” mohonnya panik. “Kalau begitu, bereskan masalahmu,” gertaknya dengan wajah sangar itu sambil menarik Ivy yang terseok-seok di belakangnya. Area kampus itu sepi di petang hari. Kebanyakan aktivitas kampus sudah selesai sejak sore. Tetapi, pemandangan itu terlihat oleh pria yang baru saja melewati gerbang depan. “Ivy?” Suara itu sontak membuat Ivy dan Samson menoleh. Damian sudah melangkah mendekat, membuat Samson diam-diam berdecih. Sedangkan Ivy merasa terancam karena kehadirannya yang begitu tiba-tiba. Kenapa dia tiba-tiba muncul di tengah situasi pelik ini? “Ivy, ada apa ini? Siapa ini?” tanya Damian. Ivy kelabakan. Dia tidak bisa memberi tahu tentang dirinya yang bekerja di bar, apalagi berurusan dengan penagih hutang. Bahkan, Ivy merasakan pegangan Samson yang erat sebagai ancaman. “I-ini adalah Paman saya, Pak.” Ivy berusaha terdengar meyakinkan. “Paman saya datang untuk menjemput saya.” Samson hanya melayangkan senyum miring ke arah Damian, dan langsung menyeret paksa tubuh Ivy, mendorongnya masuk ke mobilnya yang terparkir masuk di tepi jalan. *** “Sekarang bereskan semua masalah yang kamu buat.” Samson berujar sambil mendorong tubuh Ivy ke dalam bar yang baru saja buka malam itu. Bar masih sepi, belum banyak berkunjung. Tapi, seorang pria bertubuh tambun duduk di salah satu kursi. Pria yang dipukul Ivy di malam itu. Sebelum Ivy sempat kabur lagi, Samson sudah menarik Ivy dan menekannya agar berlutut di hadapan pria itu. “Hai, gadis kecil, masih ingat aku?” Pria itu menyapa dengan seringai lebar, sangat puas karena berhasil mendapatkan buruan yang sempat kabur. “Apa kamu tahu berapa jahitan yang aku dapatkan di kepalaku?” Pria itu menunjuk-nunjuk kepalanya yang masih terlapis perban. Ivy menelan ludah. Suaranya bergetar. “Maafkan saya, Tuan…” “Memangnya permintaan maafmu bisa merapatkan kembali kepalaku yang robek?” cibir pria itu, sebelum tersenyum miring. “Aku ingin ganti rugi. Lima belas juta dan kau harus membayarnya saat ini juga.” Mulut Ivy langsung terbuka lebar mendengar nominal yang gila itu. “Li-lima belas… S-saya tidak punya uang sebanyak itu!” “Yah, kalau begitu bayar dengan cara lain.” Pria itu menjilat bibirnya, tatapannya menelanjangi Ivy dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ivy kian bergetar, melirik ke arah Samson di sisinya yang dengan santainya menghisap rokok. “P-Paman…” Pria tambun itu mengikuti arah mata Ivy yang menatap Samson. “Hei, bagaimana? Kau tahu sendiri berapa kerugian karena ulah perempuanmu, Samson!” Samson menghembuskan asap rokok sambil mengulurkan satu tangannya. “Tambahan lima juta untuk ongkos kirim ke sini.” “Ck, dasar mata duitan. Padahal aku langganan bar ini.” Si pria tambun berdecak, langsung merogoh kantong dan menyerahkan segepok uang yang diikat karet. Samson menghitung jumlah uang itu sambil melambaikan tangan dan berlalu begitu saja. Ivy terhenyak. Dia baru saja dijual! Sebelum kehilangan Samson, Ivy bangkit dan hendak mengekorinya, tapi tangan pria mesum itu sudah mencekalnya duluan. “Heh, kau tidak boleh pergi, kau milikku sekarang!” Pria itu mendudukan Ivy di atas kursi, kemudian mengambil segelas minuman beralkohol dari atas meja. Kalau gadis itu tidak mau mengikutinya, hanya perlu dicekoki sampai dia mengemis ingin dipuaskan. “Minum.” Pria itu memerintah, tapi Ivy menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “S-saya tidak minum alkohol, Tuan…” “Aku sudah membayarmu, jadi lakukan perintahku! Minum!” bentaknya. “S-saya akan bertanggung jawab, tapi tidak dengan cara seperti ini, saya akan usahakan uangnya, saya janji!” “Minum kubilang, sialan!” Pria itu berseru jengkel dan menyambar rahang Ivy. Memaksanya untuk membuka mulut. “Tidak, Tuan! Saya mohon—hmmph!” Bibir gelas yang dipegangnya langsung dituangkan ke mulut Ivy. Cairan itu membanjiri wajah Ivy. “Buka mulutmu yang lebar! Telan semuanya! Harga segelas ini mahal, tahu?” Dengan mata mendelik, leher Ivy naik turun terpaksa menelan cairan itu masuk ke lehernya. Minuman itu masuk semakin banyak. Terasa panas dan pahit mencekik lehernya. Sakit! Ivy memejamkan mata kuat-kuat sambil memukul-mukul lengan pria itu. “Bagus.” Pria itu tertawa sambil meletakkan gelas yang sudah kosong di atas meja. “Uhuk, uhuk!” Ivy terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya. Rasa pusing mendera kepalanya, pandangannya terasa berputar. “Sekarang, kemarilah.” Pria itu menarik tengkuk leher Ivy, berniat ingin menciumnya. Dengan kesadaran yang hampir hilang karena efek alkohol, Ivy bergerak menjauh, jatuh terduduk ke lantai dan mulai merangkak pergi. “Gadis bodoh, kamu tidak akan bisa ke mana-mana.” Pria itu menyambar salah satu kaki Ivy dan menariknya kembali. “Tidak… tolong… tolong aku…” raung Ivy lemah. Tubuh Ivy dibalik begitu saja, dan dengan senyum mesum yang menjijikan, pria itu mengangkat tangannya hendak menggerayangi tubuh Ivy. Brak! Pintu yang tertutup di ujung sana tiba-tiba terbuka. “Ivy!”Ini gila. Damian belum pernah melakukan hal lebih gila dibandingkan membawa seorang perempuan ke apartemennya.Tapi, sekarang, dia mendengar suara lenguhan-lenguhan erotis yang datang dari kamar mandi pribadinya.Gadis gila itu pasti tengah menyentuh dirinya sendiri!Damian tidak pernah bertemu orang yang mabuk dengan tindakan gila seperti itu. Dia juga tidak menyangka gadis yang tampak polos itu bisa bersikap liar. Apa sejak dulu Ivy memang seperti ini?“Ahhh… eunghhh…”Suara-suara itu seolah memancar dari kamar mandi. Damian tak tahan lagi. Mungkin gadis itu perlu diberi pelajaran.Brak!Pintu kamar mandi terbuka. Damian memandang murka pada Ivy—yang bukannya mandi, malah sibuk menyentuh diri sendiri. Gadis itu terduduk di lantai yang basah sambil bersandar ke tepian bath tub. Kedua tangannya sibuk. Satu meremas payudara, satunya bergerak keluar masuk di antara paha.“Tidak saya sangka kamu akan begini.” Damian memandang sinis. Geli hati melihat si gadis polos kepunyaan kampus, mal
Suara yang memanggil Ivy itu terdengar familier, tapi Ivy tak sanggup mengangkat kepala.Ivy hanya mendengar seruan pria mesum itu, suara pukulan dan tubuh yang menghantam meja dengan keras.Lalu, tubuh Ivy diangkat dengan lembut. Ada wangi segar yang maskulin sekaligus menenangkan memenuhi indera penciumannya.“Ivy, kamu mendengar saya?” Damian menepuk-nepuk pipi Ivy yang mulai memejam dan terbuka tidak beraturan.“Pak Damian?”Apa dia bermimpi? Kenapa dosennya itu ada di sana?Pria itu sedang membopong Ivy dan membawanya keluar dari area bar. Sekilas, Ivy bisa menangkap sang pria mesum yang terkapar di lantai dengan kondisi babak belur.“Ya, ini saya. Kita harus pergi dari sini sekarang juga. Apa kamu baik-baik saja?”“Kok, Pak Damian di sini…?”Suara Ivy sangat serak dan lirih, hampir tidak bisa dimengerti.“Saya mengikuti kamu. Soalnya, pria yang menjemputmu tadi terlihat mencurigakan. Dia bukan pamanmu, ‘kan?” balas Damian.Ivy tidak bisa mendengarkan dengan jelas. Kepalanya tera
Matilah Ivy!Setelah Evan pergi meninggalkan mereka berdua, Ivy masih membeku dalam syok dan keheningan ruangan yang mencekam.Dia menyadari tatapan tajam Damian yang masih mengulitinya.Sontak, Ivy membungkukkan badannya dalam-dalam di hadapan Damian.“Pak, saya benar-benar minta maaf!”Sekujur badan Ivy gemetar ketakutan.Bagaimana kalau Damian benar-benar melaporkannya atas pencemaran nama baik? Hancur sudah semua usahanya selama ini.Namun, Damian hanya menatap Ivy datar, seperti biasa. Ada dengusan tak ramah yang ditangkap Ivy dari pria itu.“Jadi? Kamu sudah sadar kalau kamu hanya menuduh saya sembarangan?”“Ya, Pak, saya benar-benar menyesal!” jawab Ivy panik.“Dan apa kamu sadar, kamu bukan hanya mencemarkan nama baik, kamu juga berniat melakukan pemerasan?”“S-saya benar-benar tidak berniat melakukannya! Saya mohon maaf!”Ivy segera mencerocos panjang. “Saya akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahan saya ini. Tapi tolong jangan laporkan saya, saya tidak bisa kehilangan b
Ivy terengah-engah setelah menjauh dari lab komputer tempat dirinya memergoki Jasmine dan Damian berhubungan badan.Di tengah perasaan syok, dering panggilan membuat Ivy berjengit kaget. Panggilan dari ayahnya.“Ya, Ayah?” panggil Ivy setelah mengangkat panggilan. “Hei, kamu anak sialan! Debt collector itu menghubungiku. Katanya kamu kabur dari bar setelah memukul pelanggan!”Ivy terkesiap. “Dia menghubungi Ayah?”“Dasar bodoh! Bisa-bisanya kamu main kabur begitu dan menyebabkan masalah? Kalau begini kapan hutangku akan lunas?”Tidak diragukan lagi. Pria itu memarahinya bukan karena cemas, tapi karena khawatir pada diri sendiri. Ayahnya memang egois.Ivy menggigit bibir. “Tapi, pelanggan itu hampir saja menyetubuhiku, Ayah.”“Memangnya kenapa? Toh, kamu dibayar! Pekerjaanmu memang melayani orang, dasar tolol. Apa susahnya menuruti perintah, hah?”“Ayah…”Ayahnya tidak menggubrisnya. “Aku tidak mau tahu! Kembali ke bar itu! Dasar anak tak berguna!”Panggilan ditutup. Ivy hanya bisa me
Jasa lain? Kepala Ivy penuh dengan kebingungan. Jenis jasa lain apa yang dimaksudkan agar dirinya bisa memperbaiki nilai?Ivy tidak bisa memikirkannya. Satu-satunya pilihan yang ada hanyalah mengambil hukuman itu."Baik, Pak. Saya akan menyerahkan tugasnya hari ini juga. Tapi bisakah saya meminta tenggat lebih? Saya akan menyelesaikannya malam ini."Bukan apa-apa, tapi tugas lainnya juga banyak. Ivy yakin seluruh jemarinya akan bengkok saking lelahnya dipaksa mengerjakan tugas.“Baiklah kalau begitu.” Damian akhirnya berkompromi. “Saya tunggu paling lambat malam ini. Lebih dari itu, saya tidak akan beri keringanan untuk memperbaiki semua nilaimu.”“Baik, Pak.” Ivy menjawabnya lagi, sudah pasrah. “Kalau begitu permisi.”Setelah mendapatkan anggukan singkat dari dosennya, Ivy berbalik dan segera keluar dari ruangan.Sisa hari berjalan menyebalkan. Tugas tidak hanya datang dari Damian saja, tapi dari dosen lainnya juga. Saat kelas terakhir selesai, rasa lelah menyerang Ivy.Parahnya, Ivy
“Kamu ini bodoh, ya? Hutangmu tidak akan lunas kalau kamu malas-malasan seperti ini! Cepat bekerja!”Seruan kasar itu membuat Ivy tersentak dari lamunannya.Mata Ivy segera beralih dari para pengunjung bar yang sedang berkumpul, kepada pria tinggi besar yang memandangnya bringas.“Baik, Paman.” Ivy menundukkan kepalanya patuh.“Jangan bermalasan seperti orang bodoh. Walaupun kamu memandangi mereka sampai matamu terlepas, posisi kalian tidak akan tertukar.”Samson berbicara sarkastik pada Ivy yang sejak tadi memandangi pengunjung bar. Mereka semua anak muda. Berkumpul di sebuah sofa dengan banyak alkohol di hadapan mereka.Denting-denting gelas terdengar dibarengi dengan suara tawa kegirangan. Jelas sangat bertolak belakang dengan kondisi Ivy yang menjadi budak tempat tersebut.Ivy— wanita berusia di awal 20-an yang berasal dari keluarga sederhana. Ibunya sudah meninggal lama, dan dia hanya hidup dengan ayahnya.Mungkin beruntung kalau ayahnya waras, tapi pria itu adalah kumpulan dari







