Aurora mencoba membuka matanya. Perutnya terasa sangat sakit. Bola mata Aurora tiba-tiba menangkap sosok Prof. John yang duduk termenung di sampingnya. Tanpa sadar, lelaki itu sedang mengengam tangannya. Secepat kilat Aurora menepis pegangan Prof. John.“Kau sudah sadar?” tanyanya lelaki itu segera. Aurora mencoba duduk namun pingangnya terasa ingin patah.“Apa yang terjadi?” Aurora mencoba melihat sekelilingnya.“Kau pingsan, Antoni mendorongmu masuk ke dalam mobil. Saya sudah memerintahkan beberapa pengawal untuk menahannya sejenak,” jelas prof. John. Dia berjalan mendekati tempat tidur Aurora. Tidak lupa, prof. John mencondongkan wajahnya. Menepis jarak antara dirinya dengan nyonya besar keluar Keller itu. Aurora spontan memundurkan tubuhnya.“Jangan mendekat seperti itu!” gerutunya kesal. Aurora masih berusaha agar dia bisa duduk dan menyenderkan tubuhnya.“Mau saya bantu?”“Tidak usah!” sahut Aurora segera. Prof. John menghela napas panjang. Dia duduk tepat di depan Aurora. Dia
Aurora menatap langit-langit kamarnya. William masih berada di sampingnya dan lelaki itu tetap fokus menatap ponselnya tanpa berbicara.Aurora merasa kata-kata Wiliam terlalu berlebihan. Dada Aurora terasa sakit bahkan air matanya terus mengalir di pipi. William berpura-pura tidak melihatnya.“Aku harus pulang dulu, nanti aku akan kembali ke sini. Tadi, aku sudah bertanya kepada dokter. Katanya, semua baik-baik saja!”Setelah mengatakan hal itu, William bergegas keluar dari dalam ruangan tanpa menatapnya sedikit pun. Aurora bisa mendengarkan suara pintu yang terbuka. Bola mata Aurora terasa memanas. Hatinya tercabik apalagi saat William mengatakan bahwa dirinya pelacur.Setegah itu kah dia mengatakan kepada perempuan yang akan melahirkan penerusnya? Apakah selama ini, William menganggapnya perempuan murahan? Memikirkan semua itu, membuat Aurora lagi-lagi sesak napas.Klek~Pintu terbuka, Aurora bergegas menyeka air matanya. Dia tidak ingin orang melihatnya menangis.“Kau sudah sehat?”
Aurora menatap William dan Maya yang saling berpegangan tangan. Aurora merasa sangat sakit. Bukannya membantunya untuk berjalan, William malah pergi begitu saja.“Aku akan rajin mengantarmu ke kanpus,” sahut William. Dia menghentikan langkahnya dan bergegas menoleh ke arah Aurora.“Kau tidak usah melakukan itu, aku selalu merepotkanmu.”“Aku melakukan ini bukan karena peduli, ayahku yang memerintahkannya,” seru William. Aurora menghela napas panjang. Dia berjalan dengan sangat pelan masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Maya menatapnya dengan sorot mata tidak bersahabat.Margaret yang melihat Aurora hanya bisa merasa iba.“Sayang!” Maya melilitkan tangannya ke leher Wiliam. Mengecup kening lelaki itu lalu memeluknya.“Kamu tidak cinta sama dia kan?”“Hanya peduli saja karena dia melahirkan anak untuk kita?” sahut Maya. William tidak membalas pelukan istrinya. William secepat kilat melepaskan tangan Maya lalu berjalan menuju ruang kerjanya tanpa berkata apapun.William menghela napas panj
“Kau tidak mengejar istrimu?” tanya Tuan Damian. Dia menatap William yang masih duduk tenang di meja makan. Maya bergegas keluar dari dalam kamar dan segera pergi dari rumah. Aurora hanya terdiam sambil menunduk ke bawah.“Biarkan saja, Ayah!” Tuan Damian mengerutkan kening. “Ada apa, William?”“Apa yang terjadi dengan kamu dan Maya? Biasanya, ayah selalu melihat kalian berdua bermesraan?” Tuan Damian menatap William lekat-lekat. Lelaki itu membuang napas kasar ke udara.“Biarkan saja, Ayah!” sahut William lagi. Suaraya semakin tinggi dan membuat Tuan Damian merasakan ada yang aneh.Aurora terus melanjutkan sarapannya sambil sesekali mencuri pandangan ke arah William. Sejak tadi malam saat Aurora mendengarkan suara tangisan, dia merasa ada yang tidak beres. Apa yang ditutupi William? Pikirnya.“Ayah, aku sudah selesai!”Aurora meletakkan garpunya dan tersenyum menatap Tuan Damian. William menatap Aurora, tidak ada senyuman di wajah lelaki itu. William bergegas beranjak dari tempat dud
“Dominic, bagaimana?”Maya mengigit bibir bawahnya ketakutan. Dia terus menghubungi Dominic. Maya tidak berani keluar dari dalam kamar. Paparasi itu akan mengambil gambarnya dan dirinya pasti akan di bunuh oleh Tuan Damian.“Sayang, tenang saja!”“Mereka tidak akan tahu kau di sini, aku akan menyuruh pengawal untuk membawahmu diam-diam. Jangan cemas!”Maya menghela napas panjang. Tengorokannya terasa kering karena panik. Sungguh, Maya benar-benar bingung harus berbuat apa.“Siapa yang melaporkan kita sayang?” tanya Maya. Suaranya bergetar menahan rasa paniknya. Dominic menghela napas panjang. Deru napasnya memburu dan jelas terdengar melalui sambungan telepon.“Aku belum tahu.”“Aku sedang mencari hal ini, kau tenang saja Esme. Aku akan usahakan kau tetap aman.”Mendengarkan hal itu, Maya merasa sedikit lega. Dia lalu mematikan sambungan telepon. Maya menunggu panggilan dari William, namun suaminya itu belum menghubunginya.“Apa William berada di bawah?”Maya benar-benar tidak bisa be
Aurora menatap Maya yang ditarik secara paksa masuk ke dalam kamar. Aurora tidak tahu, apa yang terjadi selanjutnya. Namun, perempuan itu tampak sedih. Wajahnya terlihat pucat dan William sudah menunggunya sejak lama. Samar-samar Aurora melihatnya dari balik celah pintu.Aurora menatap Margaret yang ikut penasaran. Perempuan paruh baya itu berdiri di depan tangga. Menunggu Maya keluar dari dalam kamar. Hal yang paling Aurora takuti yaitu, William berbuat kasar kepada istrinya.Aurora memilih menutup pintu dan kembali duduk di depan meja riasnya. Aurora masih penasaran. Apa yang menyebabkan William menangis malam itu? Apakah perselingkuhan Maya terbukti? Pikirnya.“Halo Joanna?’ sahut Aurora saat suara ponselnya mengagetkannya.“Bagaimana? Kau melihat gossip pagi ini? Maya ada di situ kan?” Joanna sepertinya sangat penasaran dan mengikuti gossip hingga malam hari. Aurora menghela napas panjang.“Ya, aku melihat William menariknya masuk ke dalam kamar, aku tidak tahu lagi apa yang terja
Aurora menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan degan pelan. Dia segera bergegas turun dari tempat tidur dan membuka jendela kamarnya. Aurora berjalan menuju meja riasnya. Dia menyentuh bibirnya lagi. Ciuman William begitu membekas di ingatannya.Tok … Tok …“Nona!” sahut suara itu. Aurora bergegas membuka pintu kamar dan menatap Margaret sedang berdiri di depan.“Ada apa?”“Tuan Damian berada di rumah.” Margaret menunduk, wajahnya terlihat ketakutan.“Tuan Damian datang pagi ini? Buat apa?” tanya Aurora tidak mengerti. Margaret menggelengkan kepala tidak tahu.“Kata Tuan Damian, Nona Aurora harus menghampirinya,” sambung Margaret. Kening Aurora berkerut. Dia tidak mengerti.“Aku?” Margaret menganggukan kepala. “Ya, Nona Aurora!” jawabnya kemudian. Aurora menghela napas panjang.“Baiklah,” serunya.Aurora bergegas berjalan keluar dari dalam kamar. Dia melangkahkan kakinya menuju ruang keluarga. Suara Tuan Damian terdengar jelas. Rintihan tangisan begitu menyayat hati Aurora. Apa y
“Ada apa?” sahut Joanna segera.“I-ibuku kritis!”Tanpa berpikir lama, Aurora bergegas beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan keluar dari dalam cafe. Air matanya mengalir di pipi. Aurora ketakutan setengah mati. Tidak, dia tidak ingin terjadi sesuatu kepada ibunya.“Aurora, tunggu!” Joanna mengikutinya dari belakang. Secepat kilat Aurora menyeka air matanya yang terus berjatuhan.“Aku ikut!”Joanna segera menghentikan taksi yang lewat di depan mereka. Selama di perjalanan, Aurora terus menangis. Dia panik, Aurora bingung harus berbuat apa saat ini.“Sudah, jangan menangis!”“Aku yakin, nyonya Rebeca baik-baik saja,” sahut Joanna. Dia terus menyentuh pungung Aurora untuk menenangkannya. Aurora menutup wajahnya dengan kedua tangan dan terus menangis. Tidak, dia tidak ingin kehilangan lagi.“Semua akan baik-baik saja,” sahut Joanna kemudian. Aurora terdiam membisu, hanya isak tangisan yang menjadi jawabannya.“A-aku harus bagaimana?” Joanna berusaha menenangkannya. Ponsel Aurora ter
“Untuk saat ini, Aurora harus di sini.”Prof John menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Mereka sedang berada di dalam kamar. Semenjak keluar dari rumah sakit. Aurora hanya terdiam membisu. Dia tidak banyak bicara.“Apa tidak berbahaya?” tanya Joanna sedikit ragu. Tatapannya nanar memandangi prof. John.“Tidak ada yang curiga hal ini. Pengawal keluarga Keller tidak akan curiga terhadap Roy.”“Akan sangat berbahaya jika dia berada di rumah atau di apartemen,” jawab prof. John. Dia membungkukan sedikit badannya menatap Aurora. Perempuan itu memandang ke depan. Tatapannya kosong dan tangannya bergetar.“Aku akan menghubungi salah satu psikolog kenalanku, dia akan membantu Aurora menyembuhkan traumanya,” jelas prof. John. Dia berdiri lalu melipat tangannya. Joanna mengusap rambut Aurora dengan iba.Roy hanya terdiam membisu di depan pintu. Entah apa yang sedang dipikirkan lelaki itu.“Aku akan memerintahkan pengawal berjaga di sekitar sini, tentu saja dengan diam-diam
Edward pulang dari apartemen Tuan Damian saat lelaki tua itu terlihat sangat mabuk. Edward berpamitan dan segera menuju rumah tuan William. Rumah keluarga Keller namun Tuan Damian tidak ingin berlama-lama tinggal di sana. Entahlah, tidak ada yang tahu alasan Tuan Damian tidak ingin tinggal di rumah lamanya. Rumah yang menyimpan banyak kenangan antara dirinya dan istri tercintanya, nona Adelia.Edward semakin menyesal karena menghianati keluarga Keller. Seharusnya dia berterus terang saja kepada lelaki tua itu. Namun, Edward merasa Roy bisa menyelamatkannya dan melindungi dirinya jika keluarga Keller akan membuangnya sewaktu-waktu.“Ah.” Edward menghela napas panjang.Sesampai di rumah keluarga Keller, Edward segera turun dan menatap William yang sudah berdiri di depan sana.“Dari mana saja kamu?”William menatap Edward yang baru saja turun dari mobil perak. Lelaki berjalan dan sedikit membungkukan badan.“Maaf Tuan William, Tuan Damian mengajakku minum dan menemaninya di apartemen. Ap
“Apa John sama sekali tidak memberikanku kesempatan?” Cicilia memandangi Roy dengan sangat lama. Lelaki di depannya itu menghela napas panjang.“Cicilia, John sudah jatuh cinta dengan Aurora. Akan sangat sulit membuat hatinya berpindah.”“Ini tidak mudah, menyerahlah!” sambungnya.Roy menatap Cicilia dengan serius. Mereka bertemu di salah satu cafe yang terletak tidak jauh dari kampus The Great.Hari ini, Roy ingin menjemput Joanna, namun dia malah bertemu Cicilia yang sedang mengunjungi Prof. John.“John akan ke Inggris bersama Aurora. Kamu sudah tidak memiliki kesempatan lagi.”Cicilia menunduk ke bawah.“Aku mencintainya. Roy!”“Aku sangat mencintainya!”Roy menyenderkan tubuhnya di sofa sambil mengusap wajahnya. Bola mata Cicilia perlahan menjadi berkabut. Dia menatap Roy yang terlihat iba memandanginya.“Aku tahu itu, Cicilia. Semua orang tahu kamu mencintainya.”Roy menghela napas panjang.“Sudahlah, masih banyak lelaki lain di luar sana, Cicilia. Kamu pasti bisa mendapatkan yan
“Sial!”“Benar sial, bagaimana perempuan itu bisa hidup dan membuat William selalu bersamanya?”“Seharusnya dia mati saja, jika seperti ini, dia akan semakin dekat dengan William. Apa lelaki itu lupa? Aku sedang mengandung anaknya juga!”“Ah, sial!” desahnya. Maya mengepal tangannya dengan kuat. Dia benar-benar tidak suka dengan kelakuan Aurora. Perempuan itu terlalu manja kepada William. Sudah pukul lima sore dan setua hari penuh, William mengurus Aurora tanpa memperdulikan dirinya. Membuat Maya benar-benar muak.Minggu depan, dia sudah berjanji kepada William untuk mengundurkan diri dari dunia model. Sialnya, lelaki itu malah mengacuhkannya dan tidak peduli. Maya mengira jika dia mundur dari dunia model, William akan semakin menyanyanginya dan posisinya akan aman. Namun, lelaki itu malah dekat dengan Aurora. Perempuan jalang yang sangat dibencinya.Maya mengusap wajahnya frustasi. Jika ada tempat dan waktu, dia akan bertemu dengan Aurora dan membunuh perempuan itu dengan tangannya s
Mereka duduk saling berhadapan. Margaret memandangi mereka dari kejauhan. Untung saja Nona Maya sedang beristirahat dan perempuan itu tidak mungkin mengetahui kehadiran lelaki asing di rumahnya. Kalo tidak, Nona Maya pastinya akan marah.“Jadi, kamu bernama Edward?” ucap Roy memandangi lelaki di depannya. Sebenarnya Edward sangat malas berbasa-basi seperti ini. Dia tidak punya waktu untuk itu.“Kamu mau membahas tentang Joanna?”“Ah, saya tidak punya waktu!” ucap Edward ketus. Roy menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak ingin membahas tentang Joanna. Dia ingin mencari bukti mengenai perselingkuhan majikannya sendiri.“Aku sebenarnya malas bertemu denganmu!”“Aku tidak punya waktu berurusan denganmu. Tapi ini tugasku, maka aku melakukannya!” jelas Roy panjang lebar.“Maksudmu apa?” sergap Edward segera. Matanya melotot menatap lelaki itu. Roy menghela napas panjang. Benar-benar menyebalkan berurusan dengan Edward. Jika bukan karena uang, dia tidak akan menginginkan hal ini.Roy mencondo
Aurora membuka matanya dan menatap William yang sedang berada di sampingnya. Lelaki itu tersenyum lalu mengelus pipinya dengan lembut.“Maafkan aku,” bisiknya.Aurora mengerutkan kening. Bukan, bukan lelaki itu yang diharapkannya sekarang. William melirik ke kiri dan ke kanan. Mencari sosok prof. John. Namun nihil, lelaki itu tidak berada di ruangannya saat ini.“Aurora?” William mendekatkan wajahnya. Ekspresi Aurora seperti orang kebingungan.“Ada apa?” tanyanya lagi.“Kamu mencari siapa, sayang?” William lebih mendekatkan wajahnya. Mengamati mimik wajah Aurora yang kebingungan.“Mundur, aku tidak menyukai wajahmu!” hardiknya. William spontan menjauhkan tubuhnya dari perempuan itu.“Prof. John, di mana dia?” Aurora menatap William lalu mengarahkan pandangannya ke seluruh ruangan. William beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menuju sofa. Dia menuangkan air mineral ke dalam tengorokannya. Mendengarkan nama prof. John membuatnya kehausan seketika.“Mengapa kau mencari lelaki itu?
William terus memandangi wajah Aurora secara dekat. William baru menyadari bahwa Aurora begitu mempesona.“Mengapa aku baru menyadari bahwa dia secantik ini?” sahut William dalam hati.“Atau selama ini, aku sama sekali tidak menyadarinya?”William tersenyum. Salah satu tangannya mengelus dengan lembut pipi Aurora. Mencoba untuk menyentuh perempuan itu dengan pelan.“Aurora Smith!”“Aurora Smith? Mengapa kau tidak bangun-bangun?” bisiknya pelan.Dring!Ponsel itu mengagetkan William. Dia segera membalikan badan dan berjalan menuju sofa.“Prof. John?” serunya.“Hai, ada apa?”“Mengapa meneleponku? Kau mendapatkan nomorku dari mana?”“Bagaimana Aurora?” ucap prof. John segera. Dia sangat malas berbasa-basi kepada lelaki itu. Bagi prof. John, menurunkan ego untuk saat ini adalah sesuatu yang penting.“Dia istriku, John. Mengapa bertanya seperti itu?”“Jangan terlalu cemas, aku ada di sini bersamanya. Jadi, jangan terlalu berlebihan!” jawab William dengan penuh penekanan. Prof. John terdia
Prof. John terus memeluk Aurora. “Please, bangunlah Aurora!” bisiknya. Prof. John menatap kedua pengawal yang bersamanya di dalam mobil.“Cepat lajukan mobilnya!”“Dia bisa saja mati!”“Hai, saya akan potong kepala kalian, jika lambat melajukan mobilnya!” teriak prof. John frustasi. Melihat Aurora terus mengeluarkan darah membuatnya panik. Prof. John tidak bisa berpikir apapun saat ini. Apa yang sedang terjadi dengan kandungannya?“Aurora sayang, bertahanlah!”Prof. John terus memeluk tubuh Aurora sambil menangis. Ini kali pertama Prof. John sangat ketakutan. Dia tidak akan memaafkan dirinya jika terjadi sesuatu kepada perempuan itu.Sesampai di rumah sakit Valley Hospital Las Vegas. Prof. John segera turun sambil mengendong Aurora menuju ruang UGD. Dia tidak membiarkan perempuan itu sendiri.“Maaf Tuan John, biar kami periksa lebih dahulu!”Prof. John mundur. Ruangan ditutup dan dia harus menunggu di luar. Prof. John mengusap wajahnya frustasi. Dia benar-benar kebingungan saat ini.D
“Jadi bagaimana Tuan, apa kita akan mengeksekusinya sekarang?”Dominic mengangkat salah satu alisnya. “Bunuh dia!” perintahnya.“Baik tuan!” sahut suara itu.“Tapi Antoni, tunggu dulu!”Dominic meletakkan tangan di dagu dan sedang memikirkan sesuatu saat ini. Antoni terheran. Dari sambungan telepon, suara majikannya itu tidak terdengar jelas.“Ada apa Tuan?”“Jangan sampai orang lain tahu rencana ini. Bunuh Aurora dan buang mayatnya begitu saja!” titahnya.“Kamu mengerti? Kamu bisa kan?” Antoni terdiam cukup lama melalui sambungan telepon. Dia sedang memikirkan tawaran itu.“Aku akan menambahkan komisi buatmu, jadi tenang saja! Jika semuanya sudah selesai, hubungi aku!”Tit!Telepon terputus. Dominic bergegas meletakkan ponselnya “William akan kehilangan kedua perempuan yang berada di sampingnya. Bukan kah seperti itu yang dia lakukan kepadaku?” batinnya. Sebuah senyum penuh misteri terukir di wajah tampannya. Dominic sangat puas. Melihat William jatuh adalah tujuan utamannya. Perset