Share

003. Dua Kemungkinan

Jevan membuka matanya remang-remang terusik oleh sinar matahari yang menyelinap di balik tirai-tirai tipis pada kaca kamar hotelnya. Ia masih belum sadar sepenuhnya menguap tak karuan dengan rasa kantuk yang masih dirasa. Hingga pada akhirnya, Jevan merasakan sesuatu melekat pada lengan sebelah kirinya. Lebih tepatnya ada kulit yang menempel dengan kulitnya di sana.

Jevan terkejut bukan main ketika mendapati wajah Feray yang tertidur nyenyak tepat di sebelahnya berbagi satu selimut untuk berdua di atas ranjang. Sungguh, Jevan ingin teriak karena terlalu panik. Namun, ia mesti memastikan sesuatu terlebih dahulu. Perlahan ia menyingkapkan selimut yang melekat pada tubuhnya juga tubuh Feray.

“Damn!” umpat Jevan.

Ternyata dirinya sedang telanjang dada dengan Feray yang hanya menggunakan inner berwarna putih tanpa lengan. Frustrasi, Jevan sungguh frustrasi. Bagaimana bisa Feray ada di dalam kamarnya?

Jevan berpikir keras tanpa melepaskan Feray dari lengannya. Kini, ia ingat sekilas beberapa kejadian saat ia menarik Feray masuk secara paksa ke dalam kamarnya. 

Feray terbangun tepat saat Jevan menatapnya. Ia sama terkejutnya dengan posisi mereka saat ini. Lagi-lagi Feray merasa takut kepada Jevan. Keduanya bertatapan tanpa berbicara dengan hanya berkomunikasi melalui isyarat mata.

Feray menarik dirinya menjauh dari tubuh Jevan dengan menarik selimut agar menutupi dirinya. Feray takut, namun ia merasa lega mendapati dirinya yang ternyata masih menggunakan pakaian dengan lengkap. Hanya saja kemeja miliknya yang hilang.

“G ... gue udah ngapain lo?” tanya Jevan.

“Gak ngapa-ngapain. Santai aja, aku mau pamit pulang,” jawab Feray berusaha biasa saja dan tenang.

Jevan heran, bisa-bisanya gadis ini selalu memiliki ekspresi yang sama. Memilih untuk terlihat tenang di saat Jevan tahu betul bahwa Feray takut kepadanya. Dapat Jevan akui bahwa Feray pandai menyembunyikan ekspresi. Ia terlalu terlihat tenang demi menutupi rasa takutnya, selalu seperti itu.

Feray berdiri dari ranjang. Sekilas ia memerlihatkan lengan tanpa bahunya sebelum akhirnya berhasil mengenakan kemejanya kembali yang ternyata tergeletak di lantai. Kondisi kamar sungguh kacau dengan botol-botol yang tergeletak di lantai tak karuan. Jevan tak tahu harus mengatakan apa karena ia masih berusaha mengingat sudah sejauh mana ia bertindak semalam.

“Gak bisa gitu. Ada apa?” tanya Jevan tak dijawab oleh Feray.

“Lo tuli ya?” marah Jevan kali ini.

Sial, bagaimana jika apa yang tak diharapkannya justru terjadi malam tadi? Jevan enggan terlebih tak rela jika gadis itu adalah Feray.

“Aw!” Jevan kesakitan kala dirinya berusaha memanggil Feray yang baru saja hendak ke luar dari kamarnya karena tanpa sengaja tangannya menyentuh sisian ranjang. Ia lupa bahwa tangannya sedang luka. Rasa perih pada tangannya menciptakan sekilas bayangan saat Feray meniup tangannya. Ya, sebatas itu.

"I want to go home, can you open this for me?” pinta Feray. Jevan menghampiri Feray tanpa berniat mengenakan kaosnya terlebih dahulu.               

“Kamu bisa gak sih pakai kaos dulu?” kesal Feray.

“Males. Sekarang lo bisa jelasin apa aja yang udah gue lakuin?” Jevan memaksa Feray untuk bercerita.

“Gak ada apa-apa, kamu tenang aja. Gak ada apa-apa,” jawab Feray masih kukuh dengan jawabannya.

“Kalau gak ada apa-apa terus kenapa kondisi kita kaya gitu pas bangun tidur?” kesal Jevan yang benar-benar membutuhkan penjelasan karena ia tak ingat banyak.

“Gak ada apa-apa, oke? Udah ya? Aku mau pulang,” tegas Feray.

“Gak bisa, jelasin dulu!” tukas Jevan masih dengan paksaannya.

“Gak ada apa-apa,” tutur Feray masih dengan jawaban yang sama.

“Ada jawaban lain selain gak ada apa-apa?”

There’s noting between us.” Jevan mengacak rambutnya frustrasi, ia kemudian membiarkan Feray untuk keluar dari kamarnya.

Malapetaka bertambah tepat saat Feray membuka pintu kamar Jevan, sosok wanita cantik dengan sedikit keriput di wajahnya menatap penuh tanya ke arahnya.

“Jevan!” tegur wanita ini setelah mengalihkan pandangan dari Feray. Ia membelalakan matanya penuh kejut kala disuguhkan oleh situasi yang membuatnya salah paham. Siapa juga yang tak salah sangka melihat seorang gadis keluar dari kamar Jevan dengan penampilannya yang telanjang dada?

“Mama, Papa,” sahut Jevan melemah mendapati papa yang juga ada di sebelahnya. Sudah tamat riwayatnya. Bagaimana dengan Feray? Malu, Feray sangat malu. Mungkin ia harus bersembunyi setelahnya.

Jevan benci akan fakta yang masih membuatnya bertanya-tanya tentang kejadian tadi malam. Ia ragu akan fakta yang sebenarnya. Jika mengingat kondisi keduanya yang bangun dengan keadaan kacau dengan saling memberi kehangatan lewat pelukan di balik satu selimut, Jevan tak yakin jika sama sekali tidak ada apa-apa.

Ada dua kemungkinan. Pertama, yang dikatakan oleh Feray benar adanya, Jevan tak melakukan tindakan yang melampaui batas. Kedua, Feray berbohong dengan kenyataan bahwa Jevan sudah melampaui batas tadi malam.

Lantas jika iya bagaimana? Iya, bagaimana dengan Carrabella? Bahkan Jevan masih memikirkan Carrabella. Bukan memikirkan nasib dirinya atau mungkin nasib Feray.

“Ck!” Jevan mendecak kesal ketika mengingat mama dan papa memergokinya bersama Feray tadi pagi. Konyol jika mereka mengambil kesimpulan sendiri hingga secara sepihak meminta Jevan untuk menikahi Feray. Konyol, sungguh konyol.

Jevan sendiri tak yakin ia sudah berbuat macam-macam kepada Feray. Alkohol tidak cukup mampu untuk membuat Jevan lupa bahwa dirinya tak menyukai Feray, kan? Jadi, tak mungkin jika ia bisa sampai pada hal yang tidak-tidak walau sedang mabuk. Carrabella masih menempati posisi pertama di hatinya jadi tak mungkin Jevan dengan mudah menarik gadis lain untuk masuk dalam dirinya.

“Halo Pak, izin mengingatkan bahwa pukul satu siang Bapak memiliki jadwal meeting bersama dengan perusahaan yang akan kerja sama di bulan ini,” tutur seseorang dibalik telepon membuat Jevan semakin pusing. Ia segera menutup sambungan tersebut setelah menyetujuinya.

Rasanya, Jevan masih malas jika harus berurusan dengan segala hal yang mengharuskan ia mengelola hotel ini. Lebih tepatnya hotel milik papa yang kemudian dipercayai untuk dikelola oleh Jevan walau mesti memupuskan impiannya untuk terjun dalam dunia desain visual. Papa selalu memaksakan kehendak entah apa sebabnya.

Jevan kini sudah siap dengan tuksedo yang melekat pada tubuhnya serta dasi yang baru saja ia pasang kuat-kuat. Ia berjalan menyusuri koridor dengan gagah sebelum akhirnya langkahnya terhenti ketika dicegat oleh Raka dan Kevin.

“Lo kemana aja? Gue kira udah mati karena bunuh diri,” tanya Raka menyindir.              

“Kalau ngomong dijaga, minggir! Gue mau meeting,” pinta Jevan. Ia melanjutkan langkahnya membuat kedua sahabatnya memaki-maki dirinya dari belakang. Bukan makian dalam bentuk tak suka, namun makian wajar sebagai orang yang selalu menginginkan yang terbaik untuk sahabatnya.

“Ya syukur dia gak kenapa-kenapa, Ka,” timpal Kevin kepada Raka yang masih sibuk mengumpat.

Sementara itu, semejak bertemu dengan Jevan kemarin Feray hanya ingin berdiam diri di dalam kamar tanpa ada gangguan. Jika berpikir bahwa Feray begini karena Jevan maka jawabannya adalah salah. Feray memang sudah dalam kondisi yang buruk sebelumnya. Ia sadar bahwa kondisinya semakin memburuk dengan suhu tinggi pada tubuhnya beserta rasa pusing dan mual yang tak kunjung hilang. Ia sungguh lemah bahkan hanya untuk sekadar berdiri.

Feray memejamkan matanya kembali karena tak mampu menahan pusing di kepalanya. Mungkin karena ia terlalu lelah bekerja dan memforsir dirinya dalam mengerjakan tugas kampus yang sudah ia tumpuk karena mulai sibuk bekerja saat weekend. Tolong, Feray hanya ingin istirahat sebentar saja. Ia berharap tak mendengar teriakan dari wanita itu untuk saat ini.

BRAK!

“Bangun, pengangguran! Jaga anak saya, bukannya sibuk tidur terus!” teriak seseorang.

Harapan Feray ternyata belum dikabulkan untuk hari ini. Teriakan wanita itu, selalu saja dia. Feray hampir gila mendengar teriakan yang selalu mengisi hari-harinya.

Feray hanya mampu menjerit dalam hati. Ia selalu menahan diri untuk tak emosi karena takut akan konsekuensi. Jika sedang seperti ini rasanya ia hanya ingin mati, menyerah untuk hidup.

Wanita yang sungguh tak ingin Feray dengar teriakannya. Siapakah dia sampai-sampai Feray hampir gila dibuatnya? Kondisi Feray sedang tidak baik-baik saja, mengapa ia terlihat tidak toleran terhadap Feray? Akankah Feray baik-baik saja atau semakin buruk kondisinya? Keinginan Feray untuk mati apakah akan tergugah kembali karena ini?

For now, I don't want to be with you.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status