Share

Cintai Rembulan
Cintai Rembulan
Penulis: freya

001. Malam Kelam

Tumpuan pada kaki Jevan sudah melemah seolah ingin ambruk saat itu juga. Tidak, tidak boleh seperti itu, seorang Jevan Biantara memiliki image yang tangguh dominan disegani. Personal branding-nya bukanlah lelucon belaka hingga rasanya ia akan lemah jika seisi hotel ini melihat keadaannya sekarang. Untuk pertama kalinya, Jevan mengabaikan kehadiran cahaya rembulan yang bahkan tidak mampu menghibur Jevan untuk malam ini.

"Will you marry me, Carrabella?" suara Jaffa terdengar nyaring menusuk gendang pada telinga Jevan yang padahal ia berada sekitar tujuh meter jauh dari lelaki itu. Carrabella, iya, Carrabella. Jevan merasa tak rela nama itu disebut oleh Jaffa untuk melengkapi kalimatnya.

Jevan mendesah frustrasi ketika nama Carrabella disebut-sebut oleh Jaffa di tengah kerumunan termasuk keluarga dan teman-temannya. Seolah Jaffa ingin menegaskan bahwa Carrabella adalah miliknya atau mungkin memang akan menjadi miliknya? Tidak, tidak boleh putus asa. Masih ada kemungkinan bahwa itu tidak akan terjadi sebelum Carrabella menjawab Jaffa.

Masih ada harapan. Setelah Carrabella menolaknya maka Jevan yang akan maju meminta Carrabella untuk menjadikan ia sebagai gadis milik Jevan seutuhnya. Tatapan Jevan difokuskan pada bibir Carrabella. Dengan khawatir ia menunggu gadis tersebut angkat bicara untuk memberikan jawaban hingga akhirnya gadis itu mengulas senyumnya dengan sangat lebar.

"Yes, I will, Jaffa,” jawabnya. Siapa yang tahu bahwa gadis yang dicintai selama sepuluh tahun oleh Jevan kini mampu mengeluarkan kalimat yang membuatnya kecewa? Lantas apa selama ini ia hanya cameo di hidup Carrabella? Sudah pupus segala harapan yang ia kukuhkan.

Netra Jevan terpaksa menghadap pada Jaffa dan Carrabella yang masih berdiri berhadapan. Enggan pada awalnya, namun ia penasaran juga akan adegan selanjutnya yang sebetulnya bisa Jevan tebak. Bodohnya, ia tetap fokus menatap. Berharap Carrabella meliriknya untuk membatalkan persetujuannya atas lamaran Jaffa.

Berharap, berharap, berharap saja terus. Padahal apa sih esensi dari berharap pada sesuatu yang sudah jelas tak bisa diharapkan? Benar saja, detik ini yang Jevan saksikan adalah pelukan erat diantara keduanya. Setelahnya? Jaffa mencium bibir Carrabella tanpa sungkan di hadapan banyak orang.

“Sial!” Jevan mengacak kasar rambutnya meninggalkan tempat itu.

Menjadi anak pertama tidak menjamin bahwa ia akan menjadi prioritas. Entah untuk ke berapa kalinya suara Jevan tak didengar oleh papa mesti Jevan syukuri masih ada mama yang rela menjadi media untuknya menyampaikan keinginan serta maksud dan tujuan kepada papa. Jika hanya Jevan yang menginginkan sesuatu tersebut, maka papa akan menyanggupinya. Namun, jika sesuatu tersebut diinginkan oleh Jevan dan Jaffa, maka papa akan memrioritaskan Jaffa.

“Papa tidak bisa datang. Perkara olimpiade kan masih bisa dibicarakan esok hari. Sudah dulu ya?” ujar papa sembilan tahun yang lalu via gawai. Jevan masih ingat betul saat itu papa lebih memilih untuk mengantar Jaffa membeli buku antropologi kesukaannya.

Jevan masih tak paham akan segala tindakan papa yang selalu memrioritaskan Jaffa secara terang-terangan kepadanya. Jaffa, adik dari Jevan dengan selisih usia empat belas bulan itu selalu satu langkah lebih beruntung darinya.

Sama seperti hari ini. Jika saja Jaffa tak meminta kepada papa untuk melamar Carrabella, mungkin gadis itu sudah akan menjadi miliknya. Jaffa tahu bahwa Carrabella adalah gadis yang Jevan cintai sepuluh tahun lamanya. Katakanlah bahwa Jaffa adalah orang yang akan Jevan ceritai seputar Carrabella secara lebih intens melebihi intensnya saat ia menceritakan kepada Raka dan Kevin, sahabatnya.

Kini, siapa duga? Jaffa justru menjadi orang pertama yang memupuskan harapannya. Apa Jevan membenci Jaffa? Tidak pernah, namun sangat kecewa.

Raka dan Kevin dengan susah payah mencari keberadaan Jevan semenjak terakhir kali mereka melihat Jevan berjalan frustrasi menyusuri koridor sepi pada hotel ini. Sebelum Jevan benar-benar menghilang dari pandangan mereka, Jevan meninju kuat dinding keras tepat di sudut koridor. Dapat mereka tebak mungkin saat ini Jevan sudah lebih sangat melukai tangannya melampiaskan amarah yang selalu hanya bisa ia pendam sendirian. Itu yang membuat Raka dan Kevin khawatir.

Jevan yang selalu emosi sendirian dan menyakiti diri sendiri pada akhirnya sebagai bentuk pelampiasan. Keduanya berpencar, khawatir jika Jevan lebih melakukan hal yang tidak-tidak karena mereka tahu betapa hancurnya Jevan mesti kehilangan harapan terhadap Carrabella. Apalagi, itu karena Jaffa lagi.

“Carinya gak becus ya?” bentak Raka kepada Kevin.

“Lo pikir lo becus? Gak nemu juga, kan?” kesal Kevin kepada Raka.

“Ah! Ya maaf, gue kesel. Jevan kebiasaan kalau ada masalah kabur-kaburan.”

"Kita mencar, ambil jalur kanan dan kiri," usul Kevin disetujui oleh Raka.

Jevan meringis kesakitan dengan tangan penuh darah. Namun, tetap ia tak begitu peduli. Kakinya terus berjalan menuju kamar yang menjadi ruangan pribadi miliknya di hotel ini. Jevan berjalan gusar berusaha menekan tombol-tombol yang menyuguhkan beberapa angka hingga tepat menekan kombinasi angka yang menjadi password agar kamar ini mampu terbuka.

Kamar yang didominasi dengan warna putih ini sekilas mampu menenangkan dirinya. Saat pintu sudah berhasil terbuka, pandangannya ia segarkan dengan menikmati view city light yang terpampang nyata dari lantai delapan belas ini di balik jendela.

Melihat beberapa lampu kendaraan melintas cepat bergantian di bawah langit hitam. Jevan tak pernah berpikir bahwa dirinya akan menjadi lelaki yang menyedihkan hanya karena persoalan cinta seperti ini. Really does not look like him.

Jevan menghampiri lemari kecil di sudut kanan untuk mengambil sebuah botol yang berisi wine. Tangannya dengan terburu-buru ia paksa untuk membuka botol tersebut.

Jika berpikir bahwa botol-botol ini Jevan sediakan karena ia sering meminumnya, maka jawabannya adalah salah. Jevan bahkan memiliki toleransi yang rendah terhadap alkohol. Namun, ia rasa ini akan menjadi salah satu pilihan yang baik untuk menghilangkan penat sesaat.

Awalnya Jevan mampu tenang. Sialnya, bayang-bayang Carrabella dan Jaffa seolah berputar di kepalanya. Jevan kecewa pula kepada Carrabella ulah dari ekspektasi dan sikap pengecutnya sendiri yang tak pernah berani mengungkapkan perasaanya hanya karena alasan takut merusak pertemanan. Kekhawatiran akan gadis itu semakin dirasa oleh Jevan.

Banyak kemungkinan yang sedang Jevan bayangkan jika Carrabella sudah menjadi milik Jaffa seutuhnya nanti. Mungkin gadis itu bisa berubah. Tak lagi menjadikan Jevan sebagai tempat berkeluh kesah dan menceritakan segalanya. Jevan takut jika suatu saat ia akan sangat merindukan Carrabella.

Apakah Jaffa akan memperbolehkan dirinya untuk memeluk gadis itu seperti biasanya?

Jaffa, kenapa mesti jadi penghalang?” ujar Jevan sendiri.

Jevan tak mampu mengendalikan dirinya untuk meminum isi-isi dari botol itu. Bahkan saat ini ia mampu meneguk cepat dari tiga isi botol-botol itu sehingga membuat tatapannya semakin kabur. Jevan tahu dirinya sedang tidak baik-baik saja dan kini semakin lemah dengan tingkat kesadaran yang semakin menurun kala ia menambahkan lagi pasokan wine pada tubuhnya secara paksa.

TING TONG!

Suara bel dari kamar ini tiba-tiba nyaring terdengar. Jevan tak tahu siapa yang lancang menghampiri kamarnya di lantai delapan belas yang notabenenya selalu sepi. Sungguh mengganggu.

Lantai delapan belas ini memang bukanlah lantai yang umum dikunjungi. Hanya ada ruang untuk kepentingan rapat secara privasi dan beberapa kamar. Salah satunya adalah kamar milik Jevan yang tersembunyi menghadap bagian belakang rooftop.

Bel tersebut kini berbunyi untuk kelima kalinya membuat Jevan jengkel kemudian segera menghampiri pintu dengan langkah lunglai. Jevan berhasil membuka pintu tersebut. Tatapannya yang kabur tidak membuat dirinya salah dalam menebak seseorang di hadapannya. Ya, gadis di hadapannya ini adalah seseorang yang Jevan kenal betul. Bagaimana bisa ia berada di depan kamarnya dan menekan bel?               

“Lancang sekali,” batin Jevan.

Lantas siapakah gadis itu? Mengapa ia bisa-bisanya menghampiri kamar Jevan yang tidak diketahui oleh banyak orang di hotel ini? Bahkan gadis tersebut berani menekan bel pada kamar milik Jevan.

Jika Jevan benar-benar mengenal betul gadis tersebut, mengapa Jevan merasa gadis tersebut lancang seolah tak suka?

Tak boleh menunda cinta lebih lama jika tak siap menerima konsekuensinya.

Tak boleh terlalu percaya pada satu manusia jika tak ingin dikecewakan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status