Share

002. Feray, Cahaya Rembulan

“Feray?” Jevan bertanya lemah dengan suara seraknya serta pandangan yang kabur.

Jika Carrabella adalah gadis yang betul-betul ia cintai, maka Feray adalah kebalikan dari itu. Menurutnya, ia adalah orang yang selalu mencari masalah kepadanya semenjak berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Feray yang merupakan adik kelas satu angkatan di bawahnya sekaligus menjabat sebagai pengurus OSIS ini selalu melaporkannya kepada pihak kemahasiswaan setiap dirinya tertangkap basah merokok di atap gedung sekolah.

Beberapa kali gadis ini selalu menggagalkan rencananya untuk merokok dengan berbagai cara. Bahkan pernah pula ia berani membuang rokok milik Jevan. Jevan pikir, gadis ini terlalu ikut campur dalam kehidupannya dan Jevan tak suka akan itu.               

“Kakak ngapain ada di sini?” tanya Feray terkejut.

“Harusnya gue yang nanya, ngapain lo di sini? Bikin suasana makin gelap gak karuan,” ketus Jevan.

“Hotel adalah salah satu bangunan yang bersifat umum sehingga setiap individu bisa mengunjunginya tanpa terkecuali,” jelas Feray dengan tatapan malas.

Feray tak pernah menduga akan bertemu Jevan di hotel ini. Ia tak habis pikir bagaimana bisa detik ini ia sedang berdiri berhadapan dengan pria yang menjengkelkan sekelas Jevan. Feray menatap lelaki di hadapannya dengan perasaan takut yang ia sembunyikan. Sungguh tak ingin mencari masalah dengan lelaki yang Feray tebak ia sangat membenci dirinya.

“Abis dipesen sama orang ya?” tanya Jevan merendahkan.”

“Jaga ya bicaranya!” Feray tak terima.

Entah takdir apa yang membuat mereka sering sekali berpapasan. Jika berpapasan, maka keduanya akan selalu berdebat dengan Jevan yang banyak menggerutu sedangkan Feray lebih memilih berdebat sesuai kapasitas, pertanda wanita elegan. Membatasi perkataan jika berurusan dengan Jevan lah yang bisa Feray lakukan. Alasannya karena lelaki ini akan melampaui untuk berbicara dalam batas wajar jika Feray melawan, membuatnya geram.   

“BAku mesti cepat pergi dari sini,” batin Feray.             

Baru saja Feray membalikan tubuhnya, Jevan sudah lebih dulu menarik kasar lengan Feray hingga tubuhnya menabrak keras tubuh Jevan. Bahkan, wajahnya mendarat tepat pada dada bidang lelaki ini. Feray berusaha memundurkan tubuhnya sekuat tenaga namun gagal. Lelaki gila ini nampak memeluknya erat hingga membuat Feray tak mendapat pasokan oksigen.

“Gak sopan. Lepasin gak?” Feray memberontak.

“Enggak!” kukuh Jevan.

“Lepasin!”

“Diem!” ucap Jevan kasar membuat Feray benar-benar bungkam.

Masih dengan posisi yang sama. Feray berada dalam dekapan Jevan. Ada sesuatu yang aneh Feray rasakan detik ini. Jevan tak berbicara apa-apa.

Feray mengadahkan kepalanya tepat mengarah pada wajah Jevan. Nampak setetes air mata mengalir pada pipi kanannya membuat Feray iba karena melihat sisi yang berbeda dari Jevan. Lelaki ini nampak terlihat sangat rapuh tanpa Feray tahu apa penyebabnya. Entah mengapa Feray hanyut terhadapnya hingga merasa semakin iba.              

What are you doing here, Babe?” tanya Jevan susah payah dengan masih mengungkung erat tubuh Feray. Gila, Jevan sungguh gila.

Bagaimana bisa ia menyapa Feray dengan panggilan sayang seperti itu? Ya, Jevan sudah gila. Tercium aroma alkohol yang sangat menyengat dari mulut lelaki ini. Feray tahu betul bahwa lelaki ini sedang mabuk apalagi saat mendengar cara bicaranya yang kurang jelas.

“Mau ngejek, ya? Because I just cried,” lanjutnya dengan sangat lemah tersenyum tak karuan. Senyumannya bahkan terlihat mengerikan. Feray takut akan itu.

Please, aku mau pergi!” berontak Feray namun percuma.

“Jangan berisik!” suara Jevan bahkan hampir tak terdengar.

Tidak ada cara lain bagi Feray selain menggunakan cara kasar. Untuk kali ini Feray mengerahkan segala tenaganya untuk memberontak terhadap Jevan. Ia gerakan tubuhnya dengan kasar harap-harap mampu meloloskan diri.

“Aw!” Feray menggigit bahu Jevan keras membuat lelaki ini meringis kesakitan hingga betul-betul melepaskan dirinya.              

Tangan kanan Jevan memegang bahunya yang baru saja digigit oleh Feray. Namun, justru Feray salah fokus ketika melihat dengan jelas tangan Jevan berlumuran darah dengan topping lebam di areanya. Bukannya berlari memanfaatkan situasi yang ada, Feray malah meraih tangan Jevan hendak memastikan dan menatap ngeri terhadapnya.

“Kak, tangannya kenapa?” tanya Feray.

“Bukan urusan lo!” jawab Jevan lemah sambil menepis tangan Feray.

Feray menarik kembali tangan Jevan hingga refleks meniupnya seperti ingin membuat perihnya berkurang. Jevan menatap gadis di hadapannya tak fokus hingga hanya mampu menutup matanya merasakan tiupan lembut yang diciptakan oleh gadis ini tepat pada tangannya.

“Masih perih?” tanya Feray seolah tak sadar denga apa yang sedang ia perbuat. Sementara itu, tak ada jawaban dari Jevan.    

Satu menit kemudian, Jevan membuka kembali matanya seolah baru saja mengumpulkan energi. Ia menatap Feray tajam hingga membuat gadis ini membelalakan mata karena tak mampu menangkap maksud dari tatapan tajam itu. Yang ia ketahui dan sadari saat ini ialah kebodohannya karena memedulikan luka pada tangan Jevan sebelumnya. Feray merasa ada sinyal buruk yang akan menghampiri dirinya ulah Jevan. 

“Tiga … dua … sa …,” batin Feray terjeda oleh serangan mendadak Jevan.

GREP              

“Lo udah lancang datang ke sini. Jadi gue berinisiatif untuk mengundang lo ke dalam kamar,” jelas Jevan masih dengan suara serak pelannya.

Kalah cepat, Jevan lebih dulu menarik Feray memasuki kamar pribadi miliknya di lantai delapan belas ini. Feray panik bukan main. Terlebih, saat melihat Jevan menutup pintu dengan sangat rapat lalu menguncinya. Feray berlari berusaha membuka pintu itu namun tak berhasil terbuka.

“Aduh, ayo kebuka dong!” ujarnya harap-harap cemas tak ingin menengok ke belakang.

Tiba-tiba saja terdengar langkah lunglai di belakangnya. Feray membalikan tubuhnya menatap Jevan ketakutan. Jevan yang menyeramkan terlihat lebih menyeramkan dengan penampilan kusut dan langkah lunglai persis seperti zombie.              

“Buka pintunya, Kak Jevan!” teriak Feray namun tak didengar. Jevan malah memojokkan Feray pada dinding dengan menghimpitnya penuh sesak berusaha mendekatkan wajahnya pada wajah milik Feray. Kepanikan Feray semakin bertambah ketika Jevan mulai menyentuh bahunya hingga satu kecupan mendarat pada pipinya.

“Kurang ajar!” Feray mendorong keras bahu Jevan namun lelaki ini kembali mendekat serta mengecup pipinya lagi berulang kali.              

“Kak Jevan stop! Please, sadar ini Feray,” ujarnya dengan susah payah.

“Harum,” tingkat kesadaran Jevan nampaknya semakin berkurang.              

“Kak, aku mohon. Aku Feray, cewek yang kamu benci. Jangan gini. Aku gak mau bikin kamu nyesel setelah sadar nanti,” ujarnya lagi-lagi berusaha menyadarkan Jevan.              

“Kak, sadar! Aku Feray, Kak. Aku Feray. Lepasin aku!” ujar Feray berulang kali hingga suaranya semakin melemah. Berbicara kepada orang yang sedang mabuk sama dengan berbicara kepada sebuah batu. Tidak akan pernah mempan.              

Jevan menatap Feray lemah dengan senyuman yang sulit diartikan hingga sepersekian detik bibir Jevan menyentuh bibir milik Feray sangat kurang ajar. Feray tak terima akan itu. Ia merasa sedang direndahkan.

Lama-lama kecupan itu semakin menuntut hingga tak bisa lagi dikatakan hanya sebatas kecupan. Jevan menarik pinggang Feray untuk lebih dekat dengannya dengan Feray yang memukul-mukul keras dada Jevan meminta untuk dilepaskan.

“Stroberi?” tanya Jevan menjeda perlakuannya terhadap Feray untuk menebak varian lip tint yang digunakan pada bibir Feray.

PLAK!

Feray menangis. Satu tamparan Feray daratkan pada pipi Jevan. Lelaki itu marah tak terima mengusap pipinya.

“Jangan main-main, Feray!” Jevan menggendong paksa Feray membawanya pada bagian yang sungguh ditakutkan dan sempat terbayang sebelumnya. Mungkin, malam ini Feray akan menjadi gadis yang tak lagi mampu menjaga kehormatan dalam dirinya yang berharga.              

“Kurang ajar! Yaa Tuhan, cabut nyawaku sekarang. Aku rela,” batin Feray.

Feray yang memiliki arti cahaya rembulan bahkan malam ini tak sanggup lagi untuk sukarela berbagi cahayanya. Begitu pula dengan Jevan yang selalu mengagumi rembulan. Dirinya kecewa karena cahaya rembulan di langit sana tak mampu untuk sekadar menghiburnya hingga membuatnya memilih cahaya rembulan lain yang menghuni bumi. Ialah Feray.              

Ada apa dengan Feray? Ada apa juga dengan Jevan bersama dengan pikirannya? Apakah tindakan Jevan tepat? Apa yang baru saja akan Jevan lakukan terhadap Feray malam ini hingga membuat gadis tersebut pasrah?

Lalu mengapa Feray seolah enggan untuk bersinar sesuai arti namanya hanya dengan tindakan Jevan saat ini? Apakah keduanya akan baik-baik saja malam ini?  

Ketika cahaya rembulan tak mampu lagi bercahaya. Sementara itu, pencinta cahaya rembulan memilih cahaya rembulan yang tak mampu lagi bercahaya untuk malam itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status