Beranda / Fantasi / Cintaku 100 Hari / Bab 2 (PERKENALAN)

Share

Bab 2 (PERKENALAN)

last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-26 21:05:40

Senin pagi akhirnya tiba.

Hari pertama Zalleon masuk sekolah sebagai Leo Alfais. Identitas barunya sebagai manusia biasa harus ia jaga sebaik mungkin demi misinya di dunia ini.

Udara pagi terasa segar dengan langit cerah dan matahari yang bersinar hangat di atas bangunan sekolah Starlight Academy. Sekolah elit itu berdiri megah dengan arsitektur modern dan taman hijau yang tertata rapi. Para siswa berlalu-lalang di halaman depan, sebagian besar sudah mengenakan seragam biru muda khas sekolah tersebut, lengkap dengan lambang bintang emas di dada kiri mereka.

Zalleon berjalan perlahan melewati gerbang sekolah. Tatapannya tajam menelusuri setiap sudut bangunan. Bukan karena kagum, tapi lebih karena kewaspadaan. Dia tahu, tempat ini akan menjadi titik awal dari hari-hari yang mengubah segalanya.

Aku harus terlihat biasa saja, batinnya.

Langkahnya mantap menyusuri jalan menuju lobby sekolah, melewati deretan siswa yang sedang mengobrol, tertawa, atau terburu-buru masuk kelas.

Namun, belum sampai ia melewati tangga menuju lobby-

Bruk!

Seseorang menabraknya cukup keras hingga membuat bahunya terdorong ke belakang sedikit. Zalleon tersentak, nyaris kehilangan keseimbangan.

"Ah, maaf!" seru seorang wanita dengan nada tergesa.

Rambutnya panjang tergerai, dan dia terlihat membawa beberapa buku di pelukannya. Ia langsung berlari tanpa sempat menoleh atau memastikan keadaan Zalleon.

Zalleon hanya menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh. Ia menghela napas pelan, tidak terlalu mempermasalahkan insiden kecil itu.

"Manusia memang ceroboh..." gumamnya, hampir tak terdengar.

Namun, beberapa detik setelahnya, tubuhnya mendadak terasa aneh.

"Ugh..." desisnya pelan.

Ia menghentikan langkah, lalu menekan dadanya dengan satu tangan. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba muncul seperti denyutan halus namun menusuk, tepat di dada kirinya. Rasanya asing. Bukan seperti rasa sakit akibat tertabrak tadi, melainkan seolah berasal dari dalam tubuhnya sendiri.

Kenapa dadaku tiba-tiba sakit? pikirnya, mencoba memahami sumber rasa itu. Tapi tak ada jawaban.

Ia menarik napas perlahan, menenangkan diri. Meski rasa sakit itu mengganggu, Zalleon tahu ia tak boleh berhenti sekarang. Ini hari pertamanya, dan ia tak boleh menunjukkan kelemahan sedikit pun.

Dengan sisa ketenangan yang ia miliki, ia kembali melangkah. Kali ini, langkahnya sedikit lebih hati-hati, seolah tubuhnya memberi peringatan.

Setibanya di depan ruang guru, ia berhenti sejenak. Menatap papan nama di atas pintu, lalu mengangkat tangannya dan mengetuk perlahan.

Tok, tok, tok.

Tak lama kemudian, terdengar suara dari dalam, "Silakan masuk."

Zalleon membuka pintu ruang guru dengan perlahan, berusaha menyembunyikan rasa nyeri di dadanya di balik ekspresi tenang yang ia pertahankan. Meski tubuhnya terasa sedikit tidak nyaman, ia tetap melangkah mantap ke dalam ruangan, menunjukkan sikap sopan dan penuh hormat.

"Permisi, Bu," ucapnya dengan suara tenang namun jelas.

Seorang guru wanita yang duduk di meja paling depan menoleh. Wajahnya tampak ramah dan bersahabat, dengan senyum hangat yang langsung menyambut kedatangannya.

"Iya, Nak. Ada yang bisa Ibu bantu?" tanyanya sambil berdiri dari kursi.

Zalleon melangkah mendekat dan membungkuk sedikit. "Saya murid baru, Bu. Nama saya Leo Alfais."

Wajah sang guru langsung berubah antusias. "Oh! Jadi kamu murid pindahan itu, ya? Selamat datang di SMA Starlight Academy."

Ia memberi isyarat kepada Zalleon untuk duduk di kursi tamu di depan mejanya. Zalleon pun menurut dan duduk dengan tenang, menjaga sikap sopannya.

Sang guru mulai membalik-balikkan beberapa dokumen di atas mejanya, matanya menyapu cepat lembar demi lembar. "Leo, Leo... Ah, ini dia," katanya sambil menarik satu map berwarna biru muda. "Nama lengkapnya Leo Alfais, kan?"

"Iya, Bu," jawab Zalleon dengan anggukan kecil.

"Baik. Berdasarkan data, kamu masuk ke kelas E4D. Itu salah satu kelas IPA yang cukup aktif di sini. Tapi kamu tak perlu khawatir, murid-muridnya baik dan suportif."

Zalleon mengangguk lagi. "Baik, Bu. Terima kasih."

Guru itu tersenyum lembut. "Jangan sungkan bertanya kalau ada yang belum kamu mengerti, ya. Adaptasi di sekolah baru memang butuh waktu, tapi Ibu yakin kamu bisa cepat menyesuaikan diri."

Zalleon hanya menjawab dengan senyum tipis. Di balik ketenangannya, ia masih menimbang banyak hal terutama tentang kehidupan barunya sebagai Leo, dan rasa nyeri aneh di dadanya yang belum sepenuhnya hilang.

Beberapa menit berlalu, hingga suara bel masuk menggema di seluruh penjuru sekolah, menandakan bahwa jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Suasana di luar ruang guru pun terdengar lebih ramai, para siswa mulai memasuki kelas masing-masing.

Sang guru yang ternyata adalah wali kelas Zalleon bangkit dari kursinya dan mengambil beberapa lembar kertas.

"Ayo, Leo. Ibu antar kamu ke kelas sekarang. Anak-anak pasti sudah mulai masuk."

"Baik, Bu," jawab Zalleon sambil ikut berdiri.

Ia pun mengikuti langkah gurunya keluar dari ruang guru, menyusuri lorong sekolah yang kini mulai sepi. Langkah mereka beriringan, dan di dalam hatinya, Zalleon tahu langkah ini adalah awal dari lembaran baru kehidupannya. Sebuah perjalanan yang entah akan membawanya menuju kedamaian... atau justru badai yang lebih besar.

Setibanya guru memasuki kelas, para murid segera duduk dengan tertib.

"Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru," ujar sang guru.

Beberapa murid langsung bersemangat.

"Siapa, Bu?" tanya seorang murid perempuan penuh penasaran.

"Seru nih, anak baru!" sahut seorang murid laki-laki.

Sang guru tersenyum. "Ayo, Leo, masuklah."

Zalleon melangkah masuk dengan tenang. Begitu ia berdiri di depan kelas, beberapa murid tampak terkejut dan berbisik satu sama lain. Tatapan mereka penuh kagum melihat ketampanan dan aura misterius yang dimiliki Zalleon.

"Wah, dia sangat tampan!" bisik Sara kepada Lina.

"Iya,dia sangat tampan!"

Jawab lina teman sebangku sara.

"Iya! Sepertinya dia cinta pertamaku!" balas Sara dengan pipi merona.

Lina menoleh heran. "Apa kau menyukainya? Bagaimana dengan agra?"

"Silakan perkenalkan diri," kata guru.

Zalleon mengangguk. "Halo semuanya."

"Hallooo!" sahut murid-murid serempak.

"Nama saya Leo Alfais. Kalian bisa panggil saya Leo."

"Hai, Leoo!!" seru beberapa murid perempuan dengan antusias.

"Wih, keren namanya," komentar salah satu murid laki-laki.

Guru tersenyum puas. "Baik, Leo. Silakan duduk di bangku kosong di sebelah Arka."

Seorang murid laki-laki yang bernama Arka melambaikan tangan ke arahnya. Zalleon membalas dengan senyum tipis dan berjalan menuju bangkunya. Namun, di tengah perjalanan, dadanya kembali berdenyut sakit.

Lagi? Kenapa dadaku terasa sakit lagi ya? pikirnya sambil menekan dadanya sebentar.

Ia mengabaikan rasa sakit itu dan segera duduk di kursinya.

"Baik, anak-anak, keluarkan buku fisika kalian. Kita lanjutkan pelajaran," kata guru.

"Baik, Bu!" jawab para murid serempak, dan pelajaran pun dimulai.

Saat pelajaran berlangsung, Zalleon termenung. Ia masih merasakan sakit di dadanya, perasaan yang aneh dan mengganggu. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi rasa sakit itu tak kunjung hilang.

Tiba-tiba, kata-kata sang cahaya kembali terngiang di benaknya:

Malaikat Zalleon, ketahuilah bahwa jika kau berpapasan dengannya, hatimu akan bergetar dan dadamu akan terasa sakit. Itu tanda bahwa kekuatanmu ada padanya.

Zalleon terkejut. "Apa?!" serunya dalam hati. Kini ia menyadari bahwa rasa sakit yang ia alami bukanlah hal biasa. Itu adalah tanda bahwa orang yang memegang kekuatan dan lambangnya ada di dekatnya.

"Leo! Leo!" suara seseorang membuyarkan lamunannya.

Zalleon tersadar dan menoleh. Ternyata Arka, teman sebangkunya, sedang memanggilnya.

"Ah, iya?" jawab Zalleon masih sedikit linglung.

"Kamu kenapa?" tanya Arka, terlihat sedikit khawatir.

"Hmm... Aku nggak apa-apa," jawab Zalleon sambil tersenyum tipis.

Arka mengulurkan tangan. "Kenalan dulu dong. Nama aku Arka Aditia Aska. Kamu bisa panggil aku Arka."

Zalleon menjabat tangan Arka. "Hai, Arka. Aku Leo Alfais."

"Kamu ada buku fisika, kan? Mana bukumu?" tanya Arka lagi.

"Oh iya, hampir lupa." Zalleon buru-buru mengambil bukunya dari dalam tas.

"Buka halaman 116," kata Arka.

"Oke, Ar," jawab Zalleon sambil membuka buku.

Beberapa menit kemudian, bel istirahat berbunyi. Para murid mulai berdiri dan bersiap meninggalkan kelas untuk beristirahat.

Dua murid laki-laki yang duduk di depan meja Zalleon berbalik dan menyapanya.

"Hai, Leo!" ujar salah satu dari mereka.

"Hai, Leo!" sapa yang lainnya.

Zalleon tersenyum. "Hai."

"Kenalin, nama aku Agra," kata salah satu murid.

"Dan aku Saka," tambah yang satunya lagi.

"Senang kenal kalian, Agra, Saka," balas Zalleon ramah.

Tiba-tiba, Arka menghentakkan tangannya di meja dengan keras. "HAH!"

Zalleon, Agra, dan Saka sontak terkejut.

"Astaga! Kebiasaan banget lo, Arka!" omel Agra.

"Iya, nggak bisa apa kasih aba-aba dulu sebelum bikin orang kaget?!" tambah Saka.

Arka hanya terkekeh. "Yaelah, cuman gitu doang. Ayo, Leo, ke kantin!"

"Oh, ayo," jawab Zalleon.

"Kami ikut dong!" seru Agra.

"Gue juga!" tambah Saka.

Mereka berempat pun berjalan menuju kantin. Namun, di tengah perjalanan, Zalleon tak sengaja bertabrakan dengan seorang gadis yang sedang berjalan cepat. Tubuhnya sedikit terdorong ke belakang, dan seketika dadanya terasa sakit lebih hebat dari sebelumnya.

"Leo, kamu kenapa?" tanya Agra, melihat Zalleon yang tiba-tiba berhenti melangkah.

"Leo, ada apa?" Arka menatapnya dengan cemas.

Zalleon tidak menjawab. Ia berbalik, mencari sosok gadis yang menabraknya. Begitu melihatnya, tanpa berpikir panjang, ia segera berlari mengejarnya.

Ia meraih tangan gadis itu, menghentikannya. Saat mata mereka bertemu, waktu terasa berhenti. Suasana di sekitar mereka menjadi mencekam.

Tatapan Zalleon tertuju pada tangan gadis itu, dan matanya melebar saat melihatnya. Lambang serta kekuatannya ada di sana.

Si gadis tampak terkejut dan segera menarik tangannya dari genggaman Zalleon. "Apa sih?!" ujarnya kesal.

Temannya yang berdiri di sampingnya menatap Zalleon dengan aneh. "Lo kenapa sih? Aneh banget!" katanya sinis.

Tanpa menunggu jawaban, ia menarik tangan temannya dan mengajaknya pergi. "Ayo, kita pergi. Gak jelas banget orang ini!"

Zalleon hanya bisa diam, memperhatikan gadis itu menjauh. Ia yakin, gadis itulah yang memegang kekuatannya.

Di saat itu, Arka, Agra, dan Saka yang melihat kejadian tadi semakin bingung.

"Leo, ada apa sebenarnya?" tanya Arka penasaran.

Namun, Zalleon tetap diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia akhirnya menemukan orang yang ia cari, tapi apa yang harus ia lakukan sekarang?

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku 100 Hari   Bab 24 (Ada Luka dalam Diamku)

    Sesi belajar itu berlanjut, namun bagi Zira, suara-suara di sekitar terasa seperti gema yang tak jelas. Ia berusaha fokus, menjelaskan langkah-langkah selanjutnya kepada Brayen, namun hatinya terasa begitu berat. Setiap kali ia berusaha mendalami materi, matanya tak sengaja mencuri pandang ke arah Zalleon dan Alleya. Mungkin itu hanya kebetulan, pikirnya, namun kenyataannya, hal itu justru membuat perasaannya semakin kacau.Zalleon terlihat mulai tenang, bahkan tersenyum kecil saat berbicara dengan Alleya. Tatapan itu... senyum itu... bukan untuknya. Zira menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba menepis rasa aneh yang mulai merayapi hatinya. Entah kenapa, melihat Zalleon berbicara begitu akrab dengan Alleya membuat hatinya terasa kering. Mengapa ia merasa begitu cemburu? Bukankah mereka hanya teman?“Langkah selanjutnya gimana, Zira?” tanya Brayen pelan, membuyarkan lamunannya.Zira tersentak sedikit, seolah baru terbangun dari dunia lain. "Ah... iya, maaf.

  • Cintaku 100 Hari   Bab 23 (Tatapan yang Mengguncang Hati)

    Setelah insiden kecil yang cukup menegangkan tadi, suasana perpustakaan mulai tenang kembali. Zira dan Brayen berjalan beriringan menuju bangku mereka. Zira melangkah lebih dulu dan segera duduk di tempatnya, sementara Brayen hendak menarik kursi di sebelahnya—berniat duduk dan belajar bersama Zira seperti yang telah mereka rencanakan.Namun, sebelum ia sempat duduk, sebuah tangan tiba-tiba menahan lengannya.Brayen menoleh cepat. Tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Zalleon.“Aku akan duduk di sini,” ucap Zalleon pelan, tapi penuh tekanan.Brayen langsung menarik lengannya dari genggaman Zalleon secara kasar. Wajahnya mengeras. “Apa-apaan kau ini?” gerutunya kesal.Zalleon tidak menjawab. Tatapannya semakin tajam, menusuk, seolah sedang menahan ledakan emosi dalam dirinya.Brayen balas menatap dengan senyum sinis, lalu melipat tangannya. “Aku yang akan duduk di sini,” katanya dengan nada menantang.Sekeja

  • Cintaku 100 Hari   Bab 22 (Ketika Takdir Membelok)

    Perjalanan mereka terasa menyenangkan. Udara sejuk menyapa kulit, membuat suasana jadi damai dan tenang. Zira yang duduk di belakang, sesekali memejamkan mata menikmati angin yang membelai lembut wajahnya. Tak lama kemudian, motor Zalleon berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan arsitektur klasik nan megah—perpustakaan umum kota.Zalleon segera memarkirkan motor. Zira turun lebih dulu dan melepaskan helmnya, lalu menyerahkannya kepada Zalleon.“Nih, Leo,” ucap Zira sambil menyodorkan helm.Zalleon menerima helm itu dengan senyuman manis. Ia pun turun dari motor dan melepaskan helmnya sendiri.“Ayok,” ajaknya.“Yok,” balas Zira singkat.Mereka pun melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Suasana di dalam sungguh indah. Pilar-pilar tinggi berjejer rapi, rak-rak buku menjulang, dan aroma khas kertas tua menyambut mereka. Karena hari itu adalah hari libur, tempat itu ramai oleh siswa dari berbagai sekolah yang ingin belajar untuk

  • Cintaku 100 Hari   Bab 21 (Ketukan di Pintu Hati)

    Akhir pekan yang tenang menyambut Zira dengan libur dua hari-Sabtu dan Minggu- yang juga dimanfaatkan untuk persiapan ujian akhir semester. Meski kesempatan itu bisa saja ia gunakan untuk bersantai, Zira memilih duduk di depan buku-bukunya, mencoba fokus belajar. Namun, pikirannya justru terus melayang pada dua sosok yang diam-diam mengisi ruang hatinya.Zalleon... dan Brayen.Tatapan penuh makna antara mereka berdua beberapa hari lalu masih terekam jelas di ingatannya tegang, seolah saling mengenali satu sama lain dalam diam. Ditambah lagi, keduanya bersikeras ingin mengantar Zira pulang di hari yang sama.Zira menatap bukunya yang terbuka, lalu menghela napas. Fokusnya buyar. Lagi-lagi pikirannya berkelana pada dua sosok yang akhir-akhir ini mulai mengisi harinya.Sementara itu, di ruang tamu, Syafiq adik Zira yang sedang asyik bermain game di HP tertawa-tawa sendiri sambil sesekali mengumpat karena hampir kalah. Tiba-tiba, terdengar suara ketuk

  • Cintaku 100 Hari   Bab 20 (Dua Tangan, Satu Hati)

    Siang itu, cahaya matahari menembus sebagian kaca buram laboratorium, menciptakan pantulan samar di meja-meja eksperimen. Udara di ruangan itu terasa sejuk, bercampur dengan aroma bahan kimia yang khas namun ringan. Suasana cukup tenang, hanya terdengar suara alat tulis yang bergerak dan gumaman pelan siswa-siswi yang sedang mencatat.Zira duduk di meja pojok, memperhatikan penjelasan guru sambil mencatat dengan rapi di buku catatannya. Wajahnya terlihat serius, tapi ada sedikit gurat lelah di matanya mungkin karena pelajaran hari ini cukup padat. Di sampingnya, beberapa teman mulai terlihat gelisah, menunggu waktu istirahat tiba.beberapa jam kemudian, bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat telah tiba. Zira berjalan pelan keluar dari lab, membawa buku catatan dan satu buku pelajaran. Ia menuju loker sebentar, lalu langsung ke arah perpustakaan.Di depan pintu, sosok yang sudah ia duga berdiri sambil bersandar pada dinding: Brayen.“Kamu l

  • Cintaku 100 Hari   Bab 19 (Tawa, Tatapan, dan Cemburu)

    Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny

  • Cintaku 100 Hari   Bab 18 (Sambutan Hangat)

    Beberapa menit kemudian Motor Zalleon berhenti perlahan di depan rumah sederhana bercat putih itu. Zira turun lebih dulu, melepas helm dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin.Zalleon ikut turun, menaruh helm di atas jok motor. Ia menatap rumah itu sebentar, lalu menoleh ke Zira dengan senyuman tenang.“Terima kasih udah nganterin,” ucap Zira pelan.Zalleon hanya mengangguk. “Kapan pun kamu butuh.”Zira baru saja hendak membuka pagar rumah ketika tiba-tiba terdengar suara langkah cepat dari arah jalan. Ia menoleh dan melihat sosok yang tengah berjalan cepat menghampirinya."Ibu?" panggil Zira, sedikit terkejut.Ternyata benar. Seorang wanita paruh baya dengan rambut dikuncir dan tas belanja di tangan sedang melangkah cepat menuju rumah. Begitu melihat Zira, wajahnya langsung berseri. Namun, pandangannya kemudian jatuh pada sosok Zalleon dan langkahnya seketika terhenti.Mata sang ibu melebar. Ia nyar

  • Cintaku 100 Hari   Bab 17 (Ada yang Tak Biasa)

    Setelah pertemuan singkat itu, Zira kembali ke meja dengan langkah pelan dan pikiran yang penuh. Degup jantungnya belum juga normal. Tapi saat melihat Lia dan Manda yang sedang tertawa kecil membahas sesuatu, Zira menahan diri. Ia duduk seperti biasa, mencoba terlihat tenang. “Kamu dari mana aja?” tanya Lia sambil melirik ke arah Zira. Zira tersenyum tipis. “Ambil buku.” “Lama amat,” gumam Manda. “Ngambil buku atau nyari jodoh?” Zira hanya terkekeh kecil, berpura-pura sibuk membuka buku di depannya. Ia memilih diam. Tak ingin menjelaskan apa pun. Bukan karena tak percaya pada mereka, tapi... ada perasaan aneh yang belum bisa ia mengerti. Tentang Brayen. Tentang tatapannya Zira baru saja membuka halaman pertama bukunya, namun suara langkah kaki yang mendekat tiba-tiba menghentikan aktivitas kecilnya. Brayen. Dengan tenang, tanpa berkata apa pun, ia menarik kursi kos

  • Cintaku 100 Hari   Bab 16 (Bayangan di Antara Kita)

    Pagi itu, Zira terbangun dari tidurnya dengan sedikit malas. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela menyilaukan matanya. Dengan gerakan lambat, ia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat sedang memasang dasi di lehernya, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok tok tokTanpa menunggu jawaban, pintu terbuka, menampakkan sosok adiknya, Syafiq, yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bosan."Kak, turunlah. Ibu sudah menyuruhmu sarapan," katanya dengan nada mendesak.Zira mendengus kesal. "Iya, bawel! Sabar, ini Kakak lagi bersiap!"Syafiq mengangkat bahu. "Baiklah!" katanya sebelum menutup pintu dan pergi.Beberapa menit kemudian, Zira mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Ia langsung menuju ruang makan dan duduk di kursinya. Saat sedang menikmati sarapannya, ibunya menatapnya dengan serius."Zira, kapan kamu akan menghadapi ujian tengah semes

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status