Arka, Agra, dan Saka berjalan bersama Zalleon menuju kantin.
"Leo, kamu kenapa sih tadi?" tanya Agra penasaran. "Iya, kenapa?" tambah Saka. Arka menyipitkan matanya curiga. "Apa jangan-jangan kamu suka sama cewek itu ya?" Zalleon tersentak. "Enggak... Aku nggak apa-apa," ujarnya sambil mengalihkan pandangan. "Ayo ke kantin." Mereka pun melanjutkan langkah menuju kantin. Saat sudah membeli makanan dan duduk bersama, Agra kembali membuka pembicaraan. "Leo, kamu suka ya sama Zira?" tanyanya sambil menyenggol lengan Zalleon. "Ha? Zira siapa?" Zalleon mengernyitkan dahi. "Itu, Zira. Cewek yang tadi kamu pegang tangannya," jelas Agra. Zalleon terdiam sejenak, mencari alasan. "Nggak. Aku kira dia teman lama aku. Mirip banget soalnya." "Oh, begitu," Agra mengangguk paham. Arka menyandarkan punggungnya ke kursi dan berkata, "Tapi kalian tahu nggak sih? Zira itu agak aneh. Cuek banget sama cowok. Apa dia nggak suka sama cowok ya?" "Mungkin dia cuma kurang bergaul aja, Ar. Jangan suudzon," timpal Saka. "Bukan suudzon, cuma penasaran aja," kata Arka sambil mengangkat bahunya. Setelah mereka selesai makan dan mengobrol, mereka pun kembali ke kelas. Saat Zalleon masuk, ia tanpa sengaja bertemu tatapan dengan Zira. Hanya sesaat, lalu ia melangkah menuju bangkunya. Sementara itu, teman-teman Zira mulai berbisik-bisik. "Eh, anak baru itu kayaknya aneh banget deh," kata Manda. "Iya, masa tadi dia megang tangan kamu, Zir?" tambah Lia. Zira menghela napas. "Mungkin dia kira aku orang yang dia kenal. Dan ternyata bukan." "Masa iya sih? Tapi gue curiga, jangan-jangan Leo suka sama kamu!" goda Manda. "Iya, Zir! Leo kayaknya naksir deh!" sambung Lia. Zira mendesah kesal. "Apaan sih? Enggak kok!" "Ciee, lo salting, ya!" goda Manda lagi. "Ya ampun, Man! Enggak, fitnah aja lo!" jawab Zira sambil memutar bola matanya. Sementara mereka berbincang, Zira melirik tangannya. Lambang misterius itu masih ada di sana. Ia teringat kejadian pagi itu. Saat bangun tidur, Zira belum menyadari apa yang ada di tangannya. Baru ketika ia masuk kamar mandi dan mencuci muka, ia melihat lambang seperti tato itu di pergelangan tangannya. Panik, ia mencoba menghapusnya dengan handuk, lalu mencuci dan menggosok-gosok kulitnya hingga memerah. Namun, lambang itu tetap tak hilang. "Hah... Kok nggak mau hilang sih?!" desisnya panik. Setelah berulang kali mencoba dan gagal, Zira merasa lelah. Ia menyerah dan mulai menangis. Namun, tiba-tiba, lambang itu bersinar terang. Cahaya putih menyilaukan keluar dari simbol tersebut. Zira terjatuh dan menutup matanya karena silau. Setelah beberapa saat, cahaya itu meredup. "Apa... Apa itu? Bagaimana bisa?!" bisiknya ketakutan. Lamunannya terhenti saat Manda dan Lia memanggil namanya. "Zira! Ziraa!" seru Manda. Zira tersentak. "Eh? Iya?" "Kamu kenapa?" tanya Lia curiga. "Iya, mikirin apa sih?" timpal Manda. Zira menggeleng cepat. "Gak apa-apa, kok." Tak lama, bel berbunyi, menandakan jam pelajaran dimulai kembali. Di dalam kelas, Zalleon tak bisa berhenti memperhatikan Zira dari belakang. Pikirannya dipenuhi pertanyaan. "Bagaimana bisa kekuatan dan lambangku ada pada wanita itu...?" pikirnya, menghembuskan napas panjang. Beberapa jam kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. "Leo, kamu bawa motor nggak?" tanya Arka. "Enggak, Ar." "Yah, kenapa nggak bawa? Besok bawa ya!" pinta Saka. Zalleon tersenyum. "Ya udah, besok gue bawa." "Mau pulang bareng gue nggak, Leo?" tawar Agra. "Makasih, Gra. Gue pulang sendiri aja." "Ya udah, gue duluan ya," kata Agra. "Iya, gue juga," tambah Saka. "Gue duluan, Leo!" Arka melambaikan tangan. "Iya, hati-hati kalian!" sahut Zalleon. Setelah teman-temannya pergi, Zalleon mencari tempat sepi. Ia masuk ke kamar mandi pria yang kosong, lalu menggunakan kekuatannya untuk berpindah tempat. Dalam sekejap, ia sudah berada di depan rumahnya. Sesampainya di kamar, ia berbaring di kasur, masih memikirkan Zira. "Bagaimana bisa kekuatanku ada pada wanita itu? Dan bagaimana cara aku mendapatkannya kembali?" gumamnya. Zalleon bangkit dan memanggil sang Cahaya. "Cahaya, di mana kamu? Keluarlah!" Tiba-tiba, cahaya putih muncul di hadapannya. "Cahaya, bagaimana bisa kekuatan dan lambangku berada di wanita itu?" tanyanya. "Wahai Malaikat Zalleon, itu adalah bentuk ujian dari dewa untukmu," jawab Cahaya. "Baiklah, tapi bagaimana caraku mendapatkannya kembali?" "Dekati dia dan bujuk agar ia mau menyerahkan kekuatanmu kembali." Zalleon mengangguk. "Hmm... Baiklah." Tiba-tiba, Cahaya memberikan sesuatu padanya. Sebuah benda melayang di udara dan jatuh ke tangan Zalleon. "Apa ini, Cahaya?" tanyanya. "Ini adalah handphone. Manusia sering menggunakannya. Mungkin suatu saat nanti, benda ini akan berguna bagimu." "Baiklah. Terima kasih, Cahaya." Setelah itu, Cahaya menghilang. Zalleon menatap handphone di tangannya. Ia mencoba menekan tombol-tombolnya, tapi kebingungan. "Bagaimana cara menggunakan ini...?" gumamnya. Ia menekan-nekan sembarangan hingga akhirnya layar menyala. "Ah! Akhirnya menyala juga!" serunya senang. Namun, setelah beberapa saat melihat-lihat, ia tetap tak mengerti cara menggunakannya. "Ah... Aku nggak ngerti!" katanya frustrasi. Akhirnya, ia meletakkan handphone itu di sampingnya dan merebahkan diri di kasur. "Ahh... Capek juga ya jadi manusia. Padahal aku nggak pernah secapek ini sebelumnya..." Tak lama kemudian, ia tertidur. Sementara itu, Zira di rumahnya duduk termenung di kamarnya, menatap lambang di tangannya. "Apa tato ini akan terus ada di tanganku...?" keluhnya. Ia mengingat kejadian tadi di sekolah. Saat Leo memegang tangannya dan melihat lambang itu. "Kenapa tadi Leo melihat tato ini seperti sudah mengetahuinya...? Apa jangan-jangan... dia tahu sesuatu tentang tato ini...? BERSAMBUNGSesi belajar itu berlanjut, namun bagi Zira, suara-suara di sekitar terasa seperti gema yang tak jelas. Ia berusaha fokus, menjelaskan langkah-langkah selanjutnya kepada Brayen, namun hatinya terasa begitu berat. Setiap kali ia berusaha mendalami materi, matanya tak sengaja mencuri pandang ke arah Zalleon dan Alleya. Mungkin itu hanya kebetulan, pikirnya, namun kenyataannya, hal itu justru membuat perasaannya semakin kacau.Zalleon terlihat mulai tenang, bahkan tersenyum kecil saat berbicara dengan Alleya. Tatapan itu... senyum itu... bukan untuknya. Zira menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba menepis rasa aneh yang mulai merayapi hatinya. Entah kenapa, melihat Zalleon berbicara begitu akrab dengan Alleya membuat hatinya terasa kering. Mengapa ia merasa begitu cemburu? Bukankah mereka hanya teman?“Langkah selanjutnya gimana, Zira?” tanya Brayen pelan, membuyarkan lamunannya.Zira tersentak sedikit, seolah baru terbangun dari dunia lain. "Ah... iya, maaf.
Setelah insiden kecil yang cukup menegangkan tadi, suasana perpustakaan mulai tenang kembali. Zira dan Brayen berjalan beriringan menuju bangku mereka. Zira melangkah lebih dulu dan segera duduk di tempatnya, sementara Brayen hendak menarik kursi di sebelahnya—berniat duduk dan belajar bersama Zira seperti yang telah mereka rencanakan.Namun, sebelum ia sempat duduk, sebuah tangan tiba-tiba menahan lengannya.Brayen menoleh cepat. Tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Zalleon.“Aku akan duduk di sini,” ucap Zalleon pelan, tapi penuh tekanan.Brayen langsung menarik lengannya dari genggaman Zalleon secara kasar. Wajahnya mengeras. “Apa-apaan kau ini?” gerutunya kesal.Zalleon tidak menjawab. Tatapannya semakin tajam, menusuk, seolah sedang menahan ledakan emosi dalam dirinya.Brayen balas menatap dengan senyum sinis, lalu melipat tangannya. “Aku yang akan duduk di sini,” katanya dengan nada menantang.Sekeja
Perjalanan mereka terasa menyenangkan. Udara sejuk menyapa kulit, membuat suasana jadi damai dan tenang. Zira yang duduk di belakang, sesekali memejamkan mata menikmati angin yang membelai lembut wajahnya. Tak lama kemudian, motor Zalleon berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan arsitektur klasik nan megah—perpustakaan umum kota.Zalleon segera memarkirkan motor. Zira turun lebih dulu dan melepaskan helmnya, lalu menyerahkannya kepada Zalleon.“Nih, Leo,” ucap Zira sambil menyodorkan helm.Zalleon menerima helm itu dengan senyuman manis. Ia pun turun dari motor dan melepaskan helmnya sendiri.“Ayok,” ajaknya.“Yok,” balas Zira singkat.Mereka pun melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Suasana di dalam sungguh indah. Pilar-pilar tinggi berjejer rapi, rak-rak buku menjulang, dan aroma khas kertas tua menyambut mereka. Karena hari itu adalah hari libur, tempat itu ramai oleh siswa dari berbagai sekolah yang ingin belajar untuk
Akhir pekan yang tenang menyambut Zira dengan libur dua hari-Sabtu dan Minggu- yang juga dimanfaatkan untuk persiapan ujian akhir semester. Meski kesempatan itu bisa saja ia gunakan untuk bersantai, Zira memilih duduk di depan buku-bukunya, mencoba fokus belajar. Namun, pikirannya justru terus melayang pada dua sosok yang diam-diam mengisi ruang hatinya.Zalleon... dan Brayen.Tatapan penuh makna antara mereka berdua beberapa hari lalu masih terekam jelas di ingatannya tegang, seolah saling mengenali satu sama lain dalam diam. Ditambah lagi, keduanya bersikeras ingin mengantar Zira pulang di hari yang sama.Zira menatap bukunya yang terbuka, lalu menghela napas. Fokusnya buyar. Lagi-lagi pikirannya berkelana pada dua sosok yang akhir-akhir ini mulai mengisi harinya.Sementara itu, di ruang tamu, Syafiq adik Zira yang sedang asyik bermain game di HP tertawa-tawa sendiri sambil sesekali mengumpat karena hampir kalah. Tiba-tiba, terdengar suara ketuk
Siang itu, cahaya matahari menembus sebagian kaca buram laboratorium, menciptakan pantulan samar di meja-meja eksperimen. Udara di ruangan itu terasa sejuk, bercampur dengan aroma bahan kimia yang khas namun ringan. Suasana cukup tenang, hanya terdengar suara alat tulis yang bergerak dan gumaman pelan siswa-siswi yang sedang mencatat.Zira duduk di meja pojok, memperhatikan penjelasan guru sambil mencatat dengan rapi di buku catatannya. Wajahnya terlihat serius, tapi ada sedikit gurat lelah di matanya mungkin karena pelajaran hari ini cukup padat. Di sampingnya, beberapa teman mulai terlihat gelisah, menunggu waktu istirahat tiba.beberapa jam kemudian, bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat telah tiba. Zira berjalan pelan keluar dari lab, membawa buku catatan dan satu buku pelajaran. Ia menuju loker sebentar, lalu langsung ke arah perpustakaan.Di depan pintu, sosok yang sudah ia duga berdiri sambil bersandar pada dinding: Brayen.“Kamu l
Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny
Beberapa menit kemudian Motor Zalleon berhenti perlahan di depan rumah sederhana bercat putih itu. Zira turun lebih dulu, melepas helm dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin.Zalleon ikut turun, menaruh helm di atas jok motor. Ia menatap rumah itu sebentar, lalu menoleh ke Zira dengan senyuman tenang.“Terima kasih udah nganterin,” ucap Zira pelan.Zalleon hanya mengangguk. “Kapan pun kamu butuh.”Zira baru saja hendak membuka pagar rumah ketika tiba-tiba terdengar suara langkah cepat dari arah jalan. Ia menoleh dan melihat sosok yang tengah berjalan cepat menghampirinya."Ibu?" panggil Zira, sedikit terkejut.Ternyata benar. Seorang wanita paruh baya dengan rambut dikuncir dan tas belanja di tangan sedang melangkah cepat menuju rumah. Begitu melihat Zira, wajahnya langsung berseri. Namun, pandangannya kemudian jatuh pada sosok Zalleon dan langkahnya seketika terhenti.Mata sang ibu melebar. Ia nyar
Setelah pertemuan singkat itu, Zira kembali ke meja dengan langkah pelan dan pikiran yang penuh. Degup jantungnya belum juga normal. Tapi saat melihat Lia dan Manda yang sedang tertawa kecil membahas sesuatu, Zira menahan diri. Ia duduk seperti biasa, mencoba terlihat tenang. “Kamu dari mana aja?” tanya Lia sambil melirik ke arah Zira. Zira tersenyum tipis. “Ambil buku.” “Lama amat,” gumam Manda. “Ngambil buku atau nyari jodoh?” Zira hanya terkekeh kecil, berpura-pura sibuk membuka buku di depannya. Ia memilih diam. Tak ingin menjelaskan apa pun. Bukan karena tak percaya pada mereka, tapi... ada perasaan aneh yang belum bisa ia mengerti. Tentang Brayen. Tentang tatapannya Zira baru saja membuka halaman pertama bukunya, namun suara langkah kaki yang mendekat tiba-tiba menghentikan aktivitas kecilnya. Brayen. Dengan tenang, tanpa berkata apa pun, ia menarik kursi kos
Pagi itu, Zira terbangun dari tidurnya dengan sedikit malas. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela menyilaukan matanya. Dengan gerakan lambat, ia beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat sedang memasang dasi di lehernya, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok tok tokTanpa menunggu jawaban, pintu terbuka, menampakkan sosok adiknya, Syafiq, yang berdiri di ambang pintu dengan ekspresi bosan."Kak, turunlah. Ibu sudah menyuruhmu sarapan," katanya dengan nada mendesak.Zira mendengus kesal. "Iya, bawel! Sabar, ini Kakak lagi bersiap!"Syafiq mengangkat bahu. "Baiklah!" katanya sebelum menutup pintu dan pergi.Beberapa menit kemudian, Zira mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Ia langsung menuju ruang makan dan duduk di kursinya. Saat sedang menikmati sarapannya, ibunya menatapnya dengan serius."Zira, kapan kamu akan menghadapi ujian tengah semes