Beranda / Fantasi / Cintaku 100 Hari / Bab 4 (MENCOBA)

Share

Bab 4 (MENCOBA)

last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-28 16:10:40

Keesokan harinya, tepat pukul 06.00 pagi, Zalleon terbangun dari tidurnya. Dengan mata masih sedikit berat, ia bangkit dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia mengenakan seragam sekolah dan bersiap-siap untuk berangkat. Namun, saat hendak melangkah keluar dari rumah, tiba-tiba ia terdiam.

Sesuatu terlintas di benaknya sesuatu yang membuat langkahnya tertunda sejenak.

"Oh iya, aku seharusnya membawa motor hari ini!" katanya sambil berpikir. "Tapi aku tidak punya motor."

Kebingungan melanda dirinya, tetapi kemudian ia teringat bahwa sang Cahaya bisa memberinya apa pun yang ia butuhkan. Tanpa ragu, ia memanggilnya.

"Cahaya, keluarlah! Aku ingin meminta bantuanmu!"

Seketika, sang Cahaya muncul di hadapannya.

"Cahaya, tolong berikan aku sebuah motor seperti yang biasa digunakan manusia," pinta Zalleon.

"Baiklah, Malaikat Zalleon," jawab sang Cahaya.

Dalam sekejap, cahaya terang menyelimuti ruangan, dan sebuah motor sport ZX-25R muncul di hadapan Zalleon. Ia terperangah melihatnya.

"Wah! Motor ini luar biasa! Terima kasih, Cahaya."

"Sama-sama, Malaikat Zalleon," jawab sang Cahaya sebelum menghilang.

Zalleon segera mengenakan helm dan menaiki motornya. Namun, ada satu masalah-ia tidak tahu cara menggunakannya.

"Bagaimana cara menjalankan kendaraan ini?" gumamnya sambil melihat-lihat motor itu.

Tanpa sengaja, tangannya memutar gas, dan motor itu melaju dengan kencang, membuatnya hampir terjatuh.

"Oh!" serunya kaget. "Ternyata ini cara menggerakkannya!"

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia bisa mengendarainya dengan baik. Beberapa menit kemudian, ia sudah tiba di sekolah dan memarkir motornya di area parkir. Saat itu, Arka datang dan menyapanya.

"Leo!" panggil Arka.

Zalleon membuka helmnya. "Eh, Ar!" balasnya.

Arka menatap motor Zalleon dengan penuh kekaguman. "Motor lo keren banget!"

Zalleon tersenyum. "Ah, biasa aja, Ar. Udah, ayo masuk. Sebentar lagi bel masuk."

Mereka pun berjalan menuju kelas. Sesampainya di depan pintu kelas, Zalleon melihat Zira yang juga sedang menatapnya. Namun, ia tak berkata apa-apa dan langsung menuju bangkunya.

Tak lama kemudian, bel berbunyi, menandakan dimulainya pelajaran. Guru olahraga mereka, Pak Tomi, masuk ke dalam kelas.

"Baik, anak-anak, sebelum kita mulai, saya akan absen. Yang tidak membawa baju olahraga akan saya buat alpa!" ucap Pak Tomi.

"Baik, Pak!" jawab para murid serentak.

Di tengah suasana itu, Arka menoleh ke arah Zalleon. "Leo, lo bawa baju olahraga nggak?"

Zalleon terdiam sejenak. "Aduh, gue lupa bawa!"

"Wah, gimana nih? Lo bisa-bisa dibuat alpa!"

Namun, Arka tiba-tiba memperhatikan tas Zalleon. "Eh, tapi kok tas lo gembung banget?"

Zalleon membuka tasnya dan menemukan baju olahraga di dalamnya. Ia terkejut.

"Loh? Kok ada di sini? Siapa yang menaruh ini?" pikirnya dalam hati.

"Itu kan baju olahraga lo? Lo bohong tadi!" kata Arka.

"Gue nggak bohong, Ar! Mungkin gue lupa," kilah Zalleon, meskipun dalam hatinya ia masih bertanya-tanya.

Setelah absen selesai, Pak Tomi menginstruksikan semua murid untuk berganti pakaian olahraga

Setelah semua murid berganti pakaian, mereka menuju lapangan untuk pemanasan. Pak Tomi meminta seseorang untuk memimpin pemanasan, tetapi tak ada yang mau.

"Baiklah, Agra! Kamu yang pimpin pemanasan!" perintah Pak Tomi.

"Yaelah, Pak. Saya lagi?" keluh Agra, tetapi ia tetap maju.

Saat pemanasan berlangsung, Zalleon kembali melirik Zira. Ia berpikir bagaimana cara mendekatinya untuk mengambil kembali kekuatannya. Namun, ia terlalu asyik melamun hingga tak menyadari kehadiran Pak Tomi di belakangnya.

Plak! Sebuah buku mengenai kepalanya.

"Aduh!" Zalleon kaget.

"Apa yang kau pikirkan, Zalleon?!" tegur Pak Tomi.

"Eh, tidak ada, Pak!" jawabnya gugup.

Para murid langsung tertawa melihat kejadian itu, sementara Zalleon hanya bisa tersenyum canggung.

Setelah pemanasan selesai,

dan Pak Tomi mengumumkan bahwa mereka akan bermain dalam permainan berpasangan.

"Kalian akan bermain dalam tim berpasangan, satu laki-laki dan satu perempuan. Kaki kalian akan diikat bersama, dan kalian harus berlari ke garis finis. Pasangan yang mencapai garis finis lebih dulu akan menang!" jelas Pak Tomi.

Dan Semua murid mulai mencari pasangan masing-masing. Tanpa ragu, Zalleon langsung menghampiri Zira.

"Zira, mau jadi pasanganku?" tanyanya.

Zira berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah."

Zalleon tersenyum senang. Namun, tiba-tiba seorang murid perempuan bernama Sara menghampiri mereka.

"Leo, berpasanganlah denganku," kata Sara sambil tersenyum manis.

Zalleon menatapnya sebentar, lalu menjawab, "Maaf, aku sudah berpasangan dengan Zira."

Sara tampak kecewa dan melirik Zira dengan sinis sebelum pergi mencari pasangan lain.

Permainan pun dimulai dengan beberapa pasangan pertama yang berlomba lebih dulu. Sorak-sorai murid-murid menggema di lapangan.

"Ayo, Lina!" teriak Sara.

"Arka, semangat!" tambah Agra.

Saat perlombaan berlangsung, tiba-tiba pasangan Arka dan Lina terjatuh.

"Yah, gimana sih!" protes Saka.

"Itu gara-gara lo, Lina!" seru Arka.

"Apaan sih! Lo yang nggak bisa jaga keseimbangan!" balas Lina, kesal.

Mereka akhirnya bangkit dan melanjutkan perlombaan. Akhirnya, pasangan Gibran dan Arin berhasil mencapai garis finis terlebih dahulu.

"Selamat untuk Gibran dan Arin!" kata Pak Tomi.

Para murid bersorak menyambut kemenangan mereka. Zalleon, yang masih bersama Zira, kembali berpikir keras.

"Bagaimana cara mendekatinya? Aku harus menemukan cara untuk mendapatkan kekuatanku kembali," gumamnya dalam hati.

Setelah pasangan pertama menyelesaikan perlombaan, kini giliran pasangan berikutnya, termasuk Zalleon dan Zira. Pak Tomi mengangkat peluitnya, bersiap memberikan aba-aba.

"Baik, pasangan berikutnya bersiap di garis start!" seru Pak Tomi.

Zalleon dan Zira berdiri berdampingan, kaki mereka diikat bersama. Zalleon melirik Zira yang tampak sedikit gugup.

"Kamu siap?" tanya Zalleon pelan.

Zira mengangguk, "Aku akan mencoba yang terbaik."

Pak Tomi meniup peluitnya, menandakan permainan dimulai. Zalleon dan Zira langsung mencoba menyamakan langkah mereka, tetapi di awal, Zira hampir terjatuh.

"Pelan-pelan, ikuti ritme langkahku," bisik Zalleon, meraih tangan Zira untuk menjaga keseimbangan.

Zira mengangguk dan mencoba menyesuaikan langkahnya dengan Zalleon. Perlahan-lahan, mereka mulai berlari lebih stabil. Sorakan dari para murid semakin keras.

"Ayo Zira! Ayo Leo!" teriak saka dan arka dari kejauhan.

"Ayo Zira!" teriak Manda dan Lia dari kejauhan.

Namun, tak lama kemudian, pasangan lain mulai menyusul mereka. Zira merasa panik dan mencoba berlari lebih cepat, tetapi itu malah membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia nyaris jatuh jika saja Zalleon tidak dengan sigap menahannya.

"Jangan terburu-buru, tetap fokus pada ritme," kata Zalleon dengan suara tenang.

Zira mengambil napas dalam dan mencoba menyesuaikan diri kembali. Mereka kembali melangkah serempak dan kini berada di posisi kedua, hanya sedikit tertinggal dari pasangan dika dan sara

Saat mereka semakin dekat dengan garis finish, Zalleon melihat ada batu kecil di lintasan. Jika Zira tidak hati-hati, ia bisa tersandung.

"Zira, hati-hati!" seru Zalleon sambil menggenggam tangan Zira lebih erat.

Zira mengerti maksudnya dan sedikit melompat, menghindari batu itu. Mereka terus berlari dengan kecepatan yang lebih stabil. Kini jarak mereka dengan pasangan dika dan sara semakin dekat.

Semua murid bersorak riuh, menyemangati kedua pasangan yang nyaris bersamaan mencapai garis finish. Dengan semangat yang membara, Zalleon dan Zira akhirnya melintasi garis finish terlebih dahulu, meninggalkan Dika dan Sara beberapa langkah di belakang.

"Dan pemenangnya adalah pasangan Leo dan Zira!" seru Pak Tomi lantang. "Kemenangan mutlak! Dika dan Sara nyaris saja menang, tapi kali ini mereka belum berhasil mengalahkan pasangan juara!"

Zalleon dan Zira tersenyum kelelahan, tetapi mereka puas dengan hasilnya.

"Kamu hebat," kata Zalleon sambil tersenyum.

Zira tersenyum kecil, "Kamu juga. Terima kasih sudah membantuku tadi."

Di kejauhan, Sara melihat interaksi mereka dengan tatapan kesal. Sementara itu, Zalleon merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih dalam tentang Zira, sesuatu yang harus ia cari tahu lebih lanjut...

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku 100 Hari   Bab 24 (Ada Luka dalam Diamku)

    Sesi belajar itu berlanjut, namun bagi Zira, suara-suara di sekitar terasa seperti gema yang tak jelas. Ia berusaha fokus, menjelaskan langkah-langkah selanjutnya kepada Brayen, namun hatinya terasa begitu berat. Setiap kali ia berusaha mendalami materi, matanya tak sengaja mencuri pandang ke arah Zalleon dan Alleya. Mungkin itu hanya kebetulan, pikirnya, namun kenyataannya, hal itu justru membuat perasaannya semakin kacau.Zalleon terlihat mulai tenang, bahkan tersenyum kecil saat berbicara dengan Alleya. Tatapan itu... senyum itu... bukan untuknya. Zira menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba menepis rasa aneh yang mulai merayapi hatinya. Entah kenapa, melihat Zalleon berbicara begitu akrab dengan Alleya membuat hatinya terasa kering. Mengapa ia merasa begitu cemburu? Bukankah mereka hanya teman?“Langkah selanjutnya gimana, Zira?” tanya Brayen pelan, membuyarkan lamunannya.Zira tersentak sedikit, seolah baru terbangun dari dunia lain. "Ah... iya, maaf.

  • Cintaku 100 Hari   Bab 23 (Tatapan yang Mengguncang Hati)

    Setelah insiden kecil yang cukup menegangkan tadi, suasana perpustakaan mulai tenang kembali. Zira dan Brayen berjalan beriringan menuju bangku mereka. Zira melangkah lebih dulu dan segera duduk di tempatnya, sementara Brayen hendak menarik kursi di sebelahnya—berniat duduk dan belajar bersama Zira seperti yang telah mereka rencanakan.Namun, sebelum ia sempat duduk, sebuah tangan tiba-tiba menahan lengannya.Brayen menoleh cepat. Tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Zalleon.“Aku akan duduk di sini,” ucap Zalleon pelan, tapi penuh tekanan.Brayen langsung menarik lengannya dari genggaman Zalleon secara kasar. Wajahnya mengeras. “Apa-apaan kau ini?” gerutunya kesal.Zalleon tidak menjawab. Tatapannya semakin tajam, menusuk, seolah sedang menahan ledakan emosi dalam dirinya.Brayen balas menatap dengan senyum sinis, lalu melipat tangannya. “Aku yang akan duduk di sini,” katanya dengan nada menantang.Sekeja

  • Cintaku 100 Hari   Bab 22 (Ketika Takdir Membelok)

    Perjalanan mereka terasa menyenangkan. Udara sejuk menyapa kulit, membuat suasana jadi damai dan tenang. Zira yang duduk di belakang, sesekali memejamkan mata menikmati angin yang membelai lembut wajahnya. Tak lama kemudian, motor Zalleon berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan arsitektur klasik nan megah—perpustakaan umum kota.Zalleon segera memarkirkan motor. Zira turun lebih dulu dan melepaskan helmnya, lalu menyerahkannya kepada Zalleon.“Nih, Leo,” ucap Zira sambil menyodorkan helm.Zalleon menerima helm itu dengan senyuman manis. Ia pun turun dari motor dan melepaskan helmnya sendiri.“Ayok,” ajaknya.“Yok,” balas Zira singkat.Mereka pun melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Suasana di dalam sungguh indah. Pilar-pilar tinggi berjejer rapi, rak-rak buku menjulang, dan aroma khas kertas tua menyambut mereka. Karena hari itu adalah hari libur, tempat itu ramai oleh siswa dari berbagai sekolah yang ingin belajar untuk

  • Cintaku 100 Hari   Bab 21 (Ketukan di Pintu Hati)

    Akhir pekan yang tenang menyambut Zira dengan libur dua hari-Sabtu dan Minggu- yang juga dimanfaatkan untuk persiapan ujian akhir semester. Meski kesempatan itu bisa saja ia gunakan untuk bersantai, Zira memilih duduk di depan buku-bukunya, mencoba fokus belajar. Namun, pikirannya justru terus melayang pada dua sosok yang diam-diam mengisi ruang hatinya.Zalleon... dan Brayen.Tatapan penuh makna antara mereka berdua beberapa hari lalu masih terekam jelas di ingatannya tegang, seolah saling mengenali satu sama lain dalam diam. Ditambah lagi, keduanya bersikeras ingin mengantar Zira pulang di hari yang sama.Zira menatap bukunya yang terbuka, lalu menghela napas. Fokusnya buyar. Lagi-lagi pikirannya berkelana pada dua sosok yang akhir-akhir ini mulai mengisi harinya.Sementara itu, di ruang tamu, Syafiq adik Zira yang sedang asyik bermain game di HP tertawa-tawa sendiri sambil sesekali mengumpat karena hampir kalah. Tiba-tiba, terdengar suara ketuk

  • Cintaku 100 Hari   Bab 20 (Dua Tangan, Satu Hati)

    Siang itu, cahaya matahari menembus sebagian kaca buram laboratorium, menciptakan pantulan samar di meja-meja eksperimen. Udara di ruangan itu terasa sejuk, bercampur dengan aroma bahan kimia yang khas namun ringan. Suasana cukup tenang, hanya terdengar suara alat tulis yang bergerak dan gumaman pelan siswa-siswi yang sedang mencatat.Zira duduk di meja pojok, memperhatikan penjelasan guru sambil mencatat dengan rapi di buku catatannya. Wajahnya terlihat serius, tapi ada sedikit gurat lelah di matanya mungkin karena pelajaran hari ini cukup padat. Di sampingnya, beberapa teman mulai terlihat gelisah, menunggu waktu istirahat tiba.beberapa jam kemudian, bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat telah tiba. Zira berjalan pelan keluar dari lab, membawa buku catatan dan satu buku pelajaran. Ia menuju loker sebentar, lalu langsung ke arah perpustakaan.Di depan pintu, sosok yang sudah ia duga berdiri sambil bersandar pada dinding: Brayen.“Kamu l

  • Cintaku 100 Hari   Bab 19 (Tawa, Tatapan, dan Cemburu)

    Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status