Perlombaan pun telah usai, begitu pula dengan jam pelajaran olahraga. Pak Tomi berdiri di tengah lapangan, menatap para murid yang masih terengah-engah setelah pertandingan.
"Anak-anak, untuk perlombaan hari ini sudah selesai, dan jam pelajaran olahraga pun sudah habis. Sekarang, kalian berganti baju untuk pelajaran selanjutnya," ujar Pak Tomi dengan suara tegas namun hangat. "Baik, Pak!" serentak para murid menjawab sebelum bergegas ke ruang ganti. Tak lama kemudian, bel berbunyi, menandakan dimulainya jam pelajaran berikutnya. Semua murid kembali ke kelas dan mulai belajar dengan serius. Namun, di tengah suasana tenang itu, Zalleon tampak diam, merenung sambil menatap Zira. Pikirannya melayang jauh. Bagaimana caraku mendapatkan kembali kekuatan dan lambangku? batinnya. Arka, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan tatapan kosong Zalleon. Dengan iseng, dia menyenggol bahu sahabatnya itu. "Jangan dipandangin terus, Leo. Nanti bisa jatuh cinta loh!" goda Arka dengan senyum jahil. Zalleon terkejut dan segera mengalihkan pandangannya. "Ah, iya, Ar!" jawabnya gugup. Arka semakin tergelitik. "Kenapa, Leo? Kamu suka sama Zira ya?" tanyanya sambil tersenyum penuh arti. "Enggak, Ar!" Zalleon tersenyum tipis, berusaha menyangkal. "Gak apa-apa, Leo. Jujur aja. Nanti gue bantu bilangin ke dia nih!" goda Arka lebih lanjut. "Ya ampun, Ar! Sudahlah!" Zalleon menghela napas panjang, merasa tak ingin melanjutkan percakapan ini. Arka pun masih terus meledeknya sambil menyenggol bahunya. Namun, tawa kecil mereka terhenti saat guru yang sedang mengajar memperhatikan mereka. "Arka! Kenapa kamu ribut sendiri?!" tegur sang guru dengan nada sedikit kesal. Semua murid langsung menoleh ke arah Arka dan Zalleon, membuat mereka menjadi pusat perhatian. "Hmm... nggak ada, Bu," jawab Arka dengan canggung. "Kalau begitu, coba kamu jelaskan kembali materi yang tadi Ibu jelaskan!" perintah guru itu dengan tatapan tajam. Arka menelan ludah, berpikir keras. "Hmm... tadi Ibu menjelaskan tentang... eh..." Kelas menjadi hening, menunggu jawabannya. "Oh iya! Tadi Ibu menjelaskan tentang... kenapa benda yang jatuh di Bumi mengalami percepatan gravitasi..." katanya ragu. "Terus?" sang guru menunggu kelanjutan jawabannya. Arka berpikir cepat, lalu menjawab dengan percaya diri, "Benda yang jatuh di Bumi mengalami percepatan gravitasi karena... 'berpikir keras'. Bumi itu pemarah! Semakin jauh benda jatuh, semakin cepat dia ingin benda itu sampai ke tanah supaya tidak mengganggu udara di sekitarnya. Jadi, makin tinggi jatuhnya, makin cepat Bumi menyuruhnya turun!" Seluruh kelas langsung meledak dalam tawa. Jawaban Arka yang konyol benar-benar membuat suasana kelas mencair. Namun, Arka sendiri merasa malu. Guru hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Arka, Arka... Makanya kalau Ibu sedang menjelaskan, perhatikan baik-baik! Jangan sibuk sendiri!" "Iya, Bu. Maaf..." jawab Arka dengan wajah tertunduk. Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. "Baiklah, anak-anak. Istirahat dulu. Besok kita lanjutkan lagi pelajarannya!" kata sang guru sebelum meninggalkan kelas. "Iya, Bu!" jawab seluruh murid dengan semangat. *** Saat waktu istirahat suasana koridor sekolah langsung dipenuhi suara langkah kaki para siswa yang berbondong-bondong menuju kantin. Namun, di antara kerumunan itu, ada empat sosok yang mencuri perhatian lebih dari siapa pun. Arka, Zalleon, Saka, dan Agra berjalan berdampingan dengan langkah santai. Wajah mereka tenang, seolah tidak terganggu oleh sorakan dan bisikan penuh kekaguman dari para siswi yang memandangi mereka dengan tatapan berbinar. "Wah, mereka tampan sekali!" bisik seorang siswi dengan suara tertahan. "Iya! Aku berharap ada di antara mereka yang jadi pacarku!" sahut yang lain penuh semangat. Beberapa siswi bahkan tak ragu untuk memanggil nama mereka. "Arkaaa!" "Leooo!" "Agraaaa!" "Sakaaa!" Namun, di tengah euforia yang melingkupi keempat cowok itu, Zira hanya menatap mereka dengan ekspresi datar. Tidak seperti teman-temannya, Lia dan Manda, yang jelas-jelas terpesona. "Wah, mereka benar-benar tampan!" seru Manda dengan mata berbinar. "Iya! Aku ingin punya pacar seperti mereka!" tambah Lia, nyaris berbisik. Zira menghela napas dan menggeleng pelan. Baginya, wajah tampan saja tidak cukup untuk membuat seseorang menarik. Dia memang tidak menyangkal bahwa keempat cowok itu punya daya tarik tersendiri, tapi tetap saja bukan sesuatu yang membuatnya terkesan. "Kenapa sih kamu biasa aja, Zira?" tanya Manda heran. Zira mengangkat bahu. "Ganteng doang nggak cukup buat bikin aku terpesona." Lia mendengus. "Mereka itu bukan cuma ganteng doang, tahu! Mereka adalah Luminous Four, bintang sekolah yang punya bakat dan kemampuan luar biasa!" Zira hanya mengangguk seadanya, tidak tertarik untuk memperpanjang pembicaraan. *** Saat mereka tiba di kantin, suasana semakin riuh. Hampir semua siswi tampak berusaha menarik perhatian Arka, Zalleon, Saka, dan Agra, yang kini sedang memilih makanan di salah satu stan. Beberapa bahkan menawarkan tempat duduk atau membawakan minuman. Zira menggeleng pelan. "Norak banget," gumamnya. Namun, baru saja ia ingin berbalik untuk memesan makanannya sendiri, tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tetapi sebelum ia sempat jatuh, sebuah tangan sigap menangkap lengannya. "Eh, hati-hati," suara itu terdengar dalam dan lembut. Zira mendongak. Sepasang mata cokelat gelap menatapnya dengan ekspresi tenang. Zalleon. Suasana kantin yang ramai seketika terasa lebih sunyi bagi Zira, meskipun di sekeliling mereka masih penuh dengan suara orang berbicara. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Zalleon singkat sambil melepaskan pegangan tangannya. Zira segera berdiri tegak, menghindari tatapan leo. "Nggak apa-apa," jawabnya datar. Namun, ketika ia berbalik hendak menjauh, sesuatu yang aneh terjadi. Lambang di pergelangan tangannya, yang selama ini tampak seperti tato, tiba-tiba mengeluarkan cahaya. Cahaya keemasan berkilauan samar, tapi cukup nyata untuk membuat Zira membelalakkan mata. Panik, ia segera menutupinya dengan tangan dan berlari keluar dari kantin, tanpa memedulikan tatapan bingung yang ditujukan padanya termasuk dari Zalleon. Zalleon masih berdiri di tempatnya, menatap kepergian Zira dengan ekspresi penuh tanya. *** Saat Di meja kantin, Arka, Saka, dan Agra sudah duduk dengan santai, menikmati makan siang mereka,dan arka membuka obrolan "Sumpah, tadi kayaknya semua cewek terpesona sama ketampanan gue!" ujar Arka dengan percaya diri. Agra mendengus. "Kepedean lu!" Zalleon, yang baru saja duduk di kursinya, mengerutkan kening. "Iya, ya... Kenapa mereka semua pada terpesona?" tanyanya heran. Saka menatapnya santai. "Leo, kamu belum sadar ya? Kita ini memang terkenal." Arka mengangguk setuju. "Betul!" Zalleon masih tampak kebingungan. "Terkenal karena apa? Kita kan biasa-biasa aja..." Agra tertawa kecil. "Ya ampun, Leo. Nih, gue jelasin. Gue ketua OSIS dan atlet junior basket. Arka itu musisi band sekolah. Saka atlet renang junior. Dan kamu..." Agra menepuk bahu Zalleon. "Kamu sangat tampan, dan semua orang tergila-gila sama kamu." Arka menambahkan dengan bangga, "Makanya, kita disebut LF." "Luminous Four," tambah Saka. "Luminous Four? Artinya apa?" tanya Zalleon dengan alis terangkat. Arka tersenyum lebar. "Luminous berarti bercahaya. Kita ini empat orang yang bersinar di sekolah ini!" katanya dengan tawa ringan. Zalleon hanya bisa tersenyum kecil, tetapi pikirannya masih tertuju pada sesuatu yang lain Zira, yang tiba-tiba berlari dengan ekspresi panik sambil menggenggam dan menutupi lambang di pergelangan tangannya. Apa yang sedang terjadi dengan nya? Pikirnya dalam hati. Sebuah senggolan di bahunya mengagetkan Zalleon dari lamunannya. "Leo!" panggil Agra. "Iya?" "Hobi kamu apa? Kita belum tahu hobi lo," lanjutnya. "Iya, kasih tahu dong!" timpal Arka dengan antusias. Zalleon berpikir sejenak. "Hmm, gue gak punya hobi." Saka mengernyit. "Ah, masa sih? Gak mungkin gak ada hobi lo." "Iya, gue gak punya hobi. Eh, tapi kayaknya hobi gue suka melihat awan deh," jawabnya sambil menatap awan di langit. Ketiga temannya langsung tertawa mendengar jawaban itu. "Hahaha, Leo... Leo..." Arka tertawa keras. "Serius banget sih," tambah Agra sambil terkekeh. "Hahaha, lo unik banget, Leo," kata Saka. Agra lalu berkata, "Gini aja, mending lo ikut gue bertanding basket!" "Atau lo ikut gue latihan band!" Arka menimpali. "Nah, atau lo coba renang bareng gue!" tambah Saka. Mereka bertiga berusaha membujuk Zalleon untuk mencoba hobi baru. Zalleon tampak ragu. "Hmm... Tapi gue gak tertarik sama sekali." Arka menepuk pundaknya. "Ya ampun, Leo! Udah ah, lo coba aja dulu!" "Iya, dari hobi kita masing-masing, siapa tahu lo suka salah satunya!" bujuk Agra. Saka ikut mengangguk. "Betul! Cobain aja!" Akhirnya, setelah sedikit berpikir, Zalleon mengangguk. "Ya udah deh, boleh." Arka langsung merangkulnya. "Oke! Bagus, temanku!" Tak lama kemudian, bel masuk istirahat berbunyi. Suasana sekolah menjadi ramai dengan langkah kaki siswa yang berhamburan kembali ke kelas. Beberapa menit kemudian, bel pelajaran berbunyi lagi, menandakan dimulainya sesi pembelajaran. *** Waktu berlalu, hingga akhirnya bel pulang sekolah menggema di seluruh sudut gedung. Suara kursi bergeser dan obrolan siswa yang mulai berkemas memenuhi kelas. Zalleon meraih tasnya, tapi pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian siang tadi. Matanya mencari sosok Zira di antara kerumunan siswa, tapi tak terlihat. "Zalleon, ayo pulang!" seru Arka, menepuk pundaknya. "Iya, sebentar," jawabnya singkat. Saat mereka berjalan keluar kelas, Zalleon masih saja menelusuri kerumunan dengan matanya, berharap menemukan Zira. Namun, sebelum ia bisa melihat lebih jauh, Agra menghampirinya dengan semangat. "Ayo, teman! Kita pulang," ujar Agra sambil merangkulnya. Saka ikut menimpali, "Iya, lo bawa motor kan, Leo?" Zalleon mengangguk. "Iya, gue bawa." Arka menatapnya kagum. "Motor lo keren banget, sumpah, Leo." Zalleon hanya tersenyum kecil. "Enggak ah, Ar." Agra kemudian bertanya, "Pulang bareng, kan, kita?" Arka menggeleng. "Yah, gue gak bisa. Gue ada latihan band nanti." Agra menghela napas. "Yah, udah deh…" Tiba-tiba, Zalleon merasa ragu. Dia masih ingin mencari Zira. Dengan cepat, dia mencari alasan. "Hmm… Gue juga gak bisa. Gue mau pergi ke suatu tempat dulu," ujarnya. Agra mendesah kecewa. "Yah, Leo… Ya udah deh." Saka menepuk pundak Agra. "Ayo, Gra. Kita pulang." "Dah, gue duluan ya!" pamit Agra sambil melambaikan tangan. "Gue juga, bro. Duluan ya!" sahut Saka. Arka pun ikut berpamitan. "Yah, udah, Leo. Gue duluan juga ya. Sampai ketemu besok!" Setelah mereka pergi, Zalleon kembali menyapu pandangannya ke sekeliling. Rasa gelisahnya makin menjadi. Dia harus menemukan Zira. BERSAMBUNGPagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar Zira, menyapu perlahan wajahnya yang masih lelap. Dentingan jam weker di samping ranjang membangunkannya. Dengan malas, Zira mengusap wajahnya lalu duduk di tepi ranjang. Hari ini adalah hari ujian, dan seperti biasa, dia bersiap lebih awal.Setelah mandi dan mengenakan seragam sekolah, Zira berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya. Namun, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah benda di meja belajar. Sebuah kaca spion motor—kaca spion milik Brayen.Zira terdiam sesaat, menatap cermin kecil itu dengan rasa bersalah.“Aduh… gimana aku ngembaliin ini? Apa Brayen bakal marah?” gumamnya pelan sambil menghela napas berat. Jantungnya berdegup tak tenang. Kecemasan mulai merayap, membentuk kepanikan kecil dalam dirinya.Ia lalu membuka tasnya dan dengan hati-hati memasukkan kaca spion itu ke dalamnya. Zira menutup tasnya perlahan, seolah menyimpan juga kegugupan di dalamnya. Ia menar
Suasana kelas menjadi hening, hanya terdengar suara gesekan pena di atas kertas ujian dan detak jarum jam di dinding. Zira mencoba fokus, tapi pikirannya masih saja berputar pada luka di wajah Zalleon. Sekilas, ia melirik ke belakang, melihat Zalleon yang duduk dengan tenang, tapi jelas terlihat lelah. Zira menghela napas, mencoba mengalihkan pikirannya kembali ke soal.Beberapa menit berlalu, dan akhirnya kringgg!Bel pulang berbunyi nyaring, memecah kesunyian ruangan. Para siswa mulai merapikan kertas ujian dan perlengkapan mereka. Zira juga perlahan memasukkan bukunya ke dalam tas, bersama pulpen dan penghapus yang tadi ia pakai.Saat ia hendak berdiri dari bangku, tiba-tiba ada bayangan berdiri di depannya.Zira mendongak.Itu Zalleon.Jantungnya langsung berdegup cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Masih ada amarah kecil yang tersisa dari pagi tadi, tapi juga ada kekhawatiran dan rindu yang diam-diam menyelusup ke dalam hatinya.
Langkah kaki Brayen terdengar berat dan teratur saat ia meninggalkan taman sekolah. Wajahnya tak lagi menampilkan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan pada semua orang. Kali ini, ada sesuatu yang mengendap dalam tatapannya-gelap, dan menyimpan maksud tersembunyi.Tujuannya jelas: menemui Zalleon.Zalleon berdiri di atap sekolah, sendirian. Angin sore berhembus lembut, mengusap rambut hitamnya yang berkilau diterpa cahaya matahari. Ia menatap langit luas, mencoba menenangkan dadanya yang sesak sejak perbincangannya dengan Zira. Hatinya gelisah, pikirannya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia ungkapkan.Tiba-tiba..."Krekk—"Suara pintu atap terbuka memecah keheningan. Zalleon menoleh cepat. Tatapannya langsung berubah tajam. Di sana, berdiri sosok yang tak asing— Brayen.Brayen melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat dan penuh maksud. Pandangannya tajam menembus udara yang terasa kian menegang. Mereka berdiri sali
Suara alarm dari ponsel Zira berbunyi pelan, membangunkannya dari tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia membuka matanya perlahan, menatap langit-langit kamarnya yang tampak kelabu seperti perasaannya pagi itu. Libur dua hari telah berakhir, dan hari ini... ujian dimulai.Zira duduk di tepi ranjang, menarik napas dalam-dalam. Bukan karena takut menghadapi soal-soal ujian, tapi karena ada rasa aneh yang menggelayuti hatinya sejak semalam. Seolah… sesuatu akan terjadi."Zira, sudah bangun? Sarapan dulu, Nak," terdengar suara Ibu dari bawah."Iya, Bu!" jawabnya cepat. Ia pun segera bersiap dan turun untuk sarapan.Setelah selesai makan, Zira mengenakan sepatu dan bersiap keluar. Namun saat membuka pagar rumahnya, langkahnya langsung terhenti.Di depan rumah, berdiri seorang pria dengan santai, bersandar di motor sport birunya. Ia menoleh dan tersenyum.“Hai, Zira,” sapa Brayen.Zira terkejut. “Brayen?! Apa yang kamu lakukan
Zalleon akhirnya tiba di pantai itu. Ia memarkirkan motornya tak jauh dari tempat pengunjung lain. Saat membuka helm dan turun, matanya langsung menangkap sesuatu sebuah motor yang sangat ia kenal."Motor itu... milik Brayen," gumamnya, tajam.Tanpa pikir panjang, Zalleon langsung berlari menyusuri pantai. Matanya menelisik ke segala arah, mencari sosok Zira dan Brayen. Angin pantai menerpa rambutnya, langkahnya cepat dan penuh kecemasan. Hingga akhirnya, pandangannya tertuju pada dua orang yang sedang duduk di pasir.Zira.Gadis itu tertawa riang di samping Brayen. Mereka sedang membuat istana pasir bersama. Wajah Zira tampak sangat bahagia, senyumnya lepas, matanya bersinar. Pemandangan itu menusuk perasaan Zalleon seperti sembilu.Ia terdiam. Napasnya terhembus berat. Ada rasa tak nyaman yang menyeruak dalam dadanya campuran antara cemburu dan rasa kehilangan. Tangannya mengepal, langkahnya ingin maju, ingin menghampiri mereka, ingin m
Di hari kedua libur sekolah, langit pagi bersinar lebih cerah dari biasanya. Zira duduk di balkon rumahnya, menatap langit biru yang terbentang luas, mencoba menenangkan hati yang masih dipenuhi berbagai rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Tiba-tiba, suara nada dering ponselnya memecah keheningan. Zira sontak kaget, lalu menoleh ke arah meja kecil di sampingnya. Ia segera meraih ponselnya dan melihat layar yang menampilkan panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.Dengan alis sedikit mengernyit, ia mengangkat telepon itu."Halo? Ini siapa?" tanyanya bingung.Sebuah suara laki-laki menjawab di seberang sana, terdengar akrab namun agak dibuat-buat misterius."Hayo, tebak ini siapa?"Zira diam sejenak, mencoba mengenali suara itu. Rasanya sangat tidak asing. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat, hingga sebuah nama tiba-tiba muncul di benaknya."Brayen?" ucapnya ragu, namun cukup yakin.Suara tawa ring