Di antara lautan murid yang berhamburan keluar gerbang sekolah, akhirnya matanya menangkap sosok yang dicarinya. Zira. Gadis itu berjalan dengan langkah pelan, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Saat Zalleon dan Zira akhirnya berpapasan, sejenak waktu terasa melambat. Mata mereka bertemu, saling menatap, seolah-olah ada sesuatu yang ingin mereka ungkapkan, tetapi tak satu pun kata keluar dari bibir mereka. Dengan langkah mantap, Zalleon akhirnya menghampiri Zira. Jantung mereka berdegup kencang, seakan ada sesuatu yang menghubungkan mereka lebih dari sekadar pertemuan biasa. "Zira," panggil Zalleon pelan. Zira menatapnya, jantungnya berdegup semakin cepat. Ada sesuatu di wajah Zalleon yang membuatnya gelisah. "Ada apa, Leo?" tanyanya dengan suara sedikit gemetar. Zalleon menatap mata Zira dengan serius. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucapnya pelan namun tegas. Zira langsung menatapnya penuh tanya. "Bicara apa?" Zalleon menarik napas dalam, lalu melirik sekeliling. Tempat itu terlalu ramai, terlalu terbuka. "Bukan di sini," katanya pelan. "Tempat ini terlalu ramai. Ikut aku." Zira terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Mereka berjalan menuju belakang sekolah yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk para siswa yang pulang. Hanya ada mereka berdua di sana. Zalleon berdiri di depan Zira, menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berbicara. "Zira..." Zalleon menatap pergelangan tangan Zira dengan ekspresi serius. "Lambang itu..." Zira terkejut, mengikuti arah tatapan Zalleon. Lambang aneh di pergelangan tangannya kembali bersinar, membuatnya panik. Dengan cepat, dia mencoba menutupi cahaya itu agar Zalleon tidak melihatnya. "Jangan takut!" ujar Zalleon cepat. "Cahaya itu, hanya kita yang bisa melihatnya." Zira menatap Zalleon dengan mata membulat. "Leo… Kamu tahu tentang lambang ini?" Zalleon mengangguk. "Iya, aku tahu." "Bagaimana bisa?" tanya Zira, semakin penasaran. "Karena lambang itu milikku!" Zira terperanjat. "Apa?!" "Lambang itu milikku,dan aku kehilangan lambang dan kekuatanku, dan ternyata lambang serta kekuatanku ada di kamu..." kata Zalleon dengan nada serius. Zira mengerutkan kening. "Bagaimana bisa lambang ini ada padaku?" "Karena ini adalah ujian dari dewa yang harus aku lewati." Zira terdiam sesaat, lalu tiba-tiba tertawa. “Haha... Ya ampun, Leo! Cerita kamu lucu juga!” Zalleon mengernyit, wajahnya serius. “Zira, aku tidak sedang bercanda. Aku serius.” “Hahaha… Leo, sudah ah. Sepertinya aku sudah dijemput!” ucap Zira, lalu berbalik hendak pergi. Namun langkahnya terhenti ketika Zalleon tiba-tiba memegang tangannya, menghentikannya. Dan saat itu juga, lambang di pergelangan tangan Zira kembali bersinar-lebih terang dari sebelumnya, memancarkan cahaya hangat dari sela-sela jemari Zalleon yang menggenggam tangannya erat. Zira terpaku. Matanya membelalak menatap cahaya yang tak biasa itu, sementara Zalleon tetap memegang tangannya erat, tak membiarkan Zira pergi. “Zira… jangan pergi,” bisik Zalleon, suaranya pelan namun penuh harap. “Percayalah padaku. Lihatlah… lambang ini bercahaya. Apakah aku masih terlihat seperti sedang berbohong?” Zira menatap Zalleon dan cahaya yang terpancar dari lambangnya. Tawa yang tadi mewarnai wajahnya kini lenyap. Yang tersisa hanyalah keheningan… dan kebingungan yang menghiasi sorot matanya. Zalleon menghela napas, dengan ketidak percayaan Zira. "Apakah kamu masih kurang percaya?" tanyanya, nada suaranya sedikit kesal. Tanpa menunggu jawaban, Zalleon menatap Zira dengan tenang. Tanpa berkata apa-apa, ia melambaikan jarinya ke udara, membuat gerakan kecil namun penuh makna. Seketika, kursi di sebelah mereka mulai melayang perlahan, seolah ditarik oleh kekuatan tak kasat mata. Zira membelalakkan mata, hatinya berdegup kencang. "Bagaimana kau melakukan itu…?" bisiknya, masih tak percaya. Zalleon tetap diam, membiarkan keheningan berbicara. Ia tahu, kali ini Zira tidak bisa lagi menyangkal kenyataan. Zira mundur selangkah, matanya masih terpaku pada kursi yang melayang di udara. Napasnya memburu, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Rasa takut dan rasa ingin tahu beradu dalam dirinya. "Bagaimana itu bisa terjadi, Leo?" suaranya bergetar. Zalleon menurunkan tangannya perlahan, membuat kursi itu kembali ke tempatnya tanpa suara. Ia menghela napas, lalu menatap Zira dengan mata tajam namun lembut. "Aku sudah bilang bahwa lambang dan kekuatan itu milikku. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan ini," katanya pelan. Zira menelan ludah, pikirannya berkecamuk. "Siapa kamu sebenarnya...?" Zalleon terdiam. Tatapannya menerawang, seolah sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia membuka suara-pelan, nyaris berbisik. "Aku... aku... sebenarnya..." la menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk sejenak sebelum akhirnya berani menatap Zira. "Aku... seorang malaikat." Sejenak, hanya angin yang berbisik di antara mereka. Zira ingin menyangkal, ingin tertawa dan menganggap ini semua lelucon. Tapi tidak bisa. Ia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Zalleon baru saja melakukan sesuatu yang mustahil. "Leo… tapi bagaimana bisa lambang dan kekuatanmu ada padaku?" tanyanya, kebingungan. Zalleon menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab, "Karena Dewa sedang mengujiku." Keheningan kembali menyelimuti mereka,hanya suara detak jantung Zira yang menggema di telinganya. Apa yang baru saja ia dengar mengubah segalanya. Zira menunduk, menatap lambang di pergelangan tangannya. "Lalu… apa yang akan terjadi denganku?" "Kamu harus mengembalikan lambang dan kekuatanku," kata Zalleon. Zira ragu. "Bagaimana caranya?" "Ulurkan tanganmu," kata Zalleon. "Aku akan mengambilnya kembali." Zira menatapnya sejenak, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Zalleon langsung menggenggam pergelangan tangannya, tepat di atas lambang yang bersinar. Seketika, cahaya itu menyala semakin terang. Zalleon memejamkan mata, merasakan energi mengalir ke dalam tubuhnya. Zira tersentak. Angin mendadak berhembus lebih kencang, langit berubah mendung, suara petir menggelegar di kejauhan. Dan seketika Tubuh Zira mulai melemah. Napasnya tersengal, kepalanya terasa pusing. Ia berusaha bertahan, tetapi kekuatan tubuhnya menghilang. "D-ada apa ini…?" suaranya melemah. Pandangannya mulai kabur. Dan dalam hitungan detik semuanya menjadi gelap. Zalleon membuka mata tepat saat tubuh Zira hampir jatuh. Dengan refleks, ia langsung menangkapnya sebelum gadis itu jatuh ke tanah. "Zira…!" Zalleon menatap wajah pucatnya dengan cemas. Tanpa pikir panjang, ia menggendong Zira dan bergegas membawanya ke UKS. Hatinya diliputi kegelisahan. Namun, saat ia menatap lambang di pergelangan tangan Zira, jantungnya terkejut. Cahayanya memudar. Lambang itu belum kembali sepenuhnya. Zalleon menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang salah. Kenapa kekuatannya belum juga kembali? Di dalam pelukannya, Zira tetap terdiam tak sadarkan diri. Zalleon berlari menyusuri koridor sekolah, menggendong Zira yang tak sadarkan diri di pelukannya. Napasnya memburu, pikirannya penuh kebingungan. Seharusnya setelah ia mengambil kembali kekuatannya, semuanya akan kembali normal. Tapi mengapa lambangnya belum kembali sepenuhnya? Setibanya di UKS, ruangan itu kosong. Dengan hati-hati, ia membaringkan Zira di ranjang dan menyentuh dahinya. Dingin. "Zira..." gumamnya pelan, mencoba membangunkannya. Tapi gadis itu tetap diam. Matanya beralih ke pergelangan tangan Zira. Lambang itu masih ada, meskipun cahayanya semakin redup. "Kenapa belum kembali...?" Zalleon mengepalkan tangan, frustrasi menggerogoti dirinya. Jika ini bukan kesalahan pada dirinya, lalu apa yang menahan lambang itu? Di luar, suara petir menggelegar di kejauhan. Langit tampak semakin mendung, seolah mencerminkan kegelisahan di hatinya. "Aku harus menemukan jawabannya." Saat itu juga, Zira mengerang pelan. "Zira?" Zalleon langsung menegang. Kelopak mata gadis itu perlahan terbuka. Tatapannya kosong, wajahnya masih pucat. "Leo...?" suaranya nyaris tak terdengar. Zalleon mengangguk, mencoba tersenyum meskipun pikirannya masih kacau. "Aku di sini." Zira mencoba menggerakkan tangannya, tapi tubuhnya terlalu lemah. Ia menatap pergelangan tangannya yang masih memiliki lambang samar. "Apa yang terjadi?" tanyanya pelan. Zalleon menghela napas. "Aku sudah mencoba mengambil kembali kekuatanku, tapi... sepertinya ada sesuatu yang menahannya." Zira menatapnya dalam. "Jadi... kekuatan itu masih ada padaku?" Zalleon mengangguk. "Sebagian, tapi lebih lemah dari sebelumnya." Zira terdiam, mencoba mencerna semuanya. Dengan usaha besar, ia mencoba duduk, dan Zalleon dengan sigap membantunya. "Jangan memaksakan diri," katanya khawatir. "Aku baik-baik saja," Zira mencoba tersenyum, meski wajahnya masih pucat. "Jadi... kalau kekuatanmu belum kembali sepenuhnya, berarti masih ada yang harus kita lakukan?" Zalleon menatapnya tajam. "Iya. Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi." Zira menelan ludah. "Dan kalau ini ada hubungannya dengan sesuatu yang lebih besar... berarti aku dalam bahaya, kan?" Zalleon terdiam sejenak. Ia tidak ingin mengatakan itu, tapi Zira pasti sudah menyadarinya. "Kita akan mencari cara untuk melindungimu," katanya akhirnya. Zira mengangguk pelan. "Kalau begitu... kita harus cari tahu secepatnya." Saat itu juga, pintu UKS mendadak terbuka. Zalleon langsung menoleh, berjaga-jaga jika itu ancaman. Tapi yang masuk hanyalah seorang siswa laki-laki dengan seragam berantakan. "Hei, ada orang di sini?" tanya siswa itu. Zalleon menghela napas lega. "Iya, ada. Ada yang bisa aku bantu?" Siswa itu menatap mereka dan mengangkat alis. "Kalian ngapain di sini? Pacaran?" Zira dan Zalleon langsung membelalakkan mata. "Bukan!" jawab mereka bersamaan. Siswa itu tertawa kecil. "Santai, aku cuma bercanda. Aku disuruh ke sini gara-gara kecapekan habis bantu-bantu osis." Zalleon hanya mengangguk kecil, enggan banyak bicara. Zira menoleh ke arahnya dan berbisik, "Aku harus pulang." Zalleon mengangguk. "Kau sudah merasa lebih baik?" Zira mencoba menggerakkan tubuhnya. "Aku bisa jalan," katanya. Mereka pun meninggalkan UKS dan berjalan menuju tempat parkir. "Leo," panggil Zira pelan. "Kita mau ke mana?" "Ke tempat parkir motor," jawab Zalleon. "Ngapain?" "Aku akan mengantarmu pulang." Zira menggeleng. "Ah, tidak usah, Leo. Aku akan menelepon orang tuaku untuk menjemputku." Zalleon menatapnya dengan serius. "Biarkan aku mengantarmu!" Akhirnya, Zira setuju. "Hmm... baiklah." Setibanya di tempat parkir, Zalleon berhenti melangkah, memastikan tidak ada siapa pun di sekitar mereka. Ia menatap Zira serius. "Aku harus mencoba sesuatu," katanya. Zira mengernyit. "Mencoba apa?" Zalleon mengulurkan tangannya. "Pegang tanganku." Zira ragu sejenak, tetapi akhirnya meletakkan tangannya di atas tangan Zalleon. Seketika, hawa hangat menyelimuti mereka berdua. Cahaya samar muncul dari lambang di pergelangan tangan Zira, lalu perlahan merambat ke tangan Zalleon. Zalleon menutup mata, mencoba merasakan aliran energi itu. Tapi saat cahaya semakin terang— "Aaakh!" Zira tiba-tiba menjerit dan menarik tangannya. Zalleon terkejut. "Zira! Apa yang terjadi?" Zira memegangi pergelangan tangannya, wajahnya menunjukkan rasa sakit yang luar biasa. "Rasanya seperti... terbakar!" katanya dengan napas tersengal. Zalleon menggigit bibir. "Berarti ada sesuatu yang menghalangi. Ada kekuatan lain yang menahan lambang itu agar tidak kembali padaku." Zira menatapnya dengan mata khawatir. "Kekuatan lain? Maksudmu... ada yang mengontrol ini?" Zalleon mengangguk serius. "Mungkin saja. Tapi aku tidak tahu apa penyebabnya." Zira terdiam. Mereka sama-sama tidak punya jawaban. Namun tiba-tiba, sebuah ide melintas di benaknya. “Bagaimana kalau kamu bertanya pada seseorang yang mungkin tahu tentang lambang ini?” ujarnya pelan. “Tapi… apakah ada orang lain selain aku yang tahu?” Zalleon termenung sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Ada. Seseorang yang mungkin bisa membantu.” “Siapa?” tanya Zira, alisnya mengerut penasaran. Zalleon menatap langit yang mulai diselimuti gelapnya senja. “Sang Cahaya.” Zira tampak bingung. “Sang Cahaya? Siapa dia?” “Dia adalah pembimbingku. Sang Cahaya diturunkan oleh dewa untuk menuntunku selama aku berada di dunia ini,” jelas Zalleon dengan suara yang lembut namun serius. Zira masih terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Semoga dia punya jawaban.” Langit semakin gelap. Awan hitam bergulung, dan petir kembali menggelegar di kejauhan. Zalleon memandang ke atas dengan sorot mata dalam. “Semoga saja,” gumamnya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merasakan ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang menanti mereka. Sesuatu yang belum mereka sadari sepenuhnya… dan mungkin akan mengubah segalanya. BersambungSesi belajar itu berlanjut, namun bagi Zira, suara-suara di sekitar terasa seperti gema yang tak jelas. Ia berusaha fokus, menjelaskan langkah-langkah selanjutnya kepada Brayen, namun hatinya terasa begitu berat. Setiap kali ia berusaha mendalami materi, matanya tak sengaja mencuri pandang ke arah Zalleon dan Alleya. Mungkin itu hanya kebetulan, pikirnya, namun kenyataannya, hal itu justru membuat perasaannya semakin kacau.Zalleon terlihat mulai tenang, bahkan tersenyum kecil saat berbicara dengan Alleya. Tatapan itu... senyum itu... bukan untuknya. Zira menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba menepis rasa aneh yang mulai merayapi hatinya. Entah kenapa, melihat Zalleon berbicara begitu akrab dengan Alleya membuat hatinya terasa kering. Mengapa ia merasa begitu cemburu? Bukankah mereka hanya teman?“Langkah selanjutnya gimana, Zira?” tanya Brayen pelan, membuyarkan lamunannya.Zira tersentak sedikit, seolah baru terbangun dari dunia lain. "Ah... iya, maaf.
Setelah insiden kecil yang cukup menegangkan tadi, suasana perpustakaan mulai tenang kembali. Zira dan Brayen berjalan beriringan menuju bangku mereka. Zira melangkah lebih dulu dan segera duduk di tempatnya, sementara Brayen hendak menarik kursi di sebelahnya—berniat duduk dan belajar bersama Zira seperti yang telah mereka rencanakan.Namun, sebelum ia sempat duduk, sebuah tangan tiba-tiba menahan lengannya.Brayen menoleh cepat. Tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Zalleon.“Aku akan duduk di sini,” ucap Zalleon pelan, tapi penuh tekanan.Brayen langsung menarik lengannya dari genggaman Zalleon secara kasar. Wajahnya mengeras. “Apa-apaan kau ini?” gerutunya kesal.Zalleon tidak menjawab. Tatapannya semakin tajam, menusuk, seolah sedang menahan ledakan emosi dalam dirinya.Brayen balas menatap dengan senyum sinis, lalu melipat tangannya. “Aku yang akan duduk di sini,” katanya dengan nada menantang.Sekeja
Perjalanan mereka terasa menyenangkan. Udara sejuk menyapa kulit, membuat suasana jadi damai dan tenang. Zira yang duduk di belakang, sesekali memejamkan mata menikmati angin yang membelai lembut wajahnya. Tak lama kemudian, motor Zalleon berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan arsitektur klasik nan megah—perpustakaan umum kota.Zalleon segera memarkirkan motor. Zira turun lebih dulu dan melepaskan helmnya, lalu menyerahkannya kepada Zalleon.“Nih, Leo,” ucap Zira sambil menyodorkan helm.Zalleon menerima helm itu dengan senyuman manis. Ia pun turun dari motor dan melepaskan helmnya sendiri.“Ayok,” ajaknya.“Yok,” balas Zira singkat.Mereka pun melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Suasana di dalam sungguh indah. Pilar-pilar tinggi berjejer rapi, rak-rak buku menjulang, dan aroma khas kertas tua menyambut mereka. Karena hari itu adalah hari libur, tempat itu ramai oleh siswa dari berbagai sekolah yang ingin belajar untuk
Akhir pekan yang tenang menyambut Zira dengan libur dua hari-Sabtu dan Minggu- yang juga dimanfaatkan untuk persiapan ujian akhir semester. Meski kesempatan itu bisa saja ia gunakan untuk bersantai, Zira memilih duduk di depan buku-bukunya, mencoba fokus belajar. Namun, pikirannya justru terus melayang pada dua sosok yang diam-diam mengisi ruang hatinya.Zalleon... dan Brayen.Tatapan penuh makna antara mereka berdua beberapa hari lalu masih terekam jelas di ingatannya tegang, seolah saling mengenali satu sama lain dalam diam. Ditambah lagi, keduanya bersikeras ingin mengantar Zira pulang di hari yang sama.Zira menatap bukunya yang terbuka, lalu menghela napas. Fokusnya buyar. Lagi-lagi pikirannya berkelana pada dua sosok yang akhir-akhir ini mulai mengisi harinya.Sementara itu, di ruang tamu, Syafiq adik Zira yang sedang asyik bermain game di HP tertawa-tawa sendiri sambil sesekali mengumpat karena hampir kalah. Tiba-tiba, terdengar suara ketuk
Siang itu, cahaya matahari menembus sebagian kaca buram laboratorium, menciptakan pantulan samar di meja-meja eksperimen. Udara di ruangan itu terasa sejuk, bercampur dengan aroma bahan kimia yang khas namun ringan. Suasana cukup tenang, hanya terdengar suara alat tulis yang bergerak dan gumaman pelan siswa-siswi yang sedang mencatat.Zira duduk di meja pojok, memperhatikan penjelasan guru sambil mencatat dengan rapi di buku catatannya. Wajahnya terlihat serius, tapi ada sedikit gurat lelah di matanya mungkin karena pelajaran hari ini cukup padat. Di sampingnya, beberapa teman mulai terlihat gelisah, menunggu waktu istirahat tiba.beberapa jam kemudian, bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat telah tiba. Zira berjalan pelan keluar dari lab, membawa buku catatan dan satu buku pelajaran. Ia menuju loker sebentar, lalu langsung ke arah perpustakaan.Di depan pintu, sosok yang sudah ia duga berdiri sambil bersandar pada dinding: Brayen.“Kamu l
Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny