"Aku nggak punya hubungan apa-apa dengan Pak Jacob. Soal hal lainnya, itu urusan pribadi. Aku nggak ingin banyak bicara."Ucapan itu sudah cukup jelas. Sepertinya, Tamara memang pernah menikah. Orang-orang pun saling melirik, cukup terkejut dalam hati.Namun, sebenarnya bisa dimaklumi. Tamara cantik, katanya juga lulusan universitas ternama. Wajar saja kalau ada yang mengejar dan menikah muda.Namun, soal hubungannya dengan Jacob ....Tidak ada yang benar-benar percaya kalau mereka "bersih". Ada yang bilang Jacob sedang mengejar Tamara, ada juga yang bilang mereka diam-diam menjalin hubungan. Tidak ada yang tahu pasti.Gosip dari departemen desain itu awalnya hanya beredar di grup-grup kecil. Namun, karena ada orang yang sengaja menyebarkannya, kabar itu menyebar cepat ke departemen lain. Semua ikut menikmati drama ini.Siang hari, seorang sekretaris datang mengantarkan dokumen untuk Jacob. Sebelum pergi, dia tak tahan untuk bertanya, "Pak Jacob suka sama Tamara dari departemen desain
"Diam! Kenapa kamu juga ikut-ikutan? Kamu sengaja ya? Mau aku pecat kamu sekarang juga?" Carlos langsung mengamuk dan menutup telepon dengan marah.Di seberang sana, Ihsan menatap ponselnya. 'Istrimu hilang karena ulahmu sendiri dan kamu baru sadar sekarang? Marah-marah juga nggak ada gunanya, istrimu sudah pergi!'Saat ini, di pinggir jalan dekat gedung perkantoran.Semakin lama menunggu, Carlos semakin sadar bahwa hari ini dia tidak akan bisa melihat Tamara. Meskipun demikian, dia tetap bertahan hingga pukul 10 malam baru pulang.Tepat setelah mobilnya berbalik arah dan pergi, dari pintu utama gedung muncul seorang wanita. Wanita itu berjalan menuju stasiun MRT.Tamara menatap ponselnya. Besok hari terakhir kerja sebelum akhir pekan. Dia bisa bebas dua hari tanpa perlu khawatir bertemu Carlos.Namun, terus bersembunyi seperti ini juga bukan solusi. Dia hanya berharap Carlos tidak lagi nekat mencarinya seperti orang gila.Dalam benaknya, terbayang lagi suara gila pria itu saat menelep
Carlos tidak bisa menerima bahwa Tamara mengatakan tidak pernah menyukainya. Semua yang terjadi dalam dua tahun ini, senyumannya di akta nikah, semua itu bisa menjadi bukti!"Kamu pasti sudah suka sama orang lain ya? Pasti begitu, 'kan?" Carlos tak bisa memikirkan alasan lain, ini kemungkinan paling masuk akal baginya."Siapa laki-laki itu? Kakak kelasmu itu ya? Kapan kamu mulai main belakang sama dia?" seru Carlos yang amarahnya meledak-ledak karena cemburu.Namun, begitu mengingat bahwa dirinya sendiri juga sempat menjalin hubungan ambigu dengan Verona dan telah menyakiti Tamara karena itu, dia langsung merasa dirinya tidak punya hak untuk marah ataupun menuduh."Kalau sekarang kamu putus hubungan sama dia, aku nggak bakal keberatan," kata Carlos sambil menahan diri dan menekan emosinya. "Sekarang kita impas, jadi nggak usah saling menyalahkan. Kamu di mana sekarang? Biar aku jemput."Tamara mendengarkan ocehan Carlos yang seperti anjing gila yang menggonggong. Dia sungguh kehabisan
"Kekerasan emosional, hinaan verbal, memperlakukanku seperti pembantu, menyuruh-nyuruh seenaknya.""Aku sudah cukup merendahkan diri. Di depanmu, bahkan harga diriku sebagai manusia saja diinjak-injak. Tapi kamu? Kamu masih merasa itu kurang sampai ingin aku mati."Mendengar kata-kata dingin dan penuh ketegasan dari Tamara, Carlos bergumam pelan untuk membantah, "Nggak, bukan begitu. Aku nggak pernah berpikir seperti itu ....""Kamu masih bisa ngomong begitu? Benar juga. Memang dari dulu kamu arogan, cuma percaya pada apa yang kamu yakini. Bahkan kalau sampai aku mati karenamu, kamu pasti tetap bilang aku bunuh diri," sindir Tamara."Aku nggak begitu! Aku nggak pernah mau menyakitimu!" Carlos berteriak dengan keras."Kalau maksudmu kejadian waktu aku dorong kamu sampai tulangmu retak, aku minta maaf. Kita bisa bicara baik-baik. Aku juga nggak akan minta kamu cuci atau masak lagi. Kamu tinggal di rumah saja ....""Kamu pikir aku masih mau balik ke rumah itu?" Tamara langsung menyela den
Tamara mengeluarkan ponselnya untuk melihat pesan. Waktu itu dia sempat menanyakan nomor petugas keamanan ke Ihsan, tetapi tidak bilang untuk apa. Saat ditanya balik, dia pun belum sempat membalas.Tamara datang sangat pagi, bahkan sengaja lebih awal satu jam lebih awal hanya demi menghindari Carlos. Kini, dia hanya bisa menghela napas dalam hati.Selama jam kerja pagi itu, selain urusan pekerjaan, hal yang dipikirkan Tamara hanyalah bagaimana caranya agar Carlos tidak bisa menemukannya.Dia belum siap untuk menceritakan semuanya ke Jacob, apalagi baru beberapa hari masuk kerja. Dia tidak ingin urusan pribadinya menjadi pembicaraan di mana-mana.Tamara sudah cukup stres, sekarang ditambah anggota timnya tidak mau bekerja sama, membuat proyek tidak bisa berjalan. Akhirnya, Tamara langsung mengadakan rapat kecil untuk mendisiplinkan mereka."Aku tahu beberapa dari kalian nggak terima aku jadi ketua tim. Kalian merasa aku orang baru dan punya koneksi dalam. Tapi, aku cuma ketua sementara
Di dalam mobil di pinggir jalan, Carlos memandangi pintu masuk gedung perkantoran sambil menggenggam erat setir dengan tangan kirinya. Dia bertanya dengan nada geram, "Siapa yang melapor?""Orangnya nggak kasih tahu nama, aku juga nggak tahu," jawab petugas keamanan.Mendengar itu, Carlos menarik napas dalam-dalam, lalu bertanya lagi, "Laki-laki atau perempuan?""Perempuan," jawab petugas."Muda atau tua?""Muda."Mata Carlos langsung membelalak. Dalam hati, dia bergumam, 'Itu pasti Tamara! Kapan wanita itu sadar kalau aku mengawasinya? Kapan dia masuk ke gedung ini tanpa ketahuan? Padahal aku sudah memantau setiap orang yang lewat!'"Bisa kasih aku nomor teleponnya?" tanya Carlos ke petugas keamanan.Permintaan itu membuat petugas itu merasa serbasalah. "Maaf, Pak, itu kurang pantas. Lagian, ini cuma kesalahpahaman dan nggak menimbulkan kerugian besar. Paling cuma sedikit mengganggu kenyamanan Bapak.""Jadi, aku rasa nggak pantas juga kalau harus kasih nomor pribadi seorang wanita ke