"Mas, bisa minta tolong ambilkan foto kami?" Sepasang suami istri dengan kedua anak mereka menghampiri kami guna meminta tolong mengambilkan foto mereka sekeluarga. "Baik, Pak," sahut Erick. Dengan cekatan ia memotret mereka beberapa kali. Erick bahkan bertindak sebagai pengarah gaya. "Terima kasih, Mas. Mau sekalian saya ambilkan foto dengan istri dan anaknya?" Bapak itu menawarkan diri untuk memotret kami bertiga: aku, Erick, dan Ricky. "Eh ...." Aku kaget mendengar ucapannya. "Boleh, Pak. Pakai ponsel saya ya," sahut Erick cepat. Ia menyerahkan ponselnya kepada bapak itu, lalu sejenak meringis padaku. Aku memelototinya sebentar, tapi aku tidak tega untuk menjelaskan kalau kami hanya mantan pasangan. Ya sudah, aku ikuti saja kemauannya, toh cuma berfoto. "Satu, dua, tiga." Pria itu beberapa kali mengambil foto kami. "Yang mesra dong, Mas. Dirangkul gitu, istrinya .... Nah, bagus! Sekali lagi ya, satu, dua, tiga." Berkat pengarahan gaya dari si bapak, Erick berhasil melancarkan
Menghadapi pria-pria penggoda bagiku sudah tidak mengganggu lagi. Cuekin sajalah intinya. Dan berurusan dengan dua pria pengejar hatiku, mantan suami dan tetanggaku, juga sudah membuatku terbiasa. Mereka berdua memang kadang masih nyebelin, tapi tidak ada lagi ribut atau persaingan sengit. Entah perjanjian apa yang sudah mereka buat, kemungkinan sudah ada kesepakatan di antara keduanya untuk bersaing secara sehat dan tidak saling menjatuhkan. Nggak ada yang mau ngaku kalau aku tanyain. Ah, biarin saja mereka! Selain kedua jenis pria ini, yang serius atau yang sekadar menggoda, aku menemukan satu jenis lain yang sedikit unik.Di suatu malam seorang pria muda dan tampan menemuiku. "Selamat malam, Velove," sapanya dengan seulas senyum di wajahnya. Penampilannya trendi, dan wajahnya tampak dandy khas pria metroseksual.Bukan berarti aku melihatnya dengan make-up mencolok seperti anggota-anggota boyband Korea yang mau tampil di panggung, tapi tampak jelas kalau ia merawat wajah dan tubuhn
Tidak butuh waktu lama bagi Charlie untuk mendapatkan kepercayaanku. Dalam pikiranku selama ini Charlie yang selalu sopan itu lelaki yang baik. Pria itu masih suka memberikan hadiah kecil setelah aku tampil. Ia juga sering menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang, namun untuk yang satu ini aku lebih memilih untuk menolak. Erick dan Mas Vincent saja sampai saat ini masih belum aku beri kesempatan untuk itu, apalagi Charlie. Lalu suatu malam job menyanyiku selesai lebih awal, Charlie datang menemuiku. "Hai, penyanyi kesayangan Charlie," sapanya riang. Seperti biasanya penampilan Charlie tidak pernah gagal, selalu memesona. "Hahaha. Hai, Charlie. Masih di sini?" sahutku sembari mengemasi barang-barangku yang tak seberapa. "Masih dong, aku menantimu supaya kita bisa pulang bareng. Boleh kan? Mumpung belum terlalu malam." Lagi-lagi pria itu meminta sambil memasang muka memohon dengan wajah tampannya. "Hehe. Boleh deh, aku juga belum pesan ojol kok. Sekarang saja ya, biar nggak kema
"Sudah, tenanglah, Velove. Ada aku di sini, jangan takut lagi." Pria itu terus berupaya menenangkanku, membiarkan aku menangis di dadanya, sambil sesekali mengusap kepalaku dengan penuh kelembutan. Sikapnya seperti seorang bapak yang menenangkan anak perempuannya. Setelah mengalami kejadian naas dengan Charlie tadi, aku hanya bisa syok dan terdiam. Di depan para polisi pun aku tak bisa menangis. Namun, ketika tetangga yang aku sayangi ini datang, aku merasa diriku sangat lemah, dan butuh dilindungi, hingga akhirnya aku mencurahkan seluruh air mataku kepadanya. Memang, orang yang berhasil dihubungi oleh pak polisi tadi adalah tetanggaku, entah bagaimana ceritanya bisa begitu. Barang kali Mas Vincent mengirimiku pesan karena aku belum juga pulang. Walau tidak bisa menjemputku, pria itu selalu memastikan aku pulang dengan selamat. "Sepertinya istri Bapak mengalami pelecehan seksual," ujar salah satu polisi itu kepada Mas Vincent sewaktu tangisanku mulai mereda. Cukup lama juga aku mena
"Turunkan aku, Mas," desakku dengan suara bernada keras. Kami sudah sampai di depan rumahku di lantai dua. Tadinya aku bilang pada Mas Vincent untuk membiarkan aku naik tangga sendiri. Kasihan kan kalau dia harus menggendongku sampai ke lantai dua. "Mas, aku jalan sendiri saja. Kasihan Mas Vincent kalau gendong aku terus, aku berat, Mas," ucapku memintanya untuk tidak bersikap berlebihan lagi. Apa coba katanya? "Kamu berat? Enggak ah, badanmu tuh ringan, seringan badan Ricky. Kalau harus membawa kamu sampai lantai lima pun aku sanggup," sahutnya, lalu dengan santai membawaku berputar seperti orang yang menari. "Udah kayak pengantin baru saja ya kita ini," kekehnya. Edan memang nih orang! Pingin aku timpuk rasanya, tapi kok sayang? Eh, maksudku sayang kalau sampai dia jatuh, nanti aku ikutan jatuh, gitu. Terus apa tadi katanya, bobotku seringan Ricky? Aku disamain dengan bocah umur tiga tahun? Dia pikir tulangku terbuat dari apa? Daun bambu? Ampun deh! Yang lebih edan lagi, setel
Katanya kita bisa melihat wajah jujur seseorang ketika ia sedang tertidur. Tidak ada kepura-puraan atau rekayasa di sana. Sama halnya yang aku lihat saat ini, wajah jujur Mas Vincent yang masih tidur di ruang depan rumahku. Rupanya setelah aku tertidur ia memilih tidur di situ ketimbang pulang ke rumahnya. Pria ini bahkan hanya tidur di atas tikar piknik yang biasa dipakai Ricky saat bermain. Iba rasanya hatiku. Aku mengamati pria yang selalu tenang dan suka bercanda itu. Wajahnya tampak damai, namun tampak sedikit tanda kelelahan. Entah jam berapa dia tidur semalam, ia pasti capek karena kejadian semalam. Ah, betapa banyak hutang budi yang aku miliki kepadanya. Dan di lubuk hatiku yang terdalam aku semakin sadar betapa aku masih membutuhkan sosok seorang pria, dan khususnya pria itu adalah Vincent. Maksudku, setidaknya pria seperti dialah yang mampu menopang aku dan anakku. Entah berapa lama aku terdiam menatapnya, sampai akhirnya tetanggaku itu terbangun dan membuka matanya. Bebe
"Pffft ... hahahaha!" Sehabis mengucapkan kalimat sayang dengan begitu serius, bisa-bisanya Mas Vincent tertawa begitu? "Kenapa ketawa, Mas? Ada yang lucu?" tanyaku keheranan. "Mukamu yang lucu, seperti anak gadis yang diajak menikah oleh kekasihnya. Diterima atau diterima ya? Hihihi," kekehnya menggodaku. Hadeuh! Perbandingan macam apa itu? Aku kan bukan anak gadis lagi, dan Mas Vincent bukan kekasihku. Namun, tak pelak aku tersipu akibat ucapannya. Berpikir bahwa seseorang yang istimewa menyukaimu bisa menimbulkan perasaan campur aduk di dalam diri, tetapi mendengar langsung pertanyaan sayangnya nggak cuma bikin campur aduk, tapi juga membuat jantungmu jungkir balik, senam aerobik sampai zumba keliling Asia. "Aku ke sebelah dulu ya, kamu makan gih, mumpung masih hangat," pamitnya tak melanjutkan ungkapannya yang begitu serius tadi. Nah, sekarang malah mau pergi begitu saja. Nggak ingin dengar jawaban dariku kah? Aneh bener ini orang! "Mas ...," panggilku menghentikan langkahny
Setelah panggilan suara dengan Mbak Sasha berakhir, tak henti-henti notifikasi ponselku berbunyi, entah itu pesan atau telepon dari teman kerja yang lain yang menanyakan kondisiku. "Velove, aku jenguk ya," ucap Mbak Jeje dengan suara bernada prihatin. "Nggak usah, Mbak, udah sore, nanti Mbak masih harus ke kafe, rumah Mbak Jeje kan jauh," cegahku, tak ingin merepotkan temanku itu. Wanita itu terdengar mendengus kecewa, namun tak lama kemudian ia langsung mengatakan, "Ya sudahlah, aku kirim makanan buat kamu dan Ricky saja ya." "Jangan repot, Mbak ...." "Jangan ditolak!" tegasnya tak menerima kompromi. Ya sudah, aku terima deh, namanya juga rezeki, masa ditolak? Mbak Jeje tulus ingin berbagi denganku, tak mungkin aku terus menolak. Dan rupanya yang mengirimi aku makanan bukan hanya Mbak Jeje, teman-teman yang lain, termasuk bosku juga ikutan delivery makanan. Pak Benny malahan sampai meminta tolong si tukang antar makanan untuk memberikan uang tunai padaku. "Loh, Mas, ini kok mal