"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Maafkan aku, Love. Aku memang salah. Aku menyesal." Suara Erick terdengar begitu pilu, ia mengiba, memohon-mohon, bahkan berlutut di hadapanku. Raut wajahnya menggambarkan penyesalan yang dalam. "Aku sudah memaafkan kamu." Aku menanggapinya setengah hati, berharap kalimat yang ku ucapkan itu segera mengusirnya dari sini. Tergambar perasaan lega dan senang di wajah tampan yang pernah membuatku tergila-gila itu. "Terima kasih, Cinta. Aku berjanji ...." "Aku memaafkan kamu, bukan menerimamu kembali," tukasku dengan nada yang semakin dingin. Erick tampak kecewa. Wajah yang sempat ceria kini mendung lagi. "Aku tahu aku salah, tapi waktu itu aku terpaksa ...." "Terpaksa??? Dengan penuh gairah kau mencumbu wanita itu di depan mataku, kau bilang itu terpaksa?" seruku gusar. "Aku masih mengingat dengan jelas hari itu. Perlu kamu ketahui, aku belum dementia." Aku berupaya untuk tidak murka, apalagi menangis di hadapan Erick. 'Waktu untuk menangis dan berkabung atas pengkhianatanmu sudah
[Lima tahun sebelumnya] "Guys, tahu nggak tadi aku sempat lihat ada murid baru, cowok, di ruang guru gitu, gantengnya ngalahin Aliando Syarief. Terus usut punya usut nih, Detektif Nina dapat info kalau itu cowok cakep bakalan masuk ke kelas kita." Suasana kelas pagi ini hingar bingar bersaing dengan ramainya terminal angkot yang ada di seberang sekolahan. Maklum sekarang sudah jam pelajaran, namun Bu Cicil, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas kami, yang mengajar di jam pertama ini belum hadir. Dan Nina si tukang gosip telah memulai acara gibahannya. "Beneran ada cogan gituh?" Sandra yang duduk di samping Nina terpekik girang. Mereka berdua kompak cekikikan, dan melakukan toss dengan dua tangan berkali-kali. "Salah dengar kali loe, Nin. Masa iya ada murid baru pindah ke kelas tiga? Tanggung banget, udah jalan dua bulan pula kita di tahun ajaran ini," tukasku mencoba menyadarkan mereka dari mabuk cowok. "Idih, dibilangin juga kagak percaya lo," sungut Nina. "Entar kalau elo u
Sejak hari itu Erick mulai mendekati aku. Lelaki itu tidak melewatkan satu kesempatan pun untuk menggangguku, entah melalui senyuman, perkataan hingga perhatian. Aku yang awalnya menilai dia sebagai tukang tebar pesona, tiba-tiba menjadi bodoh dan membiarkannya. Entahlah, senyuman dan tatapannya yang membius itu seolah sudah melumpuhkan akal sehatku. Ada-ada saja kelakuannya. Saat aku sedang fokus belajar, dia meletakkan kepalanya di meja dengan posisi miring menghadap aku. Lantas dia akan memandangiku sambil senyum-senyum nggak jelas. Aku jadi salah tingkah. Kalau kutanya, "Ngapain sih ngelihatin aku terus?" dia akan menjawab, "Karena kamu cantik, Love." Lalu aku tersipu dan semakin salah tingkah. Gila saja, aku yang selalu menjaga diri agar tidak dekat dengan cowok manapun, bahkan sering bersikap ketus jika ada yang mendekati, justru sekarang seperti terkena hipnotis Erick, dan tak mampu menolak rayuannya.Saat awal perkenalan dia memanggilku 'Love', bagian dari namaku itulah yan
"Aku antar kamu pulang," pemuda itu berucap tegas."Tapi ...." "Nggak ada tapi-tapian. Kamu mau ketemu preman lagi kayak tadi?" Kali ini ia menatapku tajam, tak ingin perintahnya ditolak.Ini jelas bukan sebuah permintaan atau penawaran, tapi perintah. Entah bagaimana ceritanya Erick bisa datang menyelamatkanku. Eloknya lagi dia bisa membawa serta dua orang pemuda gagah berseragam tentara bersamanya. Terang saja ketiga preman tadi tidak mampu berkutik. Mereka cuma bisa cengengesan dan menjauh satu langkah dariku."Eh, sorry ye, Tong. Tadi kite cuma ngobrol bentar ame cewek loe, kagak kite apa-apain bener, masih utuh. Hehe," ucap si kepala preman sambil cengengesan. Lalu mereka mundur teratur meninggalkan kami.Erick bisa seheroik itu ternyata. Rasanya kayak aku jadi seorang puteri yang diculik penjahat, terus diselamatkan oleh pangeran tampan berkuda putih. So sweet banget 'kan? Tapi sayangnya aku masih kesal sama dia, jadinya so sweet-nya dianulir saja. Sikapnya menyebalkan: melam
Motor Erick melaju dengan kecepatan sedang membawa kami kembali ke jalanan Jakarta yang ramai. Lenganku memeluk pinggangnya dengan malu-malu. Senyum bahagia merekah di bibirku. Masih ku ingat momen ketika cowok yang telah mencuri hatiku itu menyatakan perasaannya, menceritakan bagaimana ia jatuh hati padaku. Harapan yang sempat kupupus kembali bersemi di hati, merekahkan bunga-bunga cinta dengan begitu indahnya.Erick menatapku dalam, sedangkan aku hanya sanggup berpaling dan menatap gelas berisi air teh di hadapanku. Teh yang tadinya panas sudah mulai mendingin, gantian wajahku yang memanas. "Waktu Bu Cicil bilang aku mesti duduk di sebelah kamu terus aku lihat raut wajahmu yang syok, aku bertekad untuk menjadikan kamu 'target' berikutnya. Lalu aku pasang senyuman mautku dan mengajak kamu berkenalan, berharap kamu akan takluk. Namun setelah aku menatapmu, ternyata aku yang takluk," seringai Erick.Kudengar suara tawanya yang renyah, entah dia menertawakan dirinya sendiri, atau dirik
"Wuhuuuu...! Velove memang paling bisa diandalkan dalam urusan menyanyi, Sodara-sodara." "Yo'i, Nin! Isyana-nya SMA 88 gitu loh!" Kedua sahabatku kompak menyemangati dan memuji penampilanku. Mereka bahkan membawa pom-pom cheerleader, dan berteriak-teriak ketika aku berada di panggung. "Apaan sih, kalian ini?" Aku tersipu mendengar pujian dari mereka berdua. Masa aku disamain sama Isyana Sarasvati yang punya suara merdu nan melengking indah itu? Kan malu kalau sampai ketahuan aku besar kepala. Eh? Teman-teman sekelas yang lain pun ikut menyalamiku. Hari ini hari kelulusan kami. Setiap kelas diminta mengirimkan satu talenta untuk memeriahkan acara, dan aku yang dipilih oleh teman-teman untuk mewakili kelas kami. Mereka masih heboh berceloteh tentang ini itu, tapi satu sosok yang aku cari tidak ada di antara mereka. Mataku mencari di setiap sudut, tetapi tak tampak batang hidungnya. "Ngapain, Vel? Nyariin Jarjit ya?" tanya Sandra yang sudah ikut-ikutan menyematkan nama Jarjit pada p