Karena tak kunjung dapat balasan dari Danang, Ayu pun berinisiatif untuk mendatangi kekasihnya itu ke kantornya dan membawakan sarapan favoritnya, pecel ndeso sajian kuliner khas kota Solo yang berisi nasi merah, sayuran lengkap dengan sambal wijennya. Tak lupa Ayu membawakan tempe mendoan dan peyek kacang sebagai pelengkap.
“Mas … Mas Danang!” panggil Ayu saat melihat kekasih hatinya sudah turun dari mobil sedannya.
Mau tak mau Danang pun berhenti dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Perempuan yang dikasihnya berdiri di sana dengan seragam putih khas rumah sakit yang dibalut cardigan biru muda.
Sebenarnya ia malas untuk bertemu Ayu kali ini, tapi karena ini di kantor dan sudah banyak rekan kerjanya yang datang maka ia pun menemui Ayu.
“Kamu ada apa ke sini?” tanya Danang.
“Aku pengin ngobrol sama Mas,” pinta Ayu.
Setelah mengantarkan gadisnya menuju mobil, Danang pun melangkah dengan lebar-lebar, tak ingin terlambat mengkuti pertemuan pagi, apalagi ia juga belum sempat sarapan.Harus diakui kalau ia memang beruntung mendapatkan kiriman dari Ayu. Danang memang tak pernah sarapan di rumah saat bekerja, demi mengejar waktu. Setidaknya jika sarapan di kantor, ia masih bisa absen lebih awal dan tidak khawatir akan terlambat, meskipun menu yang disajikan itu-itu saja.Danang langsung membawa bekal pemeberian Ayu ke pantry dan menikmati pecel ndeso kesukaannya.“Wuih enake,” gumam Danang mulai menyantap sarapan paginya.“Selamat pagi Pak Danang, kayaknya enak banget tuh,” suara seorang perempuan mengejutkannya.“Pagi Bu Dinda, sarapan dulu Bu,” kata Danang berbasa-basi.Dinda adalah rekan satu divisi dengannya. Sebenarnya dia anak orang ka
Ayu mengangguk hormat dan melemparkan senyum pada seorang wanita yang nyaris berpapasan di rumahnya. Wanita itu begitu anggun dengan gambis berwarna kalem dan beraksen rample batik pada bagian bawahnya. Jilbab yang dikenakan berwarna senada, tanpa aksesoris dan variasi jilbab yang beraneka macam model. Namun kesemuanya tak meninggalkan kesan elegan.Ini pertama kalinya Ayu melihat sosok wanita di hadapannya, dan tentunya ia merasa asing. Namun atas nama kesopanan dan keramahan ia pun menunduk hormat. Apalagi, di belakang wanita ini Ibu dan Budhenya terlihat begitu akrab.“Baru pulang Nduk?” tanya Bu Ratmi.“Njih (Ya) Bu,” jawab Ayu dengan sopan.“Ini kenalin temennya Budhe Ning Bu Lastri, Ibunya Wira,” tunjuk Bu Ratmi.Kemudian wanita paruh baya ini pun melirik ke arah tamunya yang anggun dan mulai membicarakan tentang Ayu putrinya.&nbs
“Yu, sini sebentar!” panggil Ibunya yang tengah menikmati sajian teh kental khas kota Solo.Hampir saja perempuan ini melengos saat Ibunya memanggil. Seakan ia sudah tahu apa yang akan disampaikan oleh Ibunya kali ini, apalagi kalau bukan masalah perjodohannya dengan lelaki pilihan ibunya.“Njih Bu, wonten napa (Iya, Bu ada apa)?” tanya Ayu dengan sopan.Walaupun ia sudah menduga kemana arah pembicaraan mereka kali ini, tapi Ayu tetap berusaha untuk bersikap sopan, dan berharap dugaannya salah.“Duduk dulu Yu,” kata Ibu memintanya untuk mengambil tempat berseberangan dengannya.Bu Ratmi pun menoleh dan mengangguk pada kakaknya. Wanita paruh baya ini sengaja memberi kesempatan pada kakaknya untuk menyampaikan sesuatu yang sepertinya tidak perlu untuk ditunda-tunda lagi.“Yu, Bu Lastri tadi bilang sama Budhe dan Ibumu,
Dengan sabar dan telaten, Danang membantu Dinda untuk memberikan solusi. Rekan kerjanya belum juga mencapai setengah dari target bulanannya.“Hmmm jadi begitu ya Bu Dinda,” kata Danang sambil mengangguk-angguk setelah mendengarkan cerita bagaimana Bu Dinda menawarkan produk investasi dari bank tempat mereka bekerja.“Mmm cara saya salah ya Pak?” tanya Bu Dinda sambil menunduk menyembunyikan wajahnya.Tampaknya Dinda malu setelah menceritakan caranya yang menggunakan metode hard selling yang tentunya akan membuat calon nasabah kabur. Sembenarnya bukan ia tak mengerti tentang soft selling yang sekarang sangat ideal digunakan oleh para sales, tapi inilah cara agar ia bisa berdekatan dengan Danang.“Oh nggak … nggak kok,” balas Danang sambil melayangkan tangan di udara.“Oh, tapi kenapa susah banget buat closing ya? Padahal ya aduh gim
Ekspresi canggung tak dapat disembunyikan oleh Danang saat harus duduk berdua dengan Dinda, rekan sekerjanya. Pemuda berkulit sawo matang itu makan dengan cepat dan berharap agar bisa segera selesai dan pulang ke rumah. Berbeda dengan Dinda, momen ini justru dirasanya begitu istimewa. Sepertinya ia mengambil kesempatan untuk bisa berlama-lama dengan rekan sekerjanya ini. Uhuk! Danang terbatuk lantaran ia makan dengan cepat, seperti tidak sempat mengunyah. Buru-buru Dinda membuka tutup botol air mineral milik Danang dan memberikannya pada lelaki itu. “Minum dulu Pak, kayaknya keburu banget. Emang ada apaan sih?” tanya Dinda mulai mencoba menarik perhatiannya. “Aduh alasan apa ya, nggak mungkin juga aku ngomong yang sebenarnya,” batin Danang. “Nggak,” jawab Danang. “Atau Bapak tidak nyaman ngobrol dengan saya? Memangnya saya salah ya Pak ngajak Bapa
Belum genap lima menit Danang menyelonjorkan kakinya setelah berlari mengitari stadion Manahan, ia pun langsung bangkit. Kali ini tujuannya bukan berlari untuk menjaga kebugarannya, tapi seorang perempuan bertopi merah muda yang baru saja melewatinya.Perempuan itu Ayu, yang sejak semalam selalu menolak setiap panggilan telepon darinya. Pesan Ayu yang membatalkan acara makan malam benar-benar berhasil mengusik pikirannya. Ia tak hentinya memikirkan apa yang dialami Ayu setelah mereka tahu kalau tujuannya keluar rumah adalah untuk bertemu dirinya.Sebagai seorang laki-laki, tentunya ia harus berani menghadapi, dan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi pada Ayu. Apalagi hubungan diam-diam ini memang melibatkan dirinya.“Ayu … Ayu!” teriak Danang yang mulai menambah kecepatan berlarinya agar bisa menjejeri gadis pujaannya.Ayu menoleh sejenak, dan kembali berkonsentrasi pada aktivita
Danang tak berkata apa-apa lagi menanggapi ucapan kekasihnya. Ia hanya menyentuh tangan Ayu dan mengusapnya perlahan.“Iya Mas ngerti, entahlah,” jawab Danang kemudian menyiram wajahnya dengan air dalam minuman kemasannya.“Maaf ya Mas, aku sudah berusaha menolak, tapi Mas tahu sendiri kan?”Danang hanya mendengkus, “Ya Mas ngerti. Kamu masuk siang kan?” tanya Danang berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.“Iya Mas.”“Ya udah, kalau gitu mending kita pulang aja sekarang daripada orang tuamu nyari lagi.”Ayu langsung menggenggam lengan Danang erat, dan menahan laki-laki itu untuk beranjak menjauh darinya. Danang pun berbalik dan mengusap rambut perempuan yang selama ini selalu menemaninya itu.“Semua terserah kamu Yu. Coba saja turuti apa kata orang tuamu, temui saja lelaki
Sesekali Wira menunduk atau menoleh ke arah jendela di ruang tamu kediaman Bu Ratmi. Pemuda ini sebenarnya malas untuk ikut kedua orang tuanya mengunjungi rumah kawan mereka, terlebih untuk sebuah acara yang bertajuk perjodohan. Wira mengamati keadaan sekeliling, rumah ini masih kental dengan nuansa Jawa, dominasi kayu jati, atap joglo, perabot ukiran dan juga pintu yang rendah dan membuat tamu harus menunduk saat masuk. Menurut tradisi, pintu yang dibuat rendah mengandung filosofi agar tamu menghormati Tuan Rumah dengan cara menunduk ketika memasuki rumah. Keadaan rumah seperti ini memang bertolak belakang dengan Wira yang berjiwa modern. Wira yang terbiasa berplesiran ke kota besar bahkan luar negeri memang memiliki gaya hidup yang modern, dan tentunya rumah tinggal Ayu terkesan janggal baginya. “Huh jaman sekarang masih aja ada yang tinggal di rumah dengan dekor seperti ini. Kalau dari keluarga kurang mampu sih