Share

Adegan dalam Bayangan

Seorang pria berpakaian serba hitam berjalan tergesa memasuki rumah dengan nuansa serba putih.

Langkahnya berhenti. Menunduk punggung hormat. "Bos," sapanya.

"Ada laporan, Bos. Ada mayat dari pinggir hutan Aokigahara." Dia berkata di hadapan pria yang sedang duduk termangu.

Kepala si bos terangkat. "Mayat? Bunuh diri?" Sebelah alisnya naik ke atas.

Dalam bulan ini bukan berita kematian pertama kali. Bunuh membunuh di dunianya pun seperti santapan sehari-sehari.

Si pembawa laporan hanya diam menunduk.

"Siapa?" tanya si bos.

"Keiko, Bos."

Pikiran pria yang dipanggil bos itu langsung mengarah ke seseorang yang beberapa hari lalu dia lihat mendatangi gadisnya di Honesty Bar. Ada yang membereskan untuknya. Atau mungkin menghadirkan masalah?

"Bagaimana dengan kepolisian?" tanyanya masih tanpa ekspresi.

Nakamoto Yamashita. Bos dari sindikat Naka yang tak pernah menunjukkan wajahnya. Orang-orang hanya tahu bahwa Bos Naka adalah pria yang berbahaya. Menakutkan.

"Sudah dilaporkan. 30 menit paling cepat, polisi akan sampai ke tempat kejadian," jawab si pelapor.

Adalah Kime, pria usia 27 tahun yang menjadi kepercayaan Bos Naka. Bisa dianggap tangan kanannya si bos.

"Bagaimana barang yang akan dikirim pagi ini?" Lagi, si bos bertanya.

"Sudah ada laporan jalur diubah, Bos. Siang ini tetap akan sampai ke sana."

Bos Naka mangut-mangut. Kaki kanan yang berpangku di paha kirinya dia turunkan. Beranjak dari kursi kebesarannya, bersiap untuk berangkat kerja.

***

Di lain tempat. Seorang gadis tengah berpangku dagu menatap wajahnya dari pantulan cermin.

Pada meja kecil di sebelah tempat tidur ponselnya berdering. Bergerak kecil karena adanya getaran.

"Halo, ada apa?" tanyanya. Gadis muda dengan surai panjang lurus berwarna hitam itu mengambil tempat duduk di sisi kasur.

"Halo, saya dari kepolisian distrik Harajuku. Bisa bicara dengan Nona Takara Airi," ucap suara serak basah khas pria tampan.

"Iya, ini Takara Airi," jawab si gadis.

"Baik Nona, saya ingin mengajukan pertanyaan terkait mayat dengan identitas Keiko Kenji Kitagawa."

"Mayat?" Mata gadis ini membulat sempurna. Keiko adalah teman kencan butanya 3 malam lalu. Si pria brengsek yang berani menyentuh bokongnya di pertemuan pertama.

"Ya, bisa Nona Takara tolong ceritakan dengan detailnya kepada saya, apa yang terjadi terakhir kali."

"Apa yang harus di ceritakan?" Airi berucap lirih.

"Dari rekaman CCTV yang ada sepanjang jalan sampai tempat di mana tuan Keiko meninggal, Tuan Keiko hanya pernah bertengkar dengan Anda, Nona Takara. Juga melalui telepon selulernya, hanya ada Nona Takara yang sebagai orang terakhir yang dihubungi."

"Astaga!" Airi memekik dalam hatinya.

Mau tidak mau menjelaskan kejadian semalam sejak kedatangannya ke Honesty Bar. Tidak ada interaksi setelah Airi melakukan tendangan mautnya.

"Baik, terima kasih karena telah memberi tahu kami, Nona. Apa bisa Nona ikut dengan kami untuk memastikan jika mayat yang dilaporkan adalah Tuan Keiko?"

"Ya, tidak masalah."

"Baik, tim kami akan menjemput. Nona saat ini sedang di mana?"

"Kafetaria, depan gerbang belakang Masahiro University."

"Baik, sampai jumpa Nona."

"Sampai jumpa."

Tubuhnya merosot ke lantai. Tulang-tulang kaki seolah hilang dari tempatnya. Dia harus segera turun untuk berlari menuju kafetaria yang disebutkan.

Masih dengan napas yang tersengal-sengal, Airi memesan satu minuman dingin. Segera meneguknya begitu selesai membayar. Tidak perlu waktu lama dari itu, dia mendapatkan mobil sedan berwarna hitam parkir di depan kafetaria dengan bangunan estetik perpaduan abu dan silver-nya.

Drrt ....

Airi segera menggeser ikon di ponselnya untuk menyambungkan panggilan. Langkah kaki dia bawa menuju pria dengan tubuh tegap di depan sana.

"Ya, aku Takara Airi," ucapnya menundukkan pandangan seraya memberi hormat. Lantas memutuskan sambungan telepon.

Keduanya bersalaman. Kemudian masuk ke mobil untuk menyusul mobil lain yang sudah lebih dulu berangkat ke tempat kejadian perkara.

Kurang dari tiga puluh menit perjalanan berlangsung. Keduanya sampai ke sebuah hutan. Sudah banyak orang berseragam polisi, dan beberapa lainnya yang Airi duga sebagai orang penting juga untuk kasus kematian Keiko.

'Kenapa jadi berhubungan dengan kepolisian?' Airi mengeluh dalam hatinya.

Sebelum keluar dari mobil Airi diberikan tanda pengenal. Bernamakan sebuah pos kepolisan di kota Tokyo.

Airi ikut melepaskan seatbelt-nya. Segera turun. Langkahnya mengikut polisi berlisensi dengan kaos hitam yang dikenakan.

Sebuah mayat dengan wajah yang hancur tanpa menyisakan warna kulitnya. Banyak luka dan darah dari tubuhnya. Airi mencoba menahan napas saat mendekat ke arah si mayat.

"Ya, dia Keiko." Jari telunjuk Airi mengarah ke tato berbentuk salib di dada bagian kiri mayat itu.

'Aku gak kuat lagi.' Airi segera berlari agak menjauh dari kerumunan.

"Howeek." Suara yang lumayan keras masih mampu membuat banyak pasang mata menoleh. Namun dia tidak memedulikan kata orang.

Airi lebih memikirkan rasa yang bercampur-campur di tenggorokannya.

"Silakan Nona," kata seseorang seraya menyodorkan minuman kemasan yang sudah dibukakan.

Airi langsung meneguknya. "Terima kasih," ucapnya selepas menghabiskan sampai setengah isi dari botol itu.

Saat memutarkan tubuhnya menghadap ke si pemilik air yang sudah dia minum, Airi terkejut saat menatap model kacamata yang dikenakan pria itu. Ada perasaan familiar; seperti pernah bertemu.

"Ada apa Nona?" Pria itu menoleh.

Percikan senyum terbit dari bibir kecil si pria. Pandangan mata tertuju pada air yang menetes dari sisi bibir si gadis karena terbuka sedikit, kemudian mengusapkannya menggunakan sapu tangan, yang baru saja dikeluarkan dari saku jaket yang dikenakan.

"Wanita harus selalu cantik," ucapnya.

Detik itu juga berhasil membuat Airi mengatupkan bibir.

"Terima kasih," ujar Airi dengan wajah memerah karena malu.

Tangannya bergerak cepat mengambil alih sapu tangan si pria. Mengusap sendiri air liur yang keluar tanpa diminta. Airi menunduk dan merutuki dirinya.

"Tuan." Airi mendongak. Menelan salivanya agar air liurnya tak jatuh dengan bebas lagi.

"Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya Airi, memberanikan diri seraya menjeda rasa malu.

"Hem, iya?" Si pria ini mengambil langkah maju perlahan, membuat Airi membulatkan kedua bola matanya seraya bergerak mundur.

Waktu seakan melambat, berbanding terbalik dengan degupan jantung Airi yang kecepatannya kian naik.

Bruk.

Tubuh Airi sampai pada sebuah pohon besar. Terkunci. Tersisa sedikit jarak di antara mereka. Airi menahan napasnya. Gugup menghampiri. 'Bisa-kah ..., terjadi?' batinnya, membayangkan suatu adegan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status