Menginjak tahun ketiga kuliah kedokteran ini, Panji kian disibukkan dengan kegiatan persiapan Program Profesi Dokter atau biasa disebut dengan koas.
"Jadi, ini kamu koas di Bandung, Yank?" tanya Amanda, setelah mendapat kabar itu dari Panji. Bandung memang tidak terlalu jauh. Tetapi namanya berjauhan, apalagi ini dalam waktu yang lama, akan menyebabkan kerinduan panjang.
"Koasnya memang dua tahun, pindah-pindah, tapi selama bisa pulang ke sini, aku pasti pulang." Panji coba menghibur kekasihnya.
"Aku bukannya gak ingin kamu koas, tapi, aku bakalan kangen banget sama kamu, Yank." Amanda mengungkapkan perasaannya.
"Iya, aku tahu. Aku juga pasti kangen banget sama kamu." Ia mengusap kepala Amanda, yang lantas memeluknya. "Kok mendadak jadi manja begini?" candanya.
"Kapan lagi bisa meluk kamu, kalo bukan sekarang-sekarang ini?" sahut Amanda, membulatkan suaranya.
Panji pun mendekapnya erat.
Minggu itu, Panji pun berangkat koas di Bandung. Di sana, program profesi dokternya akan berlangsung selama tiga bulan, sebelum dirotasi ke rumah sakit lain, yang bisa saja di kota lain. Ia tidak bisa menentukan sendiri tempat untuk koas ini. Pihak kampus yang melakukannya.
Selama Panji pergi koas, Amandalah yang tinggal di kontrakannya, agar tetap bersih dan berpenghuni. Sesekali, Vero datang dan menginap untuk menemaninya.
Bandung
Sebagai seorang dokter magang yang ganteng, Panji menjadi idola bagi para perawat, dokter magang lain, hingga para pasien. Bahkan ibu-ibu. Kesukaannya bercanda dan melontarkan guyonan juga menjadi penungguan yang spesial bagi mereka semua.
"Dokter Panji, tolong dong, di poli anak, ada anak yang susah banget mau disuntik," kata seorang perawat senior. Nah, yang beginian juga sangat membantu bagi pasien juga dokter atau perawat yang bertugas.
Panji akan datang ke poli anak, dan membujuk si pasien kecil dengan guyonannya, sampai tidak terasa, jarum suntik menusuk kulit si anak, dan anak tersebut tidak merasakan sakit sama sekali, karena sibuk tertawa dan mendengarkan candaan Panji.
Selama magang ini, Panji tinggal di asrama khusus dokter. Kalau sudah malam, dan mau tidur, biasanya ia akan menelepon Amanda. Amanda bisa berada di mana saja di Jakarta ini. Di rumah, kampus, bahkan di lokasi syuting. Mereka berdua akan melakukan panggilan video. Menghabiskan kuota internet semalaman untuk melepas rindu.
"Tadi aku gak sengaja sih, nonton kamu di televisi lobi rumah sakit," kata Panji.
"Bagus gak, akting aku?" tanya Amanda, sambil menyeruput teh jahe hangat.
"Bagus, lah. Lucu juga ceritanya. Pasien-pasien di sini banyak loh, yang ngenalin kamu. Pengen kasih tahu mereka, kalo kamu itu pacar aku, takut dikira fans gila." Panji tertawa.
Amanda pun ikut tertawa. "Kan di HP kamu banyak foto kita berdua, Sayang."
"Nanti dikira editan, gimana?" Panji masih tertawa.
"Suatu hari mereka akan tahu dengan sendirinya, kok," kata Amanda. Mereka berdua memang tidak pernah berniat merahasiakan hubungan ini. Cinta yang indah, tidak perlu disembunyikan, bukan?
Setelah tiga bulan di Bandung, Panji dirotasi untuk koas di Semarang, Solo, bahkan sampai ke kota-kota di Kalimantan. Hanya bisa pulang ke Jakarta, menemui Amanda saat liburan panjang seperti lebaran, atau saat pergantian kota yang akan dituju untuk koas.
Sedangkan Amanda yang biasanya hanya syuting FTV, ketika mendekati masa kuliah semester akhir, ia hanya menerima tawaran main iklan. Dari situlah, pundi-pundi keuangannya sangat baik. Ia berniat ingin punya tempat tinggal sendiri tanpa harus ngontrak. Apalagi, kalau Panji pulang, mereka akan butuh tempat yang lebih luas dan private daripada kontrakan ini. Maka, dapatlah sebuah apartemen dengan beberapa ruangan, yang bisa dijadikan dua kamar tidur. Sisanya untuk ruangan lain.
Awalnya, Puspa meminta Amanda untuk tidak buru-buru tinggal seatap dengan Panji, karena mereka belum menikah. Takut jadi bahan pembicaraan orang, apalagi Amanda sekarang dikenal sebagai selebriti muda pendatang baru. Dibilang naik daun juga belum. Karirnya masih merambah ke ranah kesuksesan.
"Budhe jangan khawatir," kata Amanda, mencoba menenangkan prasangka-prasangka sang budhe. "Aku dan Panji itu tahu batasannya, kok. Lagi pula, setiap Panji pulang, dia itu gak pernah tinggal lebih dari tiga hari, kan? Sayang kalau setiap pulang harus tinggal di hotel. Sayang uangnya."
"Tetep aja, Manda, orang pasti mengira yang tidak-tidak. Kan mereka hanya bisa melihat luarnya."
"Budhe, apartemennya sangat menjaga privasi, kok. Tetangganya juga gak banyak. Jadi, obrolan-obrolan semacam itu gak akan ada. Percaya sama Manda." Amanda masih bersikukuh.
"Yo wis, yang penting kamu tahu cara menjaga diri."
Dua tahun sudah, Panji pergi koas, dan mendekati masa-masa purnanya. Empat bulan terakhir, pihak kampus menginstruksikan, kalau para dokter muda ditugaskan ke kota asal masing-masing. Maka, Panji yang berasal dari Jember, harus magang di salah satu rumah sakit, tempat kelahirannya. Ia memberi tahu Amanda, saat pulang ke Jakarta.
"Ke Jember, yah?" Ekspresi Amanda berbeda, saat pertama kali Panji akan pergi koas ke Bandung dulu.
"Iya," kata Panji. "Kamu mau nitip apa? Suwari-suwir? Prol tape, pia, atau kopi, mungkin?"
"Aku gak nitip apa-apa. Hanya ingin kamu cepet selesaikan itu koas dengan baik. Trus balik lagi ke sisi aku, dan gak pergi-pergi lagi." Amanda merangkul tubuh Panji. Mereka berdua duduk di sofa ruang tengah apartemen. Membiarkan televisi menyala tanpa suara.
Panji tersenyum. "Ya iya, dong. Memangnya kalau gak pulang ke sisi kamu, mau pulang ke mana lagi? Em, malam ini, kita nge-date, yuk."
"Nge-date?" Amanda heran. Tidak biasanya Panji mengajaknya pergi ngedate begini. "Oke."
Malam itu, Panji dan Amanda pergi berkencan. Jalan-jalan di taman dekat Monas, lalu pergi makan malam di sebuah restoran. Kata Panji, dia sudah lama ingin makan di tempat ini. Hanya baru ada waktunya sekarang.
Sebuah restoran dengan masakan khas Perancis, namanya Continue de Manger, milik seorang wanita karir yang sempurna dalam berbisnis, juga berkeluarga. Hanya saja pemiliknya itu lebih sibuk mengurus restoran pastri di Paris, Perancis sana, dan digantikan adiknya.
Panji kenal dengan koki restoran tersebut. Namanya David. Mereka bertemu, ketika Panji dan Amanda baru duduk, dan hendak memesan makanan. David datang menyapa.
"Panji! Lama ya gak ketemu?" sapa David.
"Lagi koas di luar kota. Baru bisa pulang ini." Panji menyapa balik dengan ramah.
David melihat pria itu tidak sendirian. "Wah, selama kuliah, gue gak pernah lihat Panji sama cewek mana pun. Tahu-tahu, bahwa bidadari."
Amanda tersenyum. Mendengar keterangan David, sudah membuktikan kalau Panji tidak pernah macam-macam dengan perempuan lain di kampus.
"Kenalin, cewek gue, namanya Amanda," kata Panji.
David dan Amanda pun bersalaman. "Gue kenalin cewek gue juga, bentar gue panggilin. Zizi!" Rupanya, pacarnya David adalah adik pemilik restoran ini. Namanya Zivara, biasa dipanggil Zizi.
"Loh, gue kayak pernah lihat dia di mana, gitu, Beb," kata Zivara pada David.
"Di mana, emang?" David bertanya.
Amanda dan Panji hanya tersenyum-senyum melihat reaksi Zivara, yang mungkin saja sering menonton FTV.
"Bentar, bentar..." Zivara coba mengingat-ingatnya. "Lo itu bukannya yang sering main FTV, ya?"
"Kamu salah lihat, kali!" Bertepatan dengan David bilang begitu, muncullah iklan yang dibintangi Amanda di televisi restoran itu. Ia melongo. "Weh, gila, Panji! Diem-diem menghanyutkan. Dia ini anaknya diem kalo di kampus. Gak pernah kelihatan jalan sama cewek, gak tahunya, pacarnya artis, ya!"
Panji dan Amanda membenarkan itu.
Malam itu, sebagai tanda persahabatan yang baik, David yang menjamu mereka berdua di restoran itu.
Eh, diam-diam, Panji masuk ke dapur, mencari David, ingin minta bantuan.
Menu-menu makanan pun berdatangan. Makan malam ala-ala bule. Dari appetizer yang berupa Tuna Tartare, dilanjut dengan main course yang menyajikan beef steak.
"Hm, makanan di sini lezat," kata Amanda. Ia sangat menikmatinya.
"David memang jago masak," kata Panji.
Tidak lama kemudian, setelah main course habis, datang menu penutup. Yaitu zabaione, makanan penutup khas Italia yang dibuat dengan kuning telur, gula, dan anggur manis. Zabaione itu diwadahi dengan gelas bening.
Ketika Amanda menyendoknya, ia melihat ada sesuatu bulat di dalamnya. "Ini apa?"
"Apa, Yank?" tanya Panji.
Amanda pun mengambil benda bulat dari dalam zabaione tersebut. Ternyata benda bulat yang terbuat dari cokelat edible itu, bisa dibuka, dan di dalamnya ada sebuah cincin permata. Ia terkejut. Kenapa bisa?
Panji tersenyum melihat wajah kaget Amanda itu. "Manda, Sayang...."
"Ini, kamu yang..." Amanda mau menebaknya.
Panji pun meraih tangan kiri Amanda. "Will you marry me?"
Amanda tidak tahu harus berkata apa. "Tapi, kita masih kuliah, Yank."
"Ya gak hari ini juga," kata Panji. "Tapi intinya aku berharap, kamu mau bersama aku, menjalani seluruh kehidupan ini. Sampai maut memisahkan."
"Aku mau!" jawab Amanda dengan perasaan yang begitu bahagia.
Panji pun memakaikan cincin itu ke jari manisnya. Mereka berdua menjadi pasangan yang sangat berbahagia malam itu.
Akhirnya hubungan remaja mereka naik ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu pertunangan. Walau tidak dihadiri keluarga kedua belah pihak, bukan masalah. Apalagi keluarga Budhe Puspa tahu sifat Panji sehari-harinya seperti apa.
"Panji, pesan Budhe tidak banyak," kata Puspa pada suatu hari ketika pertunangan itu diresmikan dengan makan malam keluarga. Seusai makan, Puspa mengajak Panji bicara empat mata. "Amanda itu sudah tidak punya orang tua. Keluarganya yang tersisa hanya kami. Tapi kamu akan menjadi keluarga intinya. Orang paling penting di dalam hidupnya. Budhe berharap, kamu akan terus mencintai dan menjaga Amanda dengan baik."
Panji pun berkata, "Budhe, saya sangat menyayangi Amanda, itulah kenapa saya mengikatnya dalam tali pertunangan, berharap hubungan kami akan terus langgeng, Saya sangat mencintai Amanda, Budhe."
"Budhe lega mendengarnya. Sekaligus berterima kasih, karena kamu sudah menemani Amanda selama ini." Puspa menepuk pundak Panji.
Sebagai hadiah pertunangan, Puspa dan Syamsul dan keluarganya menghadiahkan sepatu pasangan untuk mereka berdua. "Dengan sepatu ini, semoga kalian berdua bisa terus melangkah bersama sampai tua, dan hidup bahagia selamanya." Begitu kata Syamsul. Rupanya, ide itu datang dari Vero dan kakaknya Gibran. Mereka sudah tahu ukuran sepatu Amanda dan Panji, lalu menyampaikannya pada ayah dan ibu mereka untuk dibuatkan sepatu khusus. Sebenarnya mereka juga tidak menyangka, kalau Panji dan Amanda bertunangan secepat ini.
"Gue seneng banget lihat kalian bertunangan," kata Vero, sambil memeluk Amanda erat. "Cepetan selesaiin kuliah, kerja yang sukses, trus nikah, deh."
Mereka semua mengamini doa itu.
Seminggu kemudian, Panji pun berangkat ke Jember untuk koas terakhirnya. Ia berencana menikahi Amanda secepatnya. Setelah selesai mengambil sumpah sebagai dokter umum. Rencana indah itu ia simpan rapat-rapat dalam hatinya.
Kereta api memasuki Stasiun Jember di daerah Jemberlor, Patrang. Semua penumpang berangsur turun, termasuk Panji. Ia sudah menelepon adiknya, Pratiwi untuk menjemput. Pulang ke Jember, bagi Panji urusannya bukan hanya mau koas terakhir, tetapi juga ingin berdamai dengan ayahnya, serta mengabarkan soal pertunangannya dengan Amanda. Tampak, seorang gadis berkaos hijau muda dan celana jeans berdiri di depan bangsal kedatangan penumpang. Dialah Pratiwi, adik Panji satu-satunya. Sekarang dia berkuliah di Unej, jurusan ekonomi. Cocoklah, untuk meneruskan perusahaan keluarga. Ia bersama Pak Toha, sopir mereka. "Mas Panji!" panggil Pratiwi, sambil melambaikan tangan. Panji pun menghampirinya. "Udah tadi?" "Barusan aja, kok. Yuk, cepetan pulang!" Pratiwi membantu membawakan tas berisi semacam oleh-oleh gitu. Memasukkannya ke bagasi mobil, berikut dengan tas koper dan tas ranselnya. "Mama bilang, Mas Panji gak boleh mampir-mampir, harus sampai ke rumah." "Lagian yang mau mampir-mampir tuh s
Panji mendapat kabar yang kurang bagus dari Pratiwi. Sebagai dokter, dirinya tahu seberapa parah penyakit yang diidap Padmi, ibunya. Kanker otak, yang sudah naik jadi stadium tiga. Ia segera mengajukan cuti, dan pulang ke Jember. Ia belum sempat memberi tahu Amanda soal ini. Sesampainya di Jember, Panji langsung menemui Padmi di rumah sakit tempatnya di kemoterapi. "Maafin Panji, Ma. Udah bikin Mama marah." Panji memeluk lutut ibunya. "Mama harus sembuh. Panji janji akan menuruti semua keinginan Mama." "Semua?" Padmi memastikan tidak salah dengar. Sepertinya di sinilah Panji mengawali semua kesalahan yang akan ditanggungnya seumur hidup. "Se-semuanya." Panji pasrah, benar-benar menuruti semua keinginan mamanya, termasuk menikahi Selma Hayati, perempuan yang telah dijodohkan dengannya bahkan semenjak mereka belum dilahirkan ke dunia ini. Ia tidak berani memberi tahu Amanda soal ini semua. Ia tidak siap menghadapi kemarahan kekasihnya itu. Ia hanya membiarkan handphone terus berbuny
Amanda segera mendapat pertolongan di ruang UGD. Vero meminta para petugas untuk tidak menceritakan yang terjadi kepada selain yang berhubungan. Yang paling penting adalah harus merahasiakan hal ini dari awak media. Menunggu Amanda ditangani para dokter, Vero menunggu di luar. Datanglah Puspa dan Syamsul. "Gimana kondisi Amanda?" tanya Puspa. Ia sudah tahu apa yang terjadi antara keponakannya dan Panji. "Ma!" Vero menangis, memeluk ibunya. "Kasihan Manda, Ma. Kenapa dia harus mengalami masalah seperti ini, saat karirnya naik, kebahagiaan sudah dalam genggaman tangannya. Kenapa Panji tega melakukan semua ini sama Manda? Salah Manda apa?" "Udah, udah, kamu jangan ikutan down begini. Kita semua harus kuat. Terutama kamu, yang paling dekat sama dia." Puspa menepuk-nepuk pelan punggung Vero, menenangkan anak gadisnya. "Tetap saja, Panji harus memberikan penjelasan pada kita. Kalau pun Amanda gak mau dengar, kita yang mewakili." Begitu kata Syamsul. Sementara itu, Panji tidak tahu haru
Cinta adalah sebuah simbol perasaan yang suci. Siapapun berhak memiliki. Termasuk yang dilarang. Status hubungan Amanda dan Panji memasuki ranah terlarang. Sudah tidak bisa bersatu seperti yang mereka impikan. Tetapi, apakah mereka berdua dapat menerima keputusan takdir? Terutama Panji, tidak! Hari itu, Panji pulang ke rumah kontrakannya, mau mengambil pakaian bersih. Selama Selma masih tinggal di rumahnya, ia lebih memilih tinggal di asrama dokter. Selma menyambutnya. "Mas Panji, kamu sudah pulang? Aku buatkan makan malam, ya?" Perempuan berhijab tengah berusaha melayani suaminya dengan baik. Panji hanya diam, tidak mempedulikannya. Melihat rumah sudah sepi, sepertinya Pratiwi juga sudah pulang ke Jember. Selma sendirian. Selma mengekor di belakangnya, hingga hampir naik ke lantai dua, di mana kamarnya berada. Panji langsung menyuruhnya berhenti mengikuti. "Jangan pernah naik ke atas, di mana kamarku berada!" "Ke-kenapa memangnya, Mas?" tanya Selma. Sepertinya kali ini Panji haru
Setelah beberapa hari rawat inap, dan memastikan Amanda baik-baik saja, Dokter Iqbal mengizinkannya pulang, untuk menjalani rawat jalan di rumah. Dokter Iqbal berpesan berulang kali pada Panji, kalau untuk sementara ini Amanda tidak boleh mengalami tekanan mental dulu. Jangan memberinya masalah-masalah yang berat. "Lo tahu kan, akibatnya apa?""Iya, gue tahu," kata Panji.Hari itu, Panji membawa Amanda pulang ke apartemennya, yang sudah bersih dan rapi, berkat Vero yang mengatur."Yang, aku boleh makan rujak manis, gak?" tanya Amanda."Belum boleh, Sayang," jawab Panji. "Kamu baru keluar dari rumah sakit. Makan yang healthy food dulu gitu. Aku bikinin salad buah aja, ya?""Ya, Pak Dokter. Pasien nurut." Amanda begitu terlihat manja hari ini. Ia membiarkan Panji membantunya berbaring di tempat tidur."Kamu istirahatlah." Panji membetulkan selimut.Amanda menarik tangan Panji. "Yang...""Hm?" Panji menoleh."Jangan tinggalin aku," kata Amanda.Panji pun duduk di sisi tempat tidur. Memeg
Selma meyakini, bahwa apa yang sudah ditetapkan Tuhan, harus ia jaga dan pertahankan, termasuk suami yang tidak mencintainya. Ia percaya, bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha. Saat ini baginya, Panji bagaikan batu yang butuh ditetesi hujan, agar hatinya tersentuh. Maka, sekali lagi ia menemui Panji pada suatu hari di rumah sakit. Ia cukup beruntung karena Panji ada, dan sedang dinas.Panji tampak enggan bicara dengan Selma yang dianggapnya kepala batu. Seperti tidak mengerti bahasa manusia, untuk memahami situasi yang tengah mereka hadapi. Tapi baiklah, ia ingin coba dengar, apa yang mau Selma katakan.Mereka berdua bicara di sebuah kafe, dekat rumah sakit, pas di jam makan siang, sehingga tidak mengganggu pekerjaan Panji sebagai dokter."Kamu bilang, butuh waktu untuk membuat pernikahan ini berjalan cukup lama sampai berakhir dalam perceraian, bukan? Oke, aku setuju." Selma menyeruput teh hangat yang dipesannya.Panji tidak menyangka, Selma akan menyetujui ini. Tapi ia yakin, ti
Pukul sepuluh malam, hari itu.Kamar rumah sakit kelas VIP itu terasa dingin karena embusan udara dari AC. Seorang pria berjas dokter tertidur di sisi ranjang, sambil memegang tangan pasien yang tengah terbaring dengan mata terpejam.Kemudian... "Pan...ji..."Dokter muda itu terbangun. Ia melihat Amanda membuka matanya. "Sayang?""A-aku di mana?" tanya Amanda."Kamu di rumah sakit, Sayang. Tadi pagi kamu pingsan. Litha yang bawa ke sini." Panji menceritakan kejadiannya.Amanda pun teringat. Pagi tadi ia merasakan kepalanya yang sangat sakit. "Sayang, aku sakit apa, sih?" tanyanya."Kamu hanya kecapean dan stress karena pekerjaan," jawab Panji, lagi-lagi berbohong. "Aku bisa mati?" Ia bertanya demikian, karena sakit di kepalanya tadi sangat tidak biasa.Panji tersenyum. Ia lantas memeluk Amanda. "Engga, dong. Kamu pasti akan pulilh kembali, asal, seperti yang biasanya aku bilang, jangan terlalu banyak mikir. Gak boleh stress."Di luar kamar, sebenarnya ada Selma. Ia penasaran karena m
Amanda kembali disibukkan dengan kegiatan keartisannya, sebagai pemain film dan sinetron yang sangat digemari. Sesekali ia menerima tawaran untuk menyanyikan lagu soundtrack film yang dibintanginya. Rupanya ia memiliki suara yang bagus saat bernyanyi. Sehingga datanglah tawaran untuk membuatkannya sebuah single. Hanya saja, Amanda menolak."Aku mana pede nyanyi beneran? Kalau cuma untuk have fun kayak pas nyanyiin soundtrack itu gak masalah," kata Amanda mengemukakan alasannya pada Vero dan Litha."Tapi lo punya suara yang bagus loh, Manda." Vero membujuknya."Jangan, deh. Belum tentu kan, orang bakalan suka. Beda penggemar film, sinetron, dan musik." Amanda masih kekeh menolak."Ya udah deh, terserah lo. Oh ya, besok ini jadwal lo ya, udah gue kirim ke ipad lo. Inget buat bangun pagi, buat siap-siap." Vero selalu menjadi manajer yang luar biasa disiplin. Dan Amanda menjadi artisnya yang setengah penurut.Sementara itu, Panji. Ia memang menjalankan perannya sebagai suami bagi Selma, n