Sebastian tidak memberinya waktu untuk berpikir. Bibirnya langsung menyergap bibir Sienna dalam ciuman yang keras, dalam, mengklaim. Seolah enam tahun penantian dan penyangkalan tumpah dalam satu tarikan napas.Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sienna, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bertubrukan tanpa jarak. Sienna menahan napas, lengannya melingkar pada bahu Sebastian, mencengkeram kerah kemeja yang kini telah terbuka sepenuhnya.Ciuman itu berubah menjadi medan pertempuran. Bukan lagi sekadar rindu, tapi hasrat yang tak pernah sempat padam meski dibenamkan selama bertahun-tahun.Sienna mendorong tubuhnya ke arah Sebastian, balas mencium pria itu dengan napas yang tak terkendali. Jemarinya mencakar punggung Sebastian, menyusuri otot-otot yang menegang di balik kulitnya yang hangat.Pria itu menggeram pelan, lalu menunduk dan menyerang lehernya, menggigitnya dengan tekanan yang nyaris menyakitkan. Sienna terlonjak kecil, tapi tidak menjauh—justru merapat, seolah m
Tubuh Sienna terdorong perlahan ke tepian meja dapur. Botol air yang tadi dipegangnya kini sudah tak jelas di mana, terlupakan begitu bibir Sebastian kembali menekannya dalam ciuman yang jauh lebih dalam dari sebelumnya.Tangan besar Sebastian mengangkat dagu Sienna, memiringkan wajahnya, memberinya akses lebih dalam dan lebih rakus. Bibir mereka menyatu dalam irama yang tak teratur, dibalut tarikan napas pendek dan desahan samar.Sienna tahu ia harus menghentikan ini. Bahaya dalam pelukan Sebastian tidak datang dalam bentuk ancaman, tapi candu. Semakin dekat, semakin sulit untuk menolak.Namun ketika jemari pria itu menyusuri sisi lengannya, naik ke tengkuk dan mengubur diri di helaian rambutnya, ia menggigil. Kepalanya menegang… dan lalu menyerah.“Sebastian…,” gumam Sienna lemah. Tapi tidak ada penolakan di balik suaranya. Justru sebaliknya, keraguan yang mulai kalah.Sebastian menempelkan keningnya di dahi Sienna, masih mengatur napas. “Aku tidak datang ke sini untuk mencium istri
Sebastian menatap Sienna dengan mata yang membakar. Napas beratnya menyapu pipi wanita itu yang mulai memanas. Tangannya masih bertengger di pinggang Sienna.Sienna meneguk ludah. Jantungnya berdetak kencang.Ia tahu tatapan itu. Tatapan yang sama seperti malam ketika Sebastian pertama kali memilikinya—penuh dorongan liar, tanpa ruang bagi penolakan. Dan itu membuatnya gugup. Karena ia tahu… ia akan mudah jatuh lagi kalau tak hati-hati.Sebastian menunduk sedikit, mendekat ke leher Sienna. Hidungnya menyapu ringan kulit di bawah telinga wanita itu, dan napas hangat itu menyentuh Sienna seperti aliran listrik.“Kau wangi sekali malam ini,” bisik Sebastian serak, suaranya rendah dan nyaris mendesah.Tubuh Sienna menegang.“Sebastian…,” gumamnya memperingatkan—atau mungkin memperingatkan dirinya sendiri.“Kalau kau tidak menghentikanku sekarang…,” suara Sebastian terdengar lebih rendah, “aku tidak akan bisa menahan diri.”Sienna meremas gaun satinnya. Ujung jarinya bergetar di pangkuan, b
Langkah-langkah Sebastian terasa berat namun mantap saat ia membawa Sienna keluar dari ballroom. Derap sepatunya bergema di lantai, bersaing dengan bisik-bisik tajam yang menyusul di belakang mereka.Tapi ia tidak menoleh. Tidak berhenti. Tidak peduli.Begitu mereka tiba di lantai dasar dan pintu utama hotel terbuka, Brandon sudah berdiri menunggu di pelataran hotel. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu belakang mobil dan menyingkir untuk memberi ruang.Sebastian mengencangkan pelukannya pada tubuh Sienna dan menunduk sedikit saat membawanya masuk.“Hati-hati kepalamu,” bisik pria itu.Ia mendudukkan Sienna di jok belakang dengan sangat hati-hati. Setelah memastikan posisi wanita itu nyaman, Sebastian menyusul masuk dan duduk di sebelahnya.Pintu ditutup. Dan mobil segera meluncur menjauh dari hotel.Sienna menatap lurus ke depan, berusaha menahan diri. Tapi gaun satin yang tadinya membuatnya merasa percaya diri, kini terasa menempel tak nyaman di kulitnya.Sebastian menghela napas,
Beberapa hari kemudian,Di sebuah ballroom hotel berbintang yang megah, para elit dunia bisnis berkumpul dalam balutan gaun mewah dan tuksedo. Pesta malam itu bukan sekadar perayaan biasa, melainkan New York Philanthropy Business Awards, ajang tahunan paling prestisius bagi para tokoh bisnis berpengaruh.Pelayan-pelayan berseliweran dengan baki sampanye dan canape di tangan.Sienna berdiri di sisi ruangan. Gaun satin merah gelap membalut tubuhnya dengan anggun, rambutnya disanggul rapi, dan mata hazelnya terus mengamati suasana dengan campuran gugup dan tak nyaman.Thomas, pria yang bersamanya malam ini, berbisik pelan di telinganya. “Aku ke toilet sebentar. Kau baik-baik saja di sini?”Sienna mengangguk. “Ya. Ambil waktumu.”Thomas tersenyum hangat, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan kerumunan.Sienna menarik napas perlahan. Ia mengambil segelas sampanye dari pelayan yang melintas dan menyentuhkan bibirnya ke gelas itu. Ia tidak sadar bahwa seseorang telah berdiri terlalu dekat.
Sienna membuka matanya perlahan, menatap pria di hadapannya dengan campuran malu dan tak percaya.“Aku menciummu hanya untuk membuat Arel pergi,” ucapnya, berusaha terdengar tegas meski napasnya masih belum stabil.Sebastian terkekeh pelan. “Misi berhasil, kalau begitu. Tapi efek sampingnya… luar biasa.”Sienna memutar bola matanya. “Lepaskan aku sekarang.”“Kenapa? Aku mulai merasa posisi ini sangat nyaman,” gumam Sebastian sambil mempererat pelukannya.“Kau sedang duduk di sofa… dengan aku di pangkuanmu. Itu tidak normal untuk percakapan biasa, Sebastian.”“Siapa bilang kita akan membicarakan percakapan biasa?” bisik Sebastian sambil menyentuh ujung hidung Sienna dengan hidungnya sendiri. “Kau memanggilku ‘suami’ di depan pria lain. Itu luar biasa seksi, tahu?”Sienna mendesah frustasi, tapi tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. “Kau benar-benar menyebalkan.”“Dan kau benar-benar memancing,” balas Sebastian ringan. “Jadi… bagaimana kalau kita lanjutkan permainan ‘situasi’ i