Setelah sarapan selesai, Joseph kembali ke kamarnya dan tenggelam dalam dunia video game kesayangannya. Suara-suara dari dapur perlahan mereda. Sienna membersihkan meja, sementara Sebastian masih duduk santai di kitchen island sambil menyesap sisa kopi terakhirnya.Sienna menghela napas pelan. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Dan akhirnya, tanpa benar-benar direncanakan, pertanyaan itu lolos dari bibirnya.“Kau tak pulang, Sebastian?”Sebastian mendongak. Wajahnya langsung berubah. Ia meletakkan cangkirnya perlahan, menyandarkan tubuh ke kursi, lalu menatap Sienna tanpa berkedip.“Kita sudah bercinta tadi malam,” ucapnya pelan namun mantap. “Dan sekarang kau berpikir untuk mengusirku?”Sienna terdiam. Napasnya tertahan. Ia buru-buru menunduk, merapikan sendok yang sebenarnya sudah tersusun rapi.“Bukan maksudku begitu—”“Lalu apa?” potong Sebastian, suaranya tetap tenang tapi tegas. “Sienna, kau tahu, ‘kan? Setelah semalam, aku bukan tipe yang bisa disingkirkan semudah it
“Mom… Dad?”Sienna sontak membeku.Panik menjalar dari ubun-ubun hingga ke ujung jemarinya. Ia menoleh cepat, matanya melebar seperti rusa yang tertangkap sorot lampu mobil.Joseph berdiri tak jauh di belakang Sebastian—dan ia baru sadar, dirinya masih mengenakan hanya kemeja Sebastian. Tanpa bra, tanpa celana dalam. Kancing bagian atas pun terbuka, memperlihatkan dadanya yang sedikit menyembul keluar.Sebastian menoleh dengan reaksi yang lebih lambat, tapi langsung tanggap. Ia berdiri, lalu bergerak menutupi pandangan anak mereka.“Joseph!” serunya ceria. “Pagi, Kapten!”Bocah itu melangkah mendekat.Sienna yang nyaris membatu, mendadak turun dari kursi dan berjongkok di balik kitchen island.“Alihkan perhatiannya. Aku akan cepat-cepat ke kamar,” bisiknya singkat.Sebastian mengangguk. Ia langsung jongkok menyambut Joseph, mencoba mengalihkan perhatian bocah itu. “Hei, bangun pagi sekali, ya?”“Aku cium bau telur,” ucap Joseph sambil mengucek matanya.“Dan kau benar!” balas Sebastian
“Bukan aneh,” gumam Sebastian. “Hanya… tak kuduga. Kupikir kau akan mengusirku alih-alih mengucapkan ‘pagi’.”Sienna terkekeh kecil. “Kalau kau tidak mengacau, mungkin aku akan lebih sering menyapa seperti ini.”Sebastian menaikkan sebelah alis, setengah menggoda. “Kau bilang aku mengacau, padahal semalam kau—”Sienna langsung melempar bantal ke arah wajah pria itu. “Jangan lanjutkan,” tukasnya, meski senyum masih mengendap di sudut bibirnya. “Aku masih mempertimbangkan untuk menyesal.”Sebastian menangkap bantal itu, lalu tertawa rendah. “Kau tak terlihat seperti orang yang menyesal,” katanya. “Sienna… kau tahu itu berarti sesuatu bagiku, ‘kan?”Sienna menatap Sebastian sebentar, kemudian menunduk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Itulah masalahnya.”Sebastian hendak mengatakan sesuatu, tapi Sienna lebih dulu bangkit, menyambar kemeja pria itu yang tergeletak di lantai dan memakaikan ke tubuhnya. Ia berdiri, berjalan menuju pintu dengan langkah ringan, lalu berhenti di ambang.“Aku akan
Sebastian tidak memberinya waktu untuk berpikir. Bibirnya langsung menyergap bibir Sienna dalam ciuman yang keras, dalam, mengklaim. Seolah enam tahun penantian dan penyangkalan tumpah dalam satu tarikan napas.Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sienna, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bertubrukan tanpa jarak. Sienna menahan napas, lengannya melingkar pada bahu Sebastian, mencengkeram kerah kemeja yang kini telah terbuka sepenuhnya.Ciuman itu berubah menjadi medan pertempuran. Bukan lagi sekadar rindu, tapi hasrat yang tak pernah sempat padam meski dibenamkan selama bertahun-tahun.Sienna mendorong tubuhnya ke arah Sebastian, balas mencium pria itu dengan napas yang tak terkendali. Jemarinya mencakar punggung Sebastian, menyusuri otot-otot yang menegang di balik kulitnya yang hangat.Pria itu menggeram pelan, lalu menunduk dan menyerang lehernya, menggigitnya dengan tekanan yang nyaris menyakitkan. Sienna terlonjak kecil, tapi tidak menjauh—justru merapat, seolah m
Tubuh Sienna terdorong perlahan ke tepian meja dapur. Botol air yang tadi dipegangnya kini sudah tak jelas di mana, terlupakan begitu bibir Sebastian kembali menekannya dalam ciuman yang jauh lebih dalam dari sebelumnya.Tangan besar Sebastian mengangkat dagu Sienna, memiringkan wajahnya, memberinya akses lebih dalam dan lebih rakus. Bibir mereka menyatu dalam irama yang tak teratur, dibalut tarikan napas pendek dan desahan samar.Sienna tahu ia harus menghentikan ini. Bahaya dalam pelukan Sebastian tidak datang dalam bentuk ancaman, tapi candu. Semakin dekat, semakin sulit untuk menolak.Namun ketika jemari pria itu menyusuri sisi lengannya, naik ke tengkuk dan mengubur diri di helaian rambutnya, ia menggigil. Kepalanya menegang… dan lalu menyerah.“Sebastian…,” gumam Sienna lemah. Tapi tidak ada penolakan di balik suaranya. Justru sebaliknya, keraguan yang mulai kalah.Sebastian menempelkan keningnya di dahi Sienna, masih mengatur napas. “Aku tidak datang ke sini untuk mencium istri
Sebastian menatap Sienna dengan mata yang membakar. Napas beratnya menyapu pipi wanita itu yang mulai memanas. Tangannya masih bertengger di pinggang Sienna.Sienna meneguk ludah. Jantungnya berdetak kencang.Ia tahu tatapan itu. Tatapan yang sama seperti malam ketika Sebastian pertama kali memilikinya—penuh dorongan liar, tanpa ruang bagi penolakan. Dan itu membuatnya gugup. Karena ia tahu… ia akan mudah jatuh lagi kalau tak hati-hati.Sebastian menunduk sedikit, mendekat ke leher Sienna. Hidungnya menyapu ringan kulit di bawah telinga wanita itu, dan napas hangat itu menyentuh Sienna seperti aliran listrik.“Kau wangi sekali malam ini,” bisik Sebastian serak, suaranya rendah dan nyaris mendesah.Tubuh Sienna menegang.“Sebastian…,” gumamnya memperingatkan—atau mungkin memperingatkan dirinya sendiri.“Kalau kau tidak menghentikanku sekarang…,” suara Sebastian terdengar lebih rendah, “aku tidak akan bisa menahan diri.”Sienna meremas gaun satinnya. Ujung jarinya bergetar di pangkuan, b