Sienna menatap Lance Hart, saudaranya, yang tengah berdiri di lorong depan ketika melihatnya masuk.
Alis pria itu terangkat sinis dan menghakimi.
Namun, Sienna membalasnya dengan tatapan malas. “Aku terlalu lelah untuk menanggapi omong kosongmu, Lance,” gumamnya, lalu melanjutkan langkah tanpa menoleh lagi.
Begitu sampai di kamarnya, Sienna menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan napas berat. Kepalanya masih berdenyut, dan rasa mual terus bergejolak dari perutnya ke tenggorokan. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan semalam yang terus menghantui.
Tapi saat memeluk bantal di sampingnya. Aroma parfum pria samar-samar menyeruak di inderanya. Entah karena ingatannya yang masih kacau atau dari kulitnya sendiri yang belum sempat ia bersihkan.
Sienna meringis dan menjambak rambutnya sekali lagi.
“Aku bodoh,” desisnya lirih. “Sebodoh-bodohnya.”
Tadi malam Sienna sengaja kabur dari pertemuannya dengan pria tua yang akan dijodohkan dengannya. Tapi ia justru terjebak dalam kebodohan cinta satu malam bersama pria asing. Kalau ibunya tahu, entah apa yang akan terjadi padanya.
“Ibu mungkin akan membunuhku,” gumamnya ngeri.
Stacey Monroe tak ada bedanya dengan ibu tiri kejam. Ia tak akan segan untuk menghukum Sienna jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
Beberapa ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Sienna membuka mata setengah sambil menggerutu dalam hati. Belum sempat menjawab, pintu itu terbuka sedikit, dan suara tenang seorang wanita tua menyapanya.
“Nona Sienna … Nyonya memintamu turun ke ruang makan.”
Desahan berat lolos dari bibir Sienna. Ia baru saja menginjakkan kaki di rumah ini, bahkan rasa pengar dan mualnya belum sepenuhnya hilang.
Dengan langkah malas dan tubuh yang begitu lelah, Sienna menuruni tangga menuju ruang makan.
Begitu memasuki ruangan, ia mendapati Stacey Monroe—ibunya—tengah duduk tegak di ujung meja. Pandangan wanita itu langsung terarah pada Sienna.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Stacey tajam.
Lance yang duduk santai di samping Stacey tersenyum sinis. “Dia baru saja pulang. Sepertinya dia menjajakan diri tadi malam, Bu.”
Sienna menatap Lance seperti hendak membakar pria itu hidup-hidup. “Ringan sekali mulutmu, Lance,” desisnya tajam. “Seperti ibu-ibu penggosip yang kehabisan bahan obrolan.”
Tatapan Lance langsung tajam. “Jaga sikapmu, Sienna. Kau masih berada di rumah ini.”
Sienna mendengus pelan. “Lalu, apa?” jawabnya menantang.
“Cukup!” bentak Stacey sambil menghentakkan tangan ke meja, memecah ketegangan yang sempat memanas antara kedua bersaudara itu.
Ruangan mendadak sunyi. Sienna dan Lance sama-sama terdiam meski ketegangan masih terasa kental di antara mereka.
Stacey menoleh tajam ke arah putrinya. “Ke mana saja kau tadi malam, hah? Bukankah aku sudah memintamu menemui Tuan Harrison? Dia meneleponku dan bilang kau tak pernah muncul!”
Sienna menelan ludah. Pikirannya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal.
Tapi apa yang bisa dia katakan? Bahwa dia memilih pergi ke bar, mabuk, lalu tidur dengan pria asing yang entah siapa namanya?
Konyol.
Mengatakan yang sebenarnya sama saja dengan menggali kuburannya sendiri. Stacey pasti akan menguburnya hidup-hidup!
Sienna menarik napas dalam. “Aku hanya butuh waktu sendiri,” sahutnya lirih.
Stacey mendengus sinis. “Waktu sendiri? Jangan konyol! Kau tahu Tuan Harrison bisa menarik investasi itu kapan saja, dan saat itu terjadi, semuanya akan runtuh. Apa kau ingin dikenang sebagai anak yang menghancurkan keluarganya sendiri?”
“Yang akan runtuh hanya bisnis keluarga Hart, Bu. Tapi aku sudah lama hancur,” jawab Sienna dengan suara rendah.
Suasana kembali tegang. Stacey memandangi putrinya dengan murka.
“Jangan buat semuanya jadi sulit, Sienna! Kau tidak punya banyak pilihan. Kau tahu itu!”
Sienna mencengkeram tangannya dengan kuat, berusaha menahan gemuruh di dadanya. Di rumah ini, tak ada yang pernah memihaknya. Pilihan, hidup bebas, semua hanya mimpi konyol bagi Sienna.
“Maaf, Bu. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” ucap Sienna pasrah.
Stacey hanya menjawab dengan gumaman pendek sebelum meraih gelas tehnya lagi.
“Minggu depan kita ada pertemuan resmi dengan Tuan Harrison. Pastikan kau merawat diri dengan baik sampai hari itu.”
***
Hari yang dimaksud pun tiba lebih cepat dari yang Sienna harapkan. Meski mengenakan gaun indah berwarna krem gading yang dirancang untuk membuatnya tampak anggun, ekspresi wajah Sienna tak bisa menutupi kegelisahannya.
Saat mobil berhenti di depan pintu masuk sebuah hotel mewah, satu per satu anggota keluarga Hart turun tanpa banyak bicara. Hanya Sienna yang terlihat enggan, tetap terpaku di tempat duduknya.
Tak lama, wajah Lance muncul di pintu yang terbuka. “Apa lagi yang kau tunggu? Cepat turun!” titahnya tajam.
Sienna mendesah kasar. Dengan enggan, ia turun dan mengekori keluarganya menuju ruang privat tempat Tuan Harrison, pria tua yang akan menjadi ‘calon suaminya’, menunggu.
Saat mereka hampir mencapai pintu ruangan, Sienna menahan lengan Stacey.
“Bu, aku perlu ke toilet,” ujarnya cepat.
Stacey menoleh curiga. “Kau tidak akan kabur, bukan?”
Sienna langsung menggeleng. “Aku tidak akan berani. Aku benar-benar harus ke toilet,” ujarnya dengan nada meyakinkan.
Setelah jeda singkat, Stacey mengangguk dingin. “Lima menit. Kalau lebih, aku sendiri yang akan menarikmu keluar.”
Sienna mengangguk patuh dan segera berbalik, berjalan cepat menuju arah penunjuk toilet di lorong hotel. Ia baru saja berbelok di sudut ketika tubuhnya menabrak seseorang. Tubrukan itu cukup kuat hingga tas tangan kecil yang dibawanya terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai.
“Maaf!” Sienna buru-buru berjongkok, namun pria yang ditabraknya lebih dulu memungut tas itu.
Namun alih-alih mengembalikan barangnya, pria itu justru menyelipkan satu tangan ke pinggang Sienna dan menahannya dengan erat.
Sienna terperangah. “Hei! Apa yang kau lakukan?!” bentaknya refleks.
Pria itu memandang Sienna lekat-lekat, bibirnya melengkung membentuk senyum yang terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang baru saja membuat kekacauan.
Wajahnya tampan, rahangnya tegas, dan matanya… biru. Kenapa rasanya begitu familiar?
“Sienna Hart. Berani sekali kau kabur dariku,” bisik pria itu. “Apa kau sudah lupa soal malam itu, hm?”
Buggy golf itu kembali melaju, kali ini menuju hole berikutnya. Sienna duduk di kursi penumpang, berusaha mengatur napas sambil memandang lurus ke depan. Sebastian di belakang kemudi hanya meliriknya sekilas, bibirnya mengulas senyum tipis seperti pria yang tahu persis efek yang baru saja ia tinggalkan.“Bagus juga ayunanmu tadi,” ucap Sebastian santai. “Walau kau terlalu kaku di bagian pinggul.”Sienna mendengus pelan. “Mungkin karena pelatihnya terlalu mengganggu.”Sebastian tertawa pendek. “Gangguan yang menyenangkan, ‘kan?”Sienna hanya mengangkat alis tanpa menjawab, matanya menatap pemandangan hijau di sekitar. Tapi dari ekor matanya, ia tahu Sebastian tengah memperhatikannya dengan tatapan yang membuat darahnya kembali berdesir.Di hole berikutnya, Sebastian sengaja membiarka Sienna memukul sendiri. Tapi setiap kali Sienna membungkuk mengambil bola, ia merasakan tatapan penuh maksud itu lagi.“Kau sengaja menatapku seperti itu?” tanya Sienna tanpa menoleh.“Seperti apa?” Sebast
Buggy golf itu melaju pelan di jalur pribadi menuju hole keempat belas. Sebuah area tersembunyi di ujung lapangan, konon dikenal sebagai tempat bermain para miliarder yang ingin benar-benar tak terganggu.Tidak ada kamera. Tidak ada pengawal. Hanya angin tenang, langit biru, dan suara dedaunan yang tersapu angin.Sienna mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu melirik Sebastian yang duduk di sebelahnya. “Tempat ini terlalu mewah hanya untuk memukul bola kecil,” gumamnya pelan.Sebastian tersenyum miring tanpa menoleh. “Siapa bilang aku datang hanya untuk bermain golf?”Buggy berhenti di tepian lapangan yang luas. Sebastian turun lebih dulu, lalu menoleh dan mengulurkan tangan. Sienna diam sesaat, lalu menyambut uluran itu.“Aku tak bawa pelatih hari ini,” ucap Sebastian seraya mengambil stik golf dari tas di belakang mereka. “Tapi kau beruntung, aku dikenal sangat sabar dalam mengajar.”Sienna menyipitkan mata. “Kau yakin itu bukan cuma alasan agar bisa memelukku dari belakang dan menye
Setelah sarapan selesai, Joseph kembali ke kamarnya dan tenggelam dalam dunia video game kesayangannya. Suara-suara dari dapur perlahan mereda. Sienna membersihkan meja, sementara Sebastian masih duduk santai di kitchen island sambil menyesap sisa kopi terakhirnya.Sienna menghela napas pelan. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Dan akhirnya, tanpa benar-benar direncanakan, pertanyaan itu lolos dari bibirnya.“Kau tak pulang, Sebastian?”Sebastian mendongak. Wajahnya langsung berubah. Ia meletakkan cangkirnya perlahan, menyandarkan tubuh ke kursi, lalu menatap Sienna tanpa berkedip.“Kita sudah bercinta tadi malam,” ucapnya pelan namun mantap. “Dan sekarang kau berpikir untuk mengusirku?”Sienna terdiam. Napasnya tertahan. Ia buru-buru menunduk, merapikan sendok yang sebenarnya sudah tersusun rapi.“Bukan maksudku begitu—”“Lalu apa?” potong Sebastian, suaranya tetap tenang tapi tegas. “Sienna, kau tahu, ‘kan? Setelah semalam, aku bukan tipe yang bisa disingkirkan semudah it
“Mom… Dad?”Sienna sontak membeku.Panik menjalar dari ubun-ubun hingga ke ujung jemarinya. Ia menoleh cepat, matanya melebar seperti rusa yang tertangkap sorot lampu mobil.Joseph berdiri tak jauh di belakang Sebastian—dan ia baru sadar, dirinya masih mengenakan hanya kemeja Sebastian. Tanpa bra, tanpa celana dalam. Kancing bagian atas pun terbuka, memperlihatkan dadanya yang sedikit menyembul keluar.Sebastian menoleh dengan reaksi yang lebih lambat, tapi langsung tanggap. Ia berdiri, lalu bergerak menutupi pandangan anak mereka.“Joseph!” serunya ceria. “Pagi, Kapten!”Bocah itu melangkah mendekat.Sienna yang nyaris membatu, mendadak turun dari kursi dan berjongkok di balik kitchen island.“Alihkan perhatiannya. Aku akan cepat-cepat ke kamar,” bisiknya singkat.Sebastian mengangguk. Ia langsung jongkok menyambut Joseph, mencoba mengalihkan perhatian bocah itu. “Hei, bangun pagi sekali, ya?”“Aku cium bau telur,” ucap Joseph sambil mengucek matanya.“Dan kau benar!” balas Sebastian
“Bukan aneh,” gumam Sebastian. “Hanya… tak kuduga. Kupikir kau akan mengusirku alih-alih mengucapkan ‘pagi’.”Sienna terkekeh kecil. “Kalau kau tidak mengacau, mungkin aku akan lebih sering menyapa seperti ini.”Sebastian menaikkan sebelah alis, setengah menggoda. “Kau bilang aku mengacau, padahal semalam kau—”Sienna langsung melempar bantal ke arah wajah pria itu. “Jangan lanjutkan,” tukasnya, meski senyum masih mengendap di sudut bibirnya. “Aku masih mempertimbangkan untuk menyesal.”Sebastian menangkap bantal itu, lalu tertawa rendah. “Kau tak terlihat seperti orang yang menyesal,” katanya. “Sienna… kau tahu itu berarti sesuatu bagiku, ‘kan?”Sienna menatap Sebastian sebentar, kemudian menunduk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Itulah masalahnya.”Sebastian hendak mengatakan sesuatu, tapi Sienna lebih dulu bangkit, menyambar kemeja pria itu yang tergeletak di lantai dan memakaikan ke tubuhnya. Ia berdiri, berjalan menuju pintu dengan langkah ringan, lalu berhenti di ambang.“Aku akan
Sebastian tidak memberinya waktu untuk berpikir. Bibirnya langsung menyergap bibir Sienna dalam ciuman yang keras, dalam, mengklaim. Seolah enam tahun penantian dan penyangkalan tumpah dalam satu tarikan napas.Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sienna, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bertubrukan tanpa jarak. Sienna menahan napas, lengannya melingkar pada bahu Sebastian, mencengkeram kerah kemeja yang kini telah terbuka sepenuhnya.Ciuman itu berubah menjadi medan pertempuran. Bukan lagi sekadar rindu, tapi hasrat yang tak pernah sempat padam meski dibenamkan selama bertahun-tahun.Sienna mendorong tubuhnya ke arah Sebastian, balas mencium pria itu dengan napas yang tak terkendali. Jemarinya mencakar punggung Sebastian, menyusuri otot-otot yang menegang di balik kulitnya yang hangat.Pria itu menggeram pelan, lalu menunduk dan menyerang lehernya, menggigitnya dengan tekanan yang nyaris menyakitkan. Sienna terlonjak kecil, tapi tidak menjauh—justru merapat, seolah m