Cahaya remang bar hotel memantul di mata Sienna Hart saat ia menenggak sisa minumannya. Kepalanya terasa berat, dunia seakan bergoyang pelan, tapi itu tak cukup untuk menghapus sesak yang menyelubungi dadanya.
Sienna menatap getir gelas di hadapannya, lalu menertawakan dirinya sendiri. “Aku dijual,” gumamnya miris.
Tanpa suara, Sienna meletakkan gelasnya ke meja. Sudah lama ia terpenjara dalam keluarganya sendiri. Sekarang, semua yang ada dalam dirinya berteriak untuk minta dibebaskan.
Di sebelahnya, seorang pria duduk dengan wajah tertunduk dan tampak gelisah. Sienna menoleh sekilas, berusaha menahan komentar sinis yang ingin keluar dari bibirnya. Saat ia hampir mengangkat tangan memanggil bartender, tangan hangat pria itu menyentuh pipinya dengan lancang.
“Hei—” desis Sienna marah.
Pria itu memandang Sienna dengan intens, wajahnya tampan dengan mata sebiru lautan. Untuk sesaat, Sienna hampir lupa diri. Wajah pria itu seperti dipahat sempurna, seperti mahakarya yang dibuat untuk menunjukkan kekuasaan dan kekuatan yang tak terhindarkan.
Sienna hendak menepis tangan pria itu dari pipinya, namun pria itu tak memberinya waktu. Dalam sekejap, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas dan menggairahkan.
Sienna sempat memukul dada pria itu dengan lemah, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk mengeluarkan lebih banyak tenaga. Malam ini, dia hanya ingin melepaskan segalanya.
Di sela napas yang tersengal, Sienna bergumam serak, “Kau sudah gila?! Siapa bilang kau boleh menciumku?!”
Pria itu mendesis pelan, mata birunya penuh dengan nafsu yang membara. “Kalau kau mau, aku akan berhenti,” balasnya. Wajahnya memerah, dipenuhi hasrat yang tak terbendung.
Sienna menggigit bibir bawahnya, matanya beradu pandang dengan pria itu sejenak. Dan akhirnya, ia menyerah.
Ciuman mereka kembali menyala, kali ini lebih liar, lebih tak terkendali. Di antara napas yang memburu dan desir hasrat yang membuncah, mereka bangkit dari kursi dan melangkah cepat menuju lift.
Di sana, Sienna bersandar di dinding dan tertawa kecil saat pria itu kembali mencumbunya.
Desahan tertahannya berubah menjadi keluhan lirih. Ia bisa saja mendorong pria itu pergi. Tapi tubuhnya lebih tahu dari pikirannya sendiri.
Pintu kamar terbuka.
Sienna didorong perlahan ke dinding, mata hazelnya seolah berteriak saat jari-jari panjang itu berhasil menemukan ritsleting gaunnya. Saat akhirnya kain sutra itu jatuh ke lantai, Sienna refleks menutup mata.
“Kita tidak akan melakukannya jika kau tidak mau.” Pria itu berbisik di telinga Sienna. Tangannya membelai punggung Sienna, membangkitkan desahan pelan dari bibir wanita itu. “Tapi, kau harus segera pergi karena aku tidak bisa menahannya lebih lama.”
Sienna membuka mata, lalu tertawa miris. “Aku dijual. Untuk perusahaan. Untuk angka di rekening bank. Jadi, untuk apa berhenti sekarang? Cepat atau lambat, kekacauan juga akan datang,” sahutnya lirih.
Sejenak, pria itu menatap Sienna dalam diam sebelum akhirnya mengangkat tubuh Sienna dengan mudah dan membawanya ke ranjang besar.
Sienna meremas seprai saat pria itu menelusuri setiap lekuk tubuhnya dengan bibirnya yang hangat. Mata Sienna kembali tertutup saat tangan terampil itu melepaskan pakaian terakhir yang masih menempel di tubuhnya.
Lalu kemudian, tubuh mereka bertemu.
“Ahhh …!” Sienna merasa tubuhnya seperti dirobek menjadi dua.
Saat tubuhnya melengkung di bawah sentuhan pria itu, Sienna mengeluarkan erangan tertahan, dan setetes air mata jatuh di sudut matanya.
Namun, hasrat yang tak tertahan membuatnya segera terbiasa. Setiap ciuman, setiap sentuhan pria itu, seolah mengikis kewarasan Sienna.
Sienna memeluk pria itu lebih erat. “Jangan berhenti. Tolong ….”
***
Keesokan paginya, Sienna membuka matanya perlahan. Dunia terasa berputar, kepalanya berat seperti dipukul palu. Butuh beberapa detik bagi Sienna untuk sadar dia tidak berada di kamarnya sendiri.
Kamar hotel. Seprai putih. Dan … aroma seorang pria.
Sienna mengerjap bingung sebelum akhirnya menyadari satu hal. Ia telanjang! Seprai menutupi tubuhnya seadanya, dan di sampingnya, tempat tidur itu kosong.
Tidak ada siapa-siapa. Hanya lipatan selimut yang berantakan.
Sienna menelan ludah, tenggorokannya terasa begitu kering. Tangannya meremas seprai sambil mencoba mengingat. Tapi pikirannya kosong, dan rasa nyeri samar terus menghantui bagian sensitifnya.
“Astaga. Apa yang kulakukan?!” erangnya pelan.
Sienna perlahan duduk. Dan kepalanya berdenyut makin keras. Ia tak pernah mengira dirinya akan terjebak dalam situasi seperti ini.
Ini bukan dirinya. Ia bukan tipe yang akan mabuk-mabukan sampai hilang kendali. Tapi tadi malam—
“Argh! Aku tidak pernah kehilangan kendali seperti ini. Bahkan saat hidupku dikendalikan seperti boneka.”
Sienna mengusap wajahnya dengan kasar, berharap hal itu bisa menghapus semuanya. Namun saat suara lirih seorang pria terdengar dari arah kamar mandi, tubuhnya langsung menegang.
“...tentang perjodohan...”
Napas Sienna tercekat seketika. Otaknya yang masih kabur berusaha memahami. Tanpa pikir panjang, ia melompat turun dari ranjang, buru-buru memungut pakaiannya yang tercecer di lantai.
Dengan tangan gemetar, ia mengenakan gaun tipis itu seadanya, bahkan tidak peduli ritsletingnya tidak tertutup sempurna.
Ia harus pergi. Sekarang.
Sienna hampir tersandung sepatunya sendiri saat membuka pintu dan berlari keluar.
Lift di ujung lorong berdenting. Ia menekan tombol sekuat tenaga dan bergegas masuk begitu pintu terbuka.
Di dalam lift, ia bersandar lemas ke dinding, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Potongan-potongan ingatan mulai bermunculan meski sepotong-sepotong.
Sentuhan panas di punggungnya.
Desahan tertahan di telinganya.
Lalu tangannya sendiri yang menarik pria itu lebih dekat.
Dan...
Kalimat itu.
‘Jangan berhenti. Tolong.’
Sienna mencengkeram rambutnya dengan kuat, berusaha menahan gejolak di dadanya yang hampir tak tertahankan. “Rasanya ingin menghilang saja dari muka bumi,” erangnya frustasi.
Bunyi dentingan lift membawanya kembali ke kenyataan.
Sienna menarik napas panjang, lalu memberanikan diri untuk melangkah keluar meski kakinya terasa seperti dicengkeram dengan dua buah pemberat.
Beberapa saat kemudian, Sienna tiba di kediaman keluarga Hart dengan wajah kusut dan langkah gontai. Ia nyaris tak peduli pada penampilannya saat turun dari taksi dan memasuki rumah besar itu.
Sienne terpaku saat sebuah suara menyambut kedatangannya.
“Dari mana? Penampilanmu seperti orang yang baru saja jual diri.”
Beberapa menit berlalu dalam ketegangan yang senyap. Sienna masih duduk di kursi ruang tunggu, lututnya diperban rapi dan pergelangan tangannya berdenyut nyeri. Di sampingnya, wanita berhijab yang tadi menolongnya masih duduk dengan tenang.“Terima kasih,” ucap Sienna pada wanita itu, suaranya pelan dan tulus. “AKu tidak tahu harus bagaimana jika Anda tidak muncul.”Wanita berhijab itu tersenyum hangat, matanya sempat menangkap cincin di jari manis Sienna. “Jangan dipikirkan. Siapa pun pasti akan melakukan hal yang sama.”Sienna hendak mengatakan sesuatu lagi ketika pintu klinik terbuka secara tiba-tiba.Sebastian melangkah masuk dengan gerakan cepat. Matanya menyapu ruangan sampai menemukan Sienna, lalu tatapannya langsung menajam.“Sienna,” ucapnya serak sambil tergesa menghampiri. “Apa yang terjadi?”Sienna berdiri perlahan. “Aku baik-baik saja. Hanya memar ringan, lututku—”Belum selesai ia menjelaskan, pandangan Sebastian beralih pada wanita berhijab yang berdiri di samping Sienn
Matahari Dubai menyelinap masuk lewat tirai tipis ketika Sienna terbangun keesokan harinya. Penthouse itu sunyi.Jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas. Ia melirik ke sisi tempat tidur yang kosong, lalu duduk sambil menghela napas. Sebastian pasti sudah pergi.Sienna berjalan pelan ke ruang utama dan menemukan secarik catatan di atas meja.[Ada pertemuan pagi ini. Jangan keluar sendirian dan tunggu aku. – S.]Sienna mendecih pelan. “Jangan keluar sendiri? Serius? Aku bukan tahanan,” desisnya.Dengan enggan, ia menyantap sarapan yang sudah disiapkan oleh staf hotel, lalu berjalan ke jendela untuk menikmati pemandangan. Kota Dubai membentang luas di bawah sana, gemerlap dan asing.Sienna kembali ke kamar dan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia membuka tablet dan mulai memindahkan beberapa sketsa desain, tapi tak lama kemudian rasa bosan mulai menyusup. Ia terlalu gelisah untuk berkonsentrasi.“Ada apa denganku hari ini?” gumamnya sambil memijat pelipis.Beberapa saat kem
Langit sudah gelap ketika Sienna berdiri di depan mansion dengan koper di sampingnya. Udara yang dingin menyusup ke balik mantel panjangnya, tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Melainkan kenyataan bahwa ia akan pergi ke Dubai bersama Sebastian.Sebastian berdiri beberapa langkah di depannya, tengah berbicara di telepon dengan seseorang. Hanya sepatah dua patah kata, dan lawan bicaranya langsung bungkam.“Pria ini benar-benar penuh kontrol,” gumam Sienna pelan, tatapannya tak lepas dari Sebastian.Begitu sambungan telepon ditutup, Sebastian menoleh padanya. “Mobil sudah siap.”Sienna hanya mengangguk dan mengikuti langkah pria itu ke arah mobil hitam yang menunggu di depan tangga utama. Brandon membukakan pintu belakang, dan Sebastian masuk lebih dulu tanpa menoleh. Sienna mengikuti, duduk di kursi bersebelahan tanpa tahu harus berkata apa.Mobil begerak stabil menuju bandara.“Berapa lama penerbangannya?” tanya Sienna basa-basi.Sebastian menoleh sedikit. “Empat belas jam. Kita
Keesokan paginya….Sienna menggeliat pelan di balik selimut tebal. Kepalanya sedikit berat, tapi tidak sampai pusing. Ia masih ingat anggur merah. Cocktail manis. Dan begitu banyak tawa.Lalu–Sienna membuka mata lebar-lebar.Ciuman.Kepalanya terangkat cepat, jantungnya ikut melonjak. Ia duduk, lalu memeluk lutut sambil menyandarkan dagu. “Tolong katakan itu hanya mimpi,” gumamnya pelan, tapi detak jantungnya tahu lebih dulu bahwa itu nyata.Sienna masih bisa merasakan tekstur kemeja Sebastian di bawah tangannya. Aroma samar dari tubuh pria itu. Dan... bibirnya.Sienna menenggelamkan wajah ke lutut. “Ya Tuhan, aku benar-benar menciumnya,” desisnya. “Aku menyerangnya di depan tempat tidur. Saat aku mabuk.”Wajahnya sudah pasti memerah. Sienna mengangkat kepala dan memandang sekitar, mencari keberadaan Sebastian. Tapi pria itu tidak ada.Sienna mengembuskan napas pelan. Entah lega atau kecewa, ia tak yakin. Sesuatu dalam dirinya ingin berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa, tapi....
Malam mulai larut ketika mereka meninggalkan restoran. Sienna bersandar malas di jok belakang, kepalanya terayun pelan ke sisi jendela, sementara pipinya bersemu merah muda. Dua gelas anggur ditambah satu cocktail manis telah membuatnya sedikit limbung.Sebastian duduk di sebelahnya, tenang dan tetap menjaga jarak. Tapi suasana tenang itu langsung terusik ketika Sienna tiba-tiba menoleh ke arah Sebastian, matanya yang setengah redup menyipit manja.“Kau tahu,” gumamnya dengan suara pelan dan sedikit serak, “kau terlihat jauh lebih tampan ketika wajahmu serius seperti itu.”Sebastian melirik cepat, lalu kembali menatap ke depan. “Kau mabuk.”“Sedikit,” ucap Sienna sambil mengangkat dua jarinya, “tapi bukan berarti aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan.” Ia mencondongkan tubuh, menyandarkan dagunya ke bahu Sebastian dan berbisik, “Aku hanya sedang menikmati suamiku yang terlalu dingin dan terlalu tampan untuk dibiarkan begitu saja.”Sebastian menarik napas panjang, mencoba untuk teta
Sudah satu jam sejak ia kembali ke suite hotel, namun Sienna tak kunjung merasa tenang. Emosi bergolak hebat dalam dadanya. Ia mencoba menahan diri, menggenggam erat perasaan yang kian tak terkendali.Amarah. Tapi bukan sekadar kemarahan biasa.Tapi pada siapa sebenarnya ia harus mengarahkan semua ini?Pada Nora Delacroix yang tanpa malu menyeretnya ke lobi dan menuduhnya sebagai wanita bayaran? Atau pada Sebastian yang menyembunyikan hubungannya dengan Nora?Ia sudah mengirim pesan. Hanya satu kalimat pendek. Kau bertunangan dengan Nora Delacroix?Tapi tak ada balasan. Mungkin Sebastian tengah duduk di ruang rapat dengan ekspresi tenang, sementara di sini Sienna merasa harga dirinya dihancurkan di depan publik.“Dasar menyebalkan,” desisnya sambil mendengus pelan.Tiba-tiba, pintu terbuka. Sienna menoleh cepat, lalu matanya langsung menangkap sosok Sebastian yang melangkah masuk. Tinggi dan gagah seperti biasa.Mereka sempat saling menatap. Hanya sekejap. Lalu Sienna membuang pandanga