"Tak seorang pun boleh merebut apa yang jadi hakku! Lihat saja, Siena Mori…! Aku akan rebut kembali semua yang kamu ambil dariku!" bentak Alfonso dengan suara kasar.
"Aku tak pernah rebut hak kamu, Alfonso Garcia! Tuan Adalfo sendiri yang berikan warisan itu padaku. Kalau kamu bisa jadi cucu yang baik waktu Tuan Adalfo masih hidup, pasti ini tak perlu terjadi. Sekarang, setelah beliau meninggal, barulah kamu menyesal dan ribut soal harta warisan! Benar-benar tak tahu malu!" Siena berseru lantang, tak mau kalah dengan pria berwajah Eropa Selatan yang berdiri menjulang di depan tubuh mungilnya.
"Berani-beraninya kamu panggil nama kakekku dengan nama depannya! Kamu pikir kamu siapa? Kamu cuma anak seorang perawat! Jangan sok akrab dengannya!" hardik Alfonso.
"Oh, kenapa tak boleh? Tuan Adalfo orang yang sangat rendah hati. Beliau tak pernah sombong seumur hidupnya. Asal kamu tahu ya, Tuan Adalfo bahkan minta aku panggil beliau dengan sebutan Grandpa…! Panggilan yang aku yakin kamu sendiri jarang sebutkan, karena kamu bahkan tak ada di sampingnya, waktu beliau menghembuskan napas terakhirnya…," tajam dan dingin balasan dari Siena.
Wajah Alfonso merah padam. Rahangnya terkatup rapat, sampai giginya bergemeretak. Mata dengan iris berwarna biru keabu-abuan itu melotot penuh amarah. Ia sudah siap untuk meledak, tapi masih berusaha mengingatkan diri sendiri. Yang berdiri di hadapannya hanyalah seorang gadis muda bertubuh mungil yang tak mungkin kuat menahan pukulan tangannya.
Alfonso merenung dalam hatinya, 'Tidak, aku tak boleh gegabah. Kalau sampai tersiar berita aku mengasari gadis ini, aku bisa dijadikan bulan-bulanan pers. Mereka pasti sudah menunggu-nunggu saat yang tepat untuk balas dendam padaku. Aku tak boleh biarkan diriku jadi santapan media.' Oh ya, Alfonso memang paham betul bagaimana cara kerja media massa.
Siena juga sedang menimbang-nimbang reaksi pria yang mengajaknya ribut ini. Dia sebenarnya tak suka beradu mulut dengan siapa pun. Namun sikap Alfonso Garcia yang arogan membuatnya muak, dan dia paling tak bisa menahan diri jika dipandang rendah. Perbuatan yang nekat memang, apalagi kalau melihat tubuh kekar Alfonso yang sekepala lebih tinggi daripadanya. Entah apa yang akan terjadi seandainya pria itu berani berlaku kasar.
"Tunggu dan lihat saja…! Pengacaraku akan bawa semua kasus ini ke pengadilan!" ancam Alfonso.
"Oh, silakan saja, Tuan Alfonso Garcia…! Jangan lupa kalau pengacara Tuan Adalfo juga sudah jadi pengacaraku sekarang. Damien Lambert sendiri yang buatkan surat wasiat atas nama Tuan Adalfo. Dengan senang hati, Damien akan jelaskan semuanya di depan pengadilan, bagaimana Tuan Adalfo lebih memilih mewariskan semua hartanya pada anak seorang perawat, daripada cucunya sendiri!" pungkas Siena dengan nada tinggi.
Sudah tak ada kata mundur lagi. Mereka sama-sama sudah mengeluarkan ancaman. Mata biru keabu-abuan Alfonso beradu pandang dengan mata hazel Siena. Wajah mereka berdua hanya berjarak beberapa sentimeter, keduanya seolah siap untuk saling menelan lawannya.
Alfonso agak menyipitkan matanya. Gadis berwajah oriental ini benar-benar berani menantang dirinya. Siapa sebenarnya gadis keras kepala ini? Apakah gadis ini tidak kenal dengan nama besar Alfonso Garcia? Dia tak suka ribut dengan seorang gadis, tetapi apa boleh buat?
'Siena Mori, tunggu pembalasanku!' Alfonso membatin.
"Baik, kalau itu maumu. Kita akan segera bertemu lagi," tandas Alfonso.
Pria bertubuh tinggi kekar itu membalikkan tubuhnya, melangkah keluar dari ruang kerja kakeknya yang menjadi tempat mereka berdua beradu mulut, dan membanting pintu sampai tertutup dengan bunyi keras.
Siena menatap pintu yang tertutup dengan geram. Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya dia lelah dengan semua ini. Gadis berambut lurus sebahu itu menghempaskan tubuhnya di atas kursi model klasik yang terdapat di tengah ruang kerja. Ia terduduk lemas dengan wajah muram, menarik napas dalam-dalam. Tak pernah diduganya kalau pertemuannya hari ini dengan Alfonso Garcia, satu-satunya cucu laki-laki dari Adalfo Garcia, malah berakhir dengan masalah baru.
"Sudah saya cek, Tuan Garcia…""Cek lagi! Itu tugasmu! Masa harus aku ajari bagaimana caranya?" Alfonso membentak melalui ponsel dalam genggaman tangannya. Ia sedang menelepon pengacaranya."Tapi surat wasiat itu memang sah, sudah didaftarkan oleh notaris Tuan Adalfo Garcia. Semuanya sudah sesuai ketentuan, tak ada yang bisa kita tuntut lagi --""Cari lagi! Apa pun yang bisa jadi celah! Kalau tak bisa dengan cara yang legal, pakai cara lain!""Tapi, Tuan Garcia, saya tak bisa melanggar hukum --""AAARGH!!" Alfonso meraung, melemparkan ponselnya ke lantai marmer sampai hancur berkeping-keping.Tubuh kekar setinggi lebih dari seratus delapan puluh sentimeter itu terhenyak ke atas sofa kulit mewah di belakangnya. Wajah keturunan latin itu seolah dinaungi kabut gelap, mata birunya berkilat-kilat penuh amarah. Belum pernah sekali pun dia kalah
Kebun di belakang rumah mewah Adalfo Garcia terbentang hampir seluas satu lapangan sepakbola. Semasa hidupnya, Adalfo memang sangat gemar berkebun. Kebun itu ditanami berbagai jenis pohon dan bunga. Adalfo juga mempekerjakan tukang kebun khusus untuk merawat kebun itu. Sebuah rumah kaca dibangun di sisi timur kebun untuk tanaman yang memerlukan penanganan khusus, terutama bunga-bunga yang menjadi favorit Adalfo.Siena sedang menyirami tanaman dalam rumah kaca, ketika dia menyadari, Damien Lambert tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Saat Siena menoleh, pengacara Adalfo berusia dua puluh sembilan tahun itu tersenyum padanya."Sepertinya kamu sudah betah tinggal di rumah ini, Siena…," sapa Damien.Siena memandangi pria keturunan Perancis yang berwajah menawan itu. Senyumnya yang ramah dan mata cokelatnya yang hangat membuat Siena yakin kalau pria itu tak pernah kesulitan untuk menarik perhatian wanit
Siena membaca lampiran surat wasiat Adalfo sekali lagi. Semua nama bunga itu ada di dalam rumah kaca Adalfo, kecuali satu. Apa itu Daunbrazil? Kening Siena berkerut lagi.Hari Sabtu, satu hari setelah Damien memberikan surat wasiat, Siena sedang berada di rumah kaca sekarang. Bertekad untuk memecahkan teka-teki yang diberikan kakek angkatnya, Siena mencermati satu persatu pot tanaman bunga yang namanya tertulis di surat. Diangkatnya pot pertama yang terbuat dari batu, bunga Honeysuckle. Bagian bawah pot? Tak ada tulisan apa-apa. Diputar-putarnya pot, mungkin di sisi kiri kanan pot? Tak ada apa-apa juga, kecuali ukiran yang memang sudah jadi satu dengan desain pot.Siena menghembuskan napas dengan kasar. Masa iya dia harus mencabut tanaman itu satu persatu, untuk melihat sampai ke dasar pot? Mungkinkah Adalfo sembunyikan sesuatu di dalam tanah yang mengisi pot? Tangan Siena terulur ragu-ragu."Grandpa, perma
"Apa yang kamu pikirkan?" Pertanyaan Damien menyadarkan Siena dari lamunannya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil limusin yang mengantarkan ke Hotel La Paradise."Oh… Tak ada, aku --""Kamu gugup?"Siena menggigit bibir bawahnya. "Yah, sedikit senewen…."Tangan kanan Damien terulur, menggenggam kedua tangan Siena yang ada di pangkuan. "Tenang saja, kamu Siena yang pemberani. Lagipula kamu kelihatan sangat memesona malam ini." Damien memuji penampilan Siena, yang mengenakan midi dress warna merah cherry dengan model off-shoulder. Terlihat sangat serasi dengan tubuh mungil Siena, sampai Damien ingin terus memandanginya.Siena tersenyum kaku. Entah kenapa, tangan Damien yang hangat menimbulkan desir aneh di dadanya. Pria itu juga sangat baik, mau menemaninya ke pesta yang sebenarnya tak termasuk dalam tugas pengacara.
Alfonso dan Gloria masuk ke dalam mobil Audi warna putih mengilap, meluncur dengan cepat meninggalkan Hotel La Paradise. Setelah beberapa menit dalam hening, Gloria melirik ke arah Alfonso yang diam saja."Jadi itu yang namanya Siena Mori? Penampilannya kelihatan sangat berbeda malam ini. Huh! Dia pasti hamburkan uang si tua Adalfo untuk beli segala make-up dan dress yang mewah. Tapi tetap saja dia terlihat norak, tak pantas untuk jadi kalangan jetset," cemooh Gloria.Alfonso hanya mengusap dagunya yang bercambang tipis dengan sebelah tangannya, tapi tak bereaksi. Dia masih berusaha mengenyahkan bayangan wajah gadis yang disebut Gloria dari benaknya."Honey Bear…," Gloria mulai merengek lagi. Mau tak mau, Alfonso menoleh memandang wanitanya."Aku lihat cara kamu menatap Siena. Kamu tidak sedang mabuk 'kan? Jangan katakan kalau kamu anggap gadis itu menarik…."
Siena menutup kopernya. Semua barang yang diperlukan sudah masuk ke dalam koper, sekarang tinggal menyiapkan tas selempangnya. Yang dia perlukan adalah dompet, paspor, barang-barang pribadi dan… foto Adalfo serta ibunya yang selalu dia bawa ke mana-mana. Dua jam lagi, pesawat pribadi milik Adalfo akan membawanya dan Damien menuju ke Dubai.Mendadak terdengar bunyi langkah kaki mendekat, seperti berlari ke arah kamarnya.Tok! Tok! Tok!Siena membuka pintu kamar tidurnya. "Lucio? Ada apa?"Pelayan yang setia itu berdiri di muka pintu, entah kenapa wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. "Nona Siena…," gagapnya.Dahi Siena mengernyit. "Kenapa, Lucio?""Tuan Alfonso Garcia sedang menunggu Nona di ruang tamu."*****Alfonso duduk di kursi bermodel antik di ruang tamu. Kedua tangannya ditumpangk
Flashback: Dua bulan yang laluSiena berjalan terburu-buru sepanjang trotoar yang ramai dengan pejalan kaki, dan masuk ke sebuah kafe di sebelah kirinya. Kafe berdinding kaca itu didominasi oleh warna-warna pastel yang lembut. Baru jam setengah delapan, tetapi kafe itu sudah penuh dengan pengunjung yang asyik menikmati sarapan."Selamat datang di Cheers Cafe!" sapa sebuah suara yang ramah."Hai, Brian! Orderanku yang biasa ya…," balas Siena, tersenyum pada barista pria yang berdiri di belakang meja konter.Pria berwajah oriental itu tersenyum manis, hingga sepasang matanya menyipit. Tubuhnya ramping, sedikit lebih tinggi daripada Siena. Rambut dan iris matanya yang hitam khas Asia, berpadu dengan wajahnya yang agak bulat, membuat pria itu terlihat hangat dan menyenangkan."Green tea latte, esnya sedikit, sudah aku siapkan dari
Flashback: Dua bulan yang lalu.Siena tiba di sebuah gedung berlantai sepuluh yang terletak beberapa blok dari Cheers Cafe. Kantor Angels Daily berada di lantai delapan gedung itu. Meskipun hanya sebuah kantor kecil, Siena sangat menikmati pekerjaannya. Penghasilannya juga lumayan. Yah, mungkin bukan penghasilan yang bisa membuat dia hidup mewah, tapi kepuasan yang dirasakannya jauh melebihi nilai gajinya."Siena…! Tahan lift-nya!" Suara teriakan melengking itu terdengar dari luar, saat Siena sudah berada di dalam lift.Siena buru-buru memencet tombol buka pintu. Seorang gadis sebaya Siena berlari tergopoh-gopoh menyelinap ke dalam lift, dengan ransel di bahunya, gelas kertas di tangan kirinya, dan seberkas map plastik di tangan kanannya. Sepertinya dia kerepotan membawa semua barangnya."Thanks, Siena Chan! Kamu memang paling baik!" celoteh gadis itu sambil tert