"Sudah saya cek, Tuan Garcia…"
"Cek lagi! Itu tugasmu! Masa harus aku ajari bagaimana caranya?" Alfonso membentak melalui ponsel dalam genggaman tangannya. Ia sedang menelepon pengacaranya.
"Tapi surat wasiat itu memang sah, sudah didaftarkan oleh notaris Tuan Adalfo Garcia. Semuanya sudah sesuai ketentuan, tak ada yang bisa kita tuntut lagi --"
"Cari lagi! Apa pun yang bisa jadi celah! Kalau tak bisa dengan cara yang legal, pakai cara lain!"
"Tapi, Tuan Garcia, saya tak bisa melanggar hukum --"
"AAARGH!!" Alfonso meraung, melemparkan ponselnya ke lantai marmer sampai hancur berkeping-keping.
Tubuh kekar setinggi lebih dari seratus delapan puluh sentimeter itu terhenyak ke atas sofa kulit mewah di belakangnya. Wajah keturunan latin itu seolah dinaungi kabut gelap, mata birunya berkilat-kilat penuh amarah. Belum pernah sekali pun dia kalah dengan orang lain, apalagi cuma seorang gadis mungil yang bukan siapa-siapa seperti Siena Mori!
Sesosok tubuh berlekuk sensual memakai mini dress warna biru berjalan mendekat, mengambil tempat duduk di samping Alfonso. Rambut pirangnya yang panjang sepunggung dikibaskan ke belakang. Wanita bermata lebar itu menggelayutkan tangannya dengan manja ke bahu sang pria.
"Honey Bear, jangan marah-marah terus… Itu sudah ponsel ketiga yang kamu rusak dalam sebulan ini," suara wanita itu mendesah di dekat telinga Alfonso. Aksen British-nya terdengar kental.
"Lama-lama aku bisa jadi gila gara-gara si tua dan gadis itu, Gloria…!" geram Alfonso. Sepasang matanya menatap nanar ke depan tanpa fokus.
Wanita bernama Gloria Stevens itu membelai pipi Alfonso, membuat wajah sang pria menoleh memandangnya. "Mana mungkin kamu bisa kalah dari gadis itu, Honey Bear? Dia cuma seorang gadis umur dua puluh empat tahun, dan tak punya pengaruh apa-apa. Sedangkan kamu? Kamu Alfonso Garcia yang hebat, ditakuti semua media…."
"Tapi aku bukan sedang berhadapan dengan media! Justru ini cuma seorang gadis yang bukan siapa-siapa…!" seru Alfonso dengan berang.
Senyuman terukir di bibir Gloria. Dia sudah terbiasa menghadapi prianya yang gampang tersulut emosi, dan dia tahu betul bagaimana menaklukkan Alfonso. "Apa kamu tahu kalau Siena Mori itu dulu juga seorang jurnalis? Lebih tepatnya kolumnis."
"Tentu saja aku tahu. Dia kolumnis di Angels Daily. Tapi sejak warisan Adalfo jatuh ke tangannya, dia langsung keluar dari pekerjaannya. Huh!" Alfonso mendengkus.
"Jelas saja! Buat apa lagi dia susah payah kerja, kalau semua harta itu sudah dimilikinya? Harta yang harusnya jadi milikku!" Alfonso mengumpat lagi dengan suara lantang.
"Honey Bear…"
Gloria melingkarkan tangannya ke leher Alfonso. Kalau boleh protes, Alfonso sebenarnya tak suka dipanggil dengan julukan seperti itu, membuatnya terlihat konyol. Tapi itu panggilan sayang yang diberikan wanitanya, yang entah kenapa begitu menyukai beruang.
"Cuma karena Siena Mori tak bekerja lagi sebagai kolumnis, bukan berarti dia tak meninggalkan jejak karyanya di media. Dari berita TV yang aku tonton kemarin, kabarnya dia sudah kerja dua tahun di Angels Daily. Dan sebelumnya, dia kuliah di California State University di Los Angeles. Pasti ada sesuatu yang bisa kamu temukan. Tulisan, skripsi, kolom, apa saja, yang bisa kamu pakai untuk ancam dia, Honey Bear…," celetuk Gloria.
Mata Alfonso melebar menatap wanita cantik berkulit putih yang wajahnya mengingatkan pada artis Hollywood, Margot Robbie. "Maksud kamu?"
"Yah…, carilah sesuatu yang jadi keahlian kamu, Honey Bear… Kamu kritikus. Kamu yang lebih tahu bagaimana cara jatuhkan seseorang lewat media. Si Siena Mori itu tak mungkin tak punya cela di masa lalu. Ah, semua jurnalis pasti punya... Itu tugas kamu. Korek masa lalunya, dan ancam dia dengan kesalahannya itu. Dengan begitu, mau tak mau, dia harus serahkan harta si tua Adalfo itu kembali ke kamu, pewarisnya yang seharusnya…," papar Gloria, sambil tersenyum penuh kemenangan.
Seketika raut wajah Alfonso yang tadinya muram kembali menjadi cerah. Bibirnya yang berkerut mulai mengembang. Ia meraih pinggang wanitanya ke dalam pelukannya.
"Gloria, itu ide yang paling brilian! Ternyata kamu memang benar-benar cerdas…!" pujinya setengah berbisik di telinga Gloria.
"Ah, Honey Bear… 'Kan sudah kubilang, aku lebih suka kamu panggil aku dengan panggilan sayangku…," rengek Gloria dengan suara manja.
Alfonso tersenyum geli. Walaupun Gloria memang suka norak dalam memberikan nama panggilan kesayangan, tapi tak apalah, selama wanita itu cukup cerdas untuk memberinya ide cemerlang. Itu juga sebabnya Gloria adalah wanita yang paling lama bertahan menjadi kekasihnya, dibandingkan wanita-wanita lain yang pernah bersamanya. Dia tak suka wanita yang membosankan.
"Cutie Pie…," panggil Alfonso. Bibirnya sudah mulai menelusuri leher mulus wanitanya, memberikan kecupan yang membuat sang wanita mendesah nikmat.
"Oh, Honey Bear…," rintih Gloria, menarik tubuh kekar Alfonso dengan tak sabaran, sehingga tubuh pria itu berbaring menindihnya di atas sofa. "Apa aku boleh minta hadiah karena sudah memberi ide tadi?" Mata Gloria yang indah berkedip-kedip menggoda, tangannya sudah mulai memainkan kancing kemeja Alfonso.
Seringai nakal menghiasi bibir Alfonso. "Sudah pasti, Cutie Pie… Berapa kali pun kamu mau, asal kamu mampu imbangi permainanku…," lirih Alfonso, sambil jarinya menggerayangi tubuh indah sang wanita.
Gloria terkikik. Suara tawanya dengan segera berganti menjadi suara desahan dan erangan penuh gairah. Sofa kulit di ruang tamu apartemen mewah itu menjadi saksi bergeloranya hasrat sepasang kekasih malam ini, sekaligus dimulainya rencana licik mereka berdua untuk menjerat Siena.
Kebun di belakang rumah mewah Adalfo Garcia terbentang hampir seluas satu lapangan sepakbola. Semasa hidupnya, Adalfo memang sangat gemar berkebun. Kebun itu ditanami berbagai jenis pohon dan bunga. Adalfo juga mempekerjakan tukang kebun khusus untuk merawat kebun itu. Sebuah rumah kaca dibangun di sisi timur kebun untuk tanaman yang memerlukan penanganan khusus, terutama bunga-bunga yang menjadi favorit Adalfo.Siena sedang menyirami tanaman dalam rumah kaca, ketika dia menyadari, Damien Lambert tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Saat Siena menoleh, pengacara Adalfo berusia dua puluh sembilan tahun itu tersenyum padanya."Sepertinya kamu sudah betah tinggal di rumah ini, Siena…," sapa Damien.Siena memandangi pria keturunan Perancis yang berwajah menawan itu. Senyumnya yang ramah dan mata cokelatnya yang hangat membuat Siena yakin kalau pria itu tak pernah kesulitan untuk menarik perhatian wanit
Siena membaca lampiran surat wasiat Adalfo sekali lagi. Semua nama bunga itu ada di dalam rumah kaca Adalfo, kecuali satu. Apa itu Daunbrazil? Kening Siena berkerut lagi.Hari Sabtu, satu hari setelah Damien memberikan surat wasiat, Siena sedang berada di rumah kaca sekarang. Bertekad untuk memecahkan teka-teki yang diberikan kakek angkatnya, Siena mencermati satu persatu pot tanaman bunga yang namanya tertulis di surat. Diangkatnya pot pertama yang terbuat dari batu, bunga Honeysuckle. Bagian bawah pot? Tak ada tulisan apa-apa. Diputar-putarnya pot, mungkin di sisi kiri kanan pot? Tak ada apa-apa juga, kecuali ukiran yang memang sudah jadi satu dengan desain pot.Siena menghembuskan napas dengan kasar. Masa iya dia harus mencabut tanaman itu satu persatu, untuk melihat sampai ke dasar pot? Mungkinkah Adalfo sembunyikan sesuatu di dalam tanah yang mengisi pot? Tangan Siena terulur ragu-ragu."Grandpa, perma
"Apa yang kamu pikirkan?" Pertanyaan Damien menyadarkan Siena dari lamunannya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil limusin yang mengantarkan ke Hotel La Paradise."Oh… Tak ada, aku --""Kamu gugup?"Siena menggigit bibir bawahnya. "Yah, sedikit senewen…."Tangan kanan Damien terulur, menggenggam kedua tangan Siena yang ada di pangkuan. "Tenang saja, kamu Siena yang pemberani. Lagipula kamu kelihatan sangat memesona malam ini." Damien memuji penampilan Siena, yang mengenakan midi dress warna merah cherry dengan model off-shoulder. Terlihat sangat serasi dengan tubuh mungil Siena, sampai Damien ingin terus memandanginya.Siena tersenyum kaku. Entah kenapa, tangan Damien yang hangat menimbulkan desir aneh di dadanya. Pria itu juga sangat baik, mau menemaninya ke pesta yang sebenarnya tak termasuk dalam tugas pengacara.
Alfonso dan Gloria masuk ke dalam mobil Audi warna putih mengilap, meluncur dengan cepat meninggalkan Hotel La Paradise. Setelah beberapa menit dalam hening, Gloria melirik ke arah Alfonso yang diam saja."Jadi itu yang namanya Siena Mori? Penampilannya kelihatan sangat berbeda malam ini. Huh! Dia pasti hamburkan uang si tua Adalfo untuk beli segala make-up dan dress yang mewah. Tapi tetap saja dia terlihat norak, tak pantas untuk jadi kalangan jetset," cemooh Gloria.Alfonso hanya mengusap dagunya yang bercambang tipis dengan sebelah tangannya, tapi tak bereaksi. Dia masih berusaha mengenyahkan bayangan wajah gadis yang disebut Gloria dari benaknya."Honey Bear…," Gloria mulai merengek lagi. Mau tak mau, Alfonso menoleh memandang wanitanya."Aku lihat cara kamu menatap Siena. Kamu tidak sedang mabuk 'kan? Jangan katakan kalau kamu anggap gadis itu menarik…."
Siena menutup kopernya. Semua barang yang diperlukan sudah masuk ke dalam koper, sekarang tinggal menyiapkan tas selempangnya. Yang dia perlukan adalah dompet, paspor, barang-barang pribadi dan… foto Adalfo serta ibunya yang selalu dia bawa ke mana-mana. Dua jam lagi, pesawat pribadi milik Adalfo akan membawanya dan Damien menuju ke Dubai.Mendadak terdengar bunyi langkah kaki mendekat, seperti berlari ke arah kamarnya.Tok! Tok! Tok!Siena membuka pintu kamar tidurnya. "Lucio? Ada apa?"Pelayan yang setia itu berdiri di muka pintu, entah kenapa wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. "Nona Siena…," gagapnya.Dahi Siena mengernyit. "Kenapa, Lucio?""Tuan Alfonso Garcia sedang menunggu Nona di ruang tamu."*****Alfonso duduk di kursi bermodel antik di ruang tamu. Kedua tangannya ditumpangk
Flashback: Dua bulan yang laluSiena berjalan terburu-buru sepanjang trotoar yang ramai dengan pejalan kaki, dan masuk ke sebuah kafe di sebelah kirinya. Kafe berdinding kaca itu didominasi oleh warna-warna pastel yang lembut. Baru jam setengah delapan, tetapi kafe itu sudah penuh dengan pengunjung yang asyik menikmati sarapan."Selamat datang di Cheers Cafe!" sapa sebuah suara yang ramah."Hai, Brian! Orderanku yang biasa ya…," balas Siena, tersenyum pada barista pria yang berdiri di belakang meja konter.Pria berwajah oriental itu tersenyum manis, hingga sepasang matanya menyipit. Tubuhnya ramping, sedikit lebih tinggi daripada Siena. Rambut dan iris matanya yang hitam khas Asia, berpadu dengan wajahnya yang agak bulat, membuat pria itu terlihat hangat dan menyenangkan."Green tea latte, esnya sedikit, sudah aku siapkan dari
Flashback: Dua bulan yang lalu.Siena tiba di sebuah gedung berlantai sepuluh yang terletak beberapa blok dari Cheers Cafe. Kantor Angels Daily berada di lantai delapan gedung itu. Meskipun hanya sebuah kantor kecil, Siena sangat menikmati pekerjaannya. Penghasilannya juga lumayan. Yah, mungkin bukan penghasilan yang bisa membuat dia hidup mewah, tapi kepuasan yang dirasakannya jauh melebihi nilai gajinya."Siena…! Tahan lift-nya!" Suara teriakan melengking itu terdengar dari luar, saat Siena sudah berada di dalam lift.Siena buru-buru memencet tombol buka pintu. Seorang gadis sebaya Siena berlari tergopoh-gopoh menyelinap ke dalam lift, dengan ransel di bahunya, gelas kertas di tangan kirinya, dan seberkas map plastik di tangan kanannya. Sepertinya dia kerepotan membawa semua barangnya."Thanks, Siena Chan! Kamu memang paling baik!" celoteh gadis itu sambil tert
Flashback: Satu bulan yang lalu.BRUKKK!Alfonso Garcia membanting ponselnya ke atas meja kerjanya dengan kasar. Ponsel itu tidak hancur, tapi minimal layarnya pasti retak. Alfonso sudah tak ambil pusing lagi. Hatinya sedang membara saat ini.Dia baru saja selesai membaca tulisan bersambung di kolom Angels Daily. Apalagi kalau bukan kisah hidup Adalfo Garcia, kakeknya.Alfonso benar-benar tak percaya, Adalfo rela membuka seluruh kisah hidupnya di media seperti itu! Sesuatu yang sangat bertentangan dengan sifat Adalfo selama ini. Yang paling membuat Alfonso murka adalah pengakuan jujur Adalfo, tentang bagaimana dia menjadi penyebab berpisahnya ayah dan ibu Alfonso sendiri.Beginilah isi pengakuan Adalfo:"Akulah yang harus disalahkan, karena aku menolak merestui pernikahan Alberto dengan wanita yang dicintainya. Mereka pergi