Giliran Alfonso dan Siena yang membeku di tempat. Mereka menatap Nyonya Belova dengan mata terbelalak, tak mengerti maksudnya.
Nyonya Belova menghela napas berat. "Maaf, harusnya aku jelaskan dari awal. Aku bukan Elena Belova. Namaku Irina Belova. Elena adalah kakak kandungku."
Oh, astaga! Siena mengeluh dalam hati. Kenapa tak ada yang menjelaskan semuanya dari awal pada mereka? Dengan begitu tak perlu terjadi salah paham seperti ini.
Siena memegang lengan Alfonso lagi. Dengan tatapan matanya, ia meminta Alfonso duduk kembali. Setelah Alfonso dan Siena duduk, Irina juga ikut duduk. Para pengunjung lain dan pelayan kafe yang sebelumnya menjadikan keributan tadi sebagai tontonan akhirnya mengalihkan pandangan mereka, dan kembali ke kesibukan masing-masing.
"Maaf, Nyonya Belova…. Bisa tolong Anda jelaskan lebih jauh?" Siena yang mulai bertanya lebih dulu, karena Alfonso tampak masih
Alfonso berdiri terpana di depan sebuah makam batu yang terawat baik. Tulisan pada nisan makam itu adalah: Elena Belova, istri tercinta dari Alberto Garcia, ibunda terkasih dari Alfonso Garcia."Elena sendiri yang minta tulisan pada nisannya itu," terang Irina, seolah paham apa yang dipikirkan Alfonso.Dada Alfonso terasa sesak, perasaan haru seakan mencekik lehernya. Ibunya tak pernah melupakan dia dan ayahnya. Nama mereka justru tercantum pada nisan ibunya. Kenapa ayahnya tak pernah bercerita yang sejujurnya tentang ibunya?"Jangan salah paham, Alfonso. Semasa hidupnya, ayahmu selalu rutin kunjungi makam Elena setidaknya tiga kali setahun. Tapi dia tak pernah sanggup mengajakmu. Mungkin rasa pedih dan bersalah masih terus menghantui Alberto seumur hidupnya. Dia merasa bersalah tak bisa dampingi Elena di saat terakhir, biarpun itu semua demi permintaan Elena sendir
(Warning! 21+ only)"Terima kasih, Cherry….""Untuk apa?""Untuk memahami perasaanku." Alfonso mengangkat wajahnya dari pelukan Siena, menatap ke dalam mata hazel Siena. Ia sudah berhenti menangis.Siena mengulurkan tangannya, menghapus air mata di pipi Alfonso. "Kamu tak pernah sendirian, Alf.…"Mendadak seperti ada yang bersinar di mata Alfonso. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Ternyata itu adalah kalung batu safir biru yang diberikan Irina saat mereka berada di makam. Alfonso berdiri, menggenggam tangan Siena erat-erat."Cherry…, kalung ini adalah tanda cinta Ayahku untuk Ibuku. Sekarang, kalung ini kuberikan pada wanita yang telah menemaniku selama ini, menjadi penghiburanku, dan memahami setiap perasaanku. Hanya bersamanya
Siena menggeliat di atas kasur empuk. Matanya masih terpejam dengan nyamannya. Rasanya dia tak ingin terbangun. Dia hanya ingin terus berbaring, mengenang kembali indahnya malam yang dilaluinya bersama Alfonso.Alfonso mengulurkan tangannya memeluk pinggang Siena dengan protektif, waktu dia merasakan Siena mulai terbangun. Nyatanya dia sendiri sudah bangun hampir setengah jam yang lalu. Dan yang dia lakukan hanyalah menatap gadis yang berbaring di sampingnya, mengagumi kecantikan dan keindahan Siena. Rasanya dia tak akan pernah bosan memandangi Siena.Hati Alfonso masih meluap dengan rasa puas dan bahagia karena kejadian semalam. Semalam adalah pengalaman yang benar-benar baru baginya. Dia sadar, Siena memang bukan untuk dibandingkan dengan siapa pun. Dia bercinta dengan Siena dengan segenap hatinya. Bukan lagi nafsu, tapi cinta yang menguasainya!Dia tak pernah tah
Mata Siena tak henti menatap wanita yang berjalan lurus ke arahnya. Dia yakin sekali itu adalah Gloria, mantan kekasih Alfonso, biarpun dia baru satu kali melihat Gloria.Mau apa Gloria? Mencari Alfonso? Bagaimana Gloria bisa tahu mereka ada di Melbourne ini?"Hallo, Siena…," sapa Gloria. Senyum dan tatapan matanya sulit diartikan. "Aku yakin kamu tahu siapa aku. Jadi aku tak perlu perkenalkan diriku lagi. Boleh aku bicara denganmu sebentar?"Tanpa menunggu jawaban, Gloria langsung duduk di kursi berhadapan dengan Siena. Siena tak yakin bagaimana harus bereaksi."Kamu mencari aku?" Itu reaksi pertama Siena."Ya."Siena memutar otaknya. Apa yang mungkin mau dibicarakan oleh Gloria? Apakah Gloria sengaja datang untuk ribut dengannya? Ah, dia tak suka keribut
Alfonso keluar dari ruang kerja Irina satu jam kemudian. Senyumnya mengembang karena akhirnya dia berhasil juga membujuk Irina. Irina tak keberatan jika makam ibunya dipindahkan ke Los Angeles, untuk ditempatkan bersebelahan dengan makam Kakek dan Ayahnya kelak. Sekarang rasanya ia tak sabar bertemu Siena untuk menyampaikan kabar baik ini.Alfonso berjalan ke arah kafe tempat Siena menunggu. Siena tidak terlihat. Langkahnya langsung terhenti di tempat, saat menyadari siapa yang dilihatnya sedang duduk di depan salah satu meja kafe. Gloria?"Hai, Alfonso…." Gloria tersenyum lebar menyapanya.Seketika perasaan Alfonso menjadi tidak nyaman. "Apa yang kamu lakukan di sini? Di mana Siena?" tanyanya dengan gusar."Kenapa kamu selalu tak ramah padaku?""Jangan bicara basa-basi lagi! Bagaimana kamu
Mata Alfonso beradu pandang dengan mata Gloria. Alfonso sadar mereka berdua sama-sama keras kepala. Jika dia menggunakan cara kasar, Gloria mungkin akan tambah tutup mulut, dan dia tak akan mendapatkan informasi apa pun."Aku harap kamu jaga kesehatanmu, Gloria. Menurut dokter, kamu harus banyak istirahat dan hindari kecapekan." Alfonso berusaha menjaga suaranya setenang mungkin. "Kamu datang sendirian ke Melbourne ini?""Memangnya mau sama siapa lagi? Aku sendirian sejak kamu tinggalkan aku, Alfonso…." Gloria sengaja memancing rasa bersalah Alfonso.Alfonso duduk di pinggir tempat tidur Gloria, matanya terus menatap penuh perhatian. "Kenapa kamu begitu nekat, Gloria? Bukankah kamu sedang hamil? Tak seharusnya kamu lakukan perjalanan jauh, sendirian lagi…. Kamu bisa bahayakan janinmu."Mendengar suara lembut Alfonso,
Alfonso mengangkat ponselnya, panggilan masuk dari James, asistennya. Saat ini, dia dan Gloria sedang menuju ke bandara untuk naik pesawat kembali ke Los Angeles."Bagaimana, James?""Tuan, saya minta maaf. Tapi pesawat saya ke Los Angeles ditunda sampai besok pagi karena cuaca buruk. Di New York sedang turun salju," suara James terdengar buru-buru.Alfonso memejamkan matanya, berusaha menahan emosinya. Jika pesawat James ditunda sampai besok pagi, kemungkinan besar James tak bisa menemukan Siena karena pesawat yang ditumpangi Siena sudah mendarat lebih dulu."Oke, James, tak apa-apa. Segeralah berangkat besok. Aku butuh kamu. Akan kukabari lagi nanti," tanggap Alfonso. Lalu ia mematikan teleponnya.Sial! Segala sesuatu tak berjalan sesuai harapannya! Alfonso menundukkan kepala, menutupi wajah den
"Masuklah, Siena…."Siena melangkah masuk ke dalam unit apartemen Brian. Dia tidak asing dengan tempat tinggal Brian, karena dia sudah pernah beberapa kali berkunjung ke sini bersama Imelda dan teman-teman mereka yang lainnya. Lagipula apartemen Brian letaknya tidak jauh dari bekas apartemennya dulu."Kamu boleh pakai apa saja yang ada di sini. Tempat tidur, kamar mandi, semuanya, anggap saja rumah sendiri," lanjut Brian. "Tunggu sebentar, biar kubelikan kamu makanan. Kamu suka ramen yang dijual dekat apartemenku ini 'kan?""Oh, Brian, kamu masih ingat saja kesukaanku….""Tentu saja. Aku selalu ingat," ucap Brian sambil tersenyum.Senyum Brian menghangatkan hati Siena. "Terima kasih, Brian.""Mandilah dan istirahat, Siena." Kemudian Brian keluar men