Flashback: Dua bulan yang lalu
Siena berjalan terburu-buru sepanjang trotoar yang ramai dengan pejalan kaki, dan masuk ke sebuah kafe di sebelah kirinya. Kafe berdinding kaca itu didominasi oleh warna-warna pastel yang lembut. Baru jam setengah delapan, tetapi kafe itu sudah penuh dengan pengunjung yang asyik menikmati sarapan.
"Selamat datang di Cheers Cafe!" sapa sebuah suara yang ramah.
"Hai, Brian! Orderanku yang biasa ya…," balas Siena, tersenyum pada barista pria yang berdiri di belakang meja konter.
Pria berwajah oriental itu tersenyum manis, hingga sepasang matanya menyipit. Tubuhnya ramping, sedikit lebih tinggi daripada Siena. Rambut dan iris matanya yang hitam khas Asia, berpadu dengan wajahnya yang agak bulat, membuat pria itu terlihat hangat dan menyenangkan.
"Green tea latte, esnya sedikit, sudah aku siapkan dari
Flashback: Dua bulan yang lalu.Siena tiba di sebuah gedung berlantai sepuluh yang terletak beberapa blok dari Cheers Cafe. Kantor Angels Daily berada di lantai delapan gedung itu. Meskipun hanya sebuah kantor kecil, Siena sangat menikmati pekerjaannya. Penghasilannya juga lumayan. Yah, mungkin bukan penghasilan yang bisa membuat dia hidup mewah, tapi kepuasan yang dirasakannya jauh melebihi nilai gajinya."Siena…! Tahan lift-nya!" Suara teriakan melengking itu terdengar dari luar, saat Siena sudah berada di dalam lift.Siena buru-buru memencet tombol buka pintu. Seorang gadis sebaya Siena berlari tergopoh-gopoh menyelinap ke dalam lift, dengan ransel di bahunya, gelas kertas di tangan kirinya, dan seberkas map plastik di tangan kanannya. Sepertinya dia kerepotan membawa semua barangnya."Thanks, Siena Chan! Kamu memang paling baik!" celoteh gadis itu sambil tert
Flashback: Satu bulan yang lalu.BRUKKK!Alfonso Garcia membanting ponselnya ke atas meja kerjanya dengan kasar. Ponsel itu tidak hancur, tapi minimal layarnya pasti retak. Alfonso sudah tak ambil pusing lagi. Hatinya sedang membara saat ini.Dia baru saja selesai membaca tulisan bersambung di kolom Angels Daily. Apalagi kalau bukan kisah hidup Adalfo Garcia, kakeknya.Alfonso benar-benar tak percaya, Adalfo rela membuka seluruh kisah hidupnya di media seperti itu! Sesuatu yang sangat bertentangan dengan sifat Adalfo selama ini. Yang paling membuat Alfonso murka adalah pengakuan jujur Adalfo, tentang bagaimana dia menjadi penyebab berpisahnya ayah dan ibu Alfonso sendiri.Beginilah isi pengakuan Adalfo:"Akulah yang harus disalahkan, karena aku menolak merestui pernikahan Alberto dengan wanita yang dicintainya. Mereka pergi
Flashback: Satu minggu yang lalu.Sebuah mobil limusin warna hitam mengilap berhenti di depan rumah mewah Adalfo Garcia di kawasan Beverly Hills. Terburu-buru Siena keluar dari mobil itu. Adalfo sengaja mengutus sopir pribadinya untuk menjemput Siena. Pria itu meminta untuk segera bertemu.Siena berlari tergopoh-gopoh ke kamar tidur Adalfo. Menurut Lucio, Adalfo hanya berbaring di tempat tidurnya selama dua hari terakhir ini. Dalam hatinya, Siena gelisah. Dia tahu Adalfo menderita penyakit jantung koroner, dan sudah pernah menjalani operasi bypass. Namun kondisi kesehatan kakek angkatnya itu memang cenderung menurun belakangan ini."Grandpa…," sapa Siena, saat tiba di depan pintu kamar Adalfo. Dadanya naik turun, napasnya masih terengah-engah karena berlari.Adalfo berbaring di atas tempat tidur berukuran besar di tengah kamar tidur yang luas. Ia langsung menoleh
Perjalanan yang paling menantang dalam hidup kita adalah perjalanan menemukan jati diri kita sendiri.***Kembali ke saat ini.Siena duduk dengan wajah muram di dalam jet pribadi milik Adalfo. Alfonso duduk di kursi lain, agak jauh di seberangnya. Tapi Siena tahu, dari tadi mata tajam Alfonso berulang kali melirik ke arahnya, seakan sedang mengawasi.Ponsel Siena berbunyi. "Hallo, Damien….""Siena, apa yang kamu lakukan?" Suara Damien terdengar sangat panik. "Kamu tak boleh pergi ke Dubai dengan Alfonso! Pria itu berbahaya! Aku sedang menuju ke bandara sekarang, kamu harus tunggu aku! Jangan pergi tanpa aku!" perintah Damien.Siena melirik ke Alfonso. Pria itu sedang memandanginya sambil tersenyum culas."Damien, maafkan aku…. Aku tak bisa jelaskan semuanya sekarang, tapi aku tetap har
Setahu Siena, mereka sudah berkendara lebih dari setengah jam dari pusat Kota Dubai yang mewah dan penuh gedung pencakar langit. Makin jauh dari pusat kota, suasana yang terlihat makin kontras. Bangunan pabrik dan perumahan sederhana mendominasi. Mobil Mercedes Benz hitam yang mereka tumpangi berhenti di depan bangunan luas nan tinggi, yang lebih terlihat seperti rumah susun."Kita sudah sampai di Rumah Aman," sang sopir sekaligus karyawan Hotel Adalfo itu memberitahu.Siena memandang keluar. Bangunan itu jauh dari kata mewah, kondisinya hampir mirip apartemen yang sebelumnya disewa Siena, sederhana dan bersih. Hanya saja, lingkungan sekitar yang cenderung gersang, panas, dan berdebu membuatnya terlihat kusam.Siena membuka pintu mobil. Tapi Alfonso tak bergerak sedikit pun."Kamu tak ikut turun?" tanya Siena."Aku di mobil saja. Di luar terlalu panas. Lagipula cuma
Seringai lebar muncul di wajah Alfonso, puas rasanya bisa menakut-nakuti Siena. "Gampang saja. Ikuti semua yang aku mau. Cuma itu," tandas Alfonso dengan enteng."Tapi apa yang kamu mau? Kamu tak bisa seenaknya perintah aku begitu saja!" Siena menggeram.Alfonso menyandarkan tubuhnya dengan nyaman pada jok mobil, seiring dengan mobil yang terus meluncur kembali ke pusat kota. "Mulai saja dulu dengan temani aku keliling Kota Dubai."Alfonso benar-benar serius dengan kata-katanya. Dia memerintahkan sang sopir untuk membawa mereka berkeliling pusat Kota Dubai. Menjelang petang, Alfonso minta diturunkan di sebuah pusat perbelanjaan besar yang padat pengunjung. Lalu dia mengajak Siena masuk ke sebuah butik mewah. Dalam sekejap, gadis pramuniaga butik langsung melayaninya dengan penuh semangat."Gara-gara kamu, aku tak sempat bawa pakaian ganti sama sekali. Jadi kamu yang harus bayar semua ya
Siena memilih menikmati minuman di gelasnya daripada menikmati suasana klub malam. Dia tak kenal siapa-siapa di situ, dia juga tak tertarik untuk menari atau berbaur."Apa sih enaknya datang ke klub malam? Rasanya masih banyak tempat wisata lain yang lebih bagus di Dubai," mulut Siena masih mengomel sendiri."Selamat malam…," sapa sebuah suara berat di belakangnya.Siena memutar kursinya ke belakang. Dua orang pria berumur tiga puluh tahunan tersenyum padanya. Yang satu berambut pirang dan bermata cokelat, yang satu lagi berambut cokelat dan bermata biru gelap. Mereka berdua memakai setelan jas mewah."Kamu sendirian, Nona?" tanya si rambut pirang. "Sepertinya kamu orang baru di sini. Kami sudah sering ke klub ini, tapi belum pernah lihat kamu."Siena bisa menghirup aroma alkohol yang tajam dari mulut mereka berdua. Instingnya langsung waspada. "Mmm…,
Siena masih berguling-guling di atas tempat tidurnya lama setelah dia berbaring. Matanya seperti tak mau terpejam. Pikirannya terus memutar ulang semua kejadian hari ini. Di satu sisi, dia marah sekali dengan tindakan Alfonso yang 'menculiknya', sampai-sampai dia terpaksa datang ke Dubai bersama pria itu. Padahal dia dan Damien sudah mempersiapkan semua rencana mereka. Di sisi lain, dia heran kenapa Alfonso mau menolongnya waktu di klub malam. Alfonso bahkan menghajar pria berengsek yang mengusiknya."Apa aku harus ucapkan terima kasih?" gumam Siena. Sedetik kemudian, dia menggeleng-geleng. "Enak saja, dia yang culik aku ke Dubai. Dia juga yang paksa aku ke klub malam itu!" gerutunya.Namun dalam hati, dia mengagumi gerakan bela diri yang ditunjukkan Alfonso. Waktu masih kecil dan tinggal di Jepang, kakek kandung Siena pernah mengajarinya teknik Aikido. Siena masih terus ingat teknik bela diri sederhana itu untuk melindungi dir