Eddo baru bisa menemui Kanaya malam hari dimana pagi harinya Kanaya bertemu dengan Angkasa. Ia harus bisa mencari waktu yang pas agar semua berjalan lancar tanpa ada kecurigaan dari kedua belah pihak. Apalagi, Kanaya juga tidak tahu kalau Eddo sebenarnya sudah menikah.
Eddo menikahi Tiara yang penyakitan karena desakan ekonomi. Ia juga ingin membantu Kanaya melebarkan sayap bisnisnya dengan posisi yang ia miliki saat ini karena telah menjadi bagian dari keluarga Wijaya."Nay, maaf malam itu aku harus ninggalin kamu sendirian di kamar karena asistenku nelpon mendadak. " kata Eddo berbohong. Ia tak mau mengatakan yang sejujurnya karena ini bisa membuat Kanaya gelisah."Iya nggak apa-apa." jawabnya dengan pikiran yang berkelana kepada ucapan Angkasa tadi pagi. Ia terpaksa tak jujur sebab takut akan penilaian Eddo kepadanya."Oh ya, Kamu pulang sama siapa? Sory banget ya Nay, waktu itu, aku harus pulang karena ada pekerjaan mendadak. Kamu mabuk dan aku terpaksa ninggalin kamu di kamar hotel. Aku takut orang tua kamu marah kalau tahu kamu pulang dalam keadaan mabuk!"tutur Eddo muram.Tapi dari sederet penjelasan panjang Eddo, Kanaya justru hanya notice dengan satu hal."Do, kamu yakin ninggalin aku di kamar hotel 233?" tanya Kanaya ragu-ragu.Membuat Eddo mengerutkan kening." Yakin lah, memangnya kenapa?"Kanaya seketika menggeleng menepis keraguan. Pasalnya ia ingat betul jika kamar yang ia huni adalah kamar nomor 321. Kamar yang hanya di huni oleh orang kelas atas. Tapi ia tidak boleh mengatakan hal ini. Ia tidak mau bila Eddo tahu soal dirinya yang bermalam dengan pria asing."Nay, kenapa malah diam? Aku benar-benar minta maaf!" Eddo memegang tangan Kanaya dan takut kalau kekasih gelapnya itu marah."Enggak apa-apa Do. Aku, cuman akan sibuk akhir-akhir ini. Aku juga minta maaf sama kamu kalau aku sempat berpikiran buruk sama kamu. Dan, makasih ya. Kamu banyak banget transfer aku uang. Yang kemarin saja masih utuh Do. Aku belum butuh- butuh banget!""Ga apa-apa. Lagipula, itu biar kamu bisa beli yang kamu mau. Ya, kamu tahu kan aku jarang bisa nyempetin waktu buat kamu semenjak aku pegang perusahaan!"Kanaya sungguh tak berani bercerita jika 'keadaannya' kini sudah berbeda karena ia berpikir jika kesuciannya telah renggut oleh pria itu. Meski sebenarnya ia tak yakin akan ucapan pria itu sebab ia tak merasakan apapun, tapi ia sungguh takut kalau Eddo akan tahu jika dirinya bermalam dengan pria lain. Foto itu sungguh menjadi ancaman buatnya."Kamu terlihat pucat. Kamu sakit?"Kanaya menggeleng. "Aku nggak apa-apa. Oh ya, kamu mau pulang sekarang? Ini ada kue buat kamu. Di makan ya?"Eddo tersenyum senang ketika menerima makanan yang di masak sendiri oleh Kanaya. Inilah yang dia suka dari Kanaya. Wanita itu mandiri dan pandai memasak dan membuat apapun."Aku pulang dulu ya. Banyak laporan yang belum aku cek!"Naya akhirnya berpisah dengan Eddo. Dan semua hal itu di lihat oleh Daniel yang langsung melaporkannya kepada Angkasa.BRAK!Angkasa menggebrak meja sebab murka ketika menerima laporan bahwa Eddo kembali datang menemui wanita itu. Sepertinya ia harus bergerak cepat.Beberapa waktu kemudian, ia langsung turun ke bawah dan menghadang langkah Eddo yang terkejut bukan main demi melihat kakak iparnya tiba-tiba berdiri menyambutnya di jam selarut itu."Kakak, ke-kenapa ada di sini malam-malam begini?" tanya Eddo dengan terbata-bata.Tapi Angkasa langsung merangsek maju mendekat ke arah Eddo."Kalau sedikit saja adikku kau lukai. Aku tidak akan segan-segan akan melenyapkan mu!"Eddo sampai terhuyung usai di dorong kuat oleh angkasa. Ia sontak ketakutan. Eddo seketika tercenung sesaat setelah deru mobil mulai menjauh. Apa maksud ucapan kakaknya barusan ?Menyakiti?"Apa dia tahu soal Kanaya?" gumam Eddo sembari berpikir, " Ah tidak mungkin. Dia orang sibuk dan aku menemui Kanaya sangat jarang. Tidak, pasti karena aku sering pulang larut makanya dia berkata seperti itu. Sial, sakit sekali leherku!"Keesokan harinya, Angkasa yang tak sabar akhirnya mendatangi kediaman Kanaya. Jangan di tanya dari mana dia mendapatkan alamat Kanaya. Uang selalu bisa memangkas birokrasi rumit yang menyusahkan."Aku ingin bertemu dengan Irwan!"Wanita yang di sinyalir merupakan pembantu di keluarga Kanaya itu langsung undur diri dari hadapan Angkasa. Beberapa saat kemudian, datang seorang laki-laki yang rambutnya sudah di tumbuhi uban bersama seorang wanita yang mungkin istrinya dan seorang perempuan lagi berambut pendek yang usianya mungkin hampir sama dengan Angkasa."Maaf, siapa anda, dan ada keperluan apa?"Angkasa seketika membalikkan badannya, " Kenalkan. Saya Asa!" jawabnya yang malah mengucapkan nama asli.Irwan menjabat tangan Angkasa meskipun ia tak mengenali laki-laki itu. Daniel terlihat diam di belakang bosnya dan mengamati setiap gerak-gerik keluarga Kanaya. Meskipun ia sedikit takut karena kenapa angkasa tidak mengucapkan nama samaran saja."Sebelumya saya meminta maaf. Tapi hal ini harus segera saya bicarakan. Apakah, Kanaya tidak menceritakan hal ini kepada anda?""Soal apa?"Ketiga orang itu makin bingung." Saya sudah lama menjalin hubungan dengan anak anda. Dan...saya harus segera mempertanggungjawabkan perbuatan saya karena saya dan Kanaya..."" Mempertanggungjawabkan? Memangnya apa yang kalian lakukan?"Sejak saat itu, Kanaya Kanaya kembali mengganti nomor ponselnya karena ia tak ingin lagi membuat Eddo semakin tersiksa. Dan Angkasa tentu saja selalu mengetahui dan kembali meminta Daniel untuk menyabotase ponselnya. Ia harus tetap tahu pergerakan perempuan itu. Tak terasa sudah lewat dua bulan. Kanaya mulai terbiasa jika Angkasa pergi berhari-hari lalu pulang tiba-tiba. Ia tak mempersoalkan semua itu. Lagipula ia seperti kehilangan kehendak bebasnya. Ia selalu kalah jika menyangkut kebahagiaan orangtuanya yang selalu berapi-api kala membicarakan Angkasa.Apalagi, ucapan Ayahnya dua bulan lalu semakin membuat dirinya menyerah. "Ayah sangat senang dengan suami kamu. Saat Ayah ajak bertemu dengan teman-teman Papa, mereka semua memuji suami kamu. Angkasa sangat cerdas dan rendah hati. Padahal uangnya banyak. Ayah baru di beri lagi tadi. Ayah merasa bahagia. Terimakasih Nak!" Sebenarnya, justru Talita lah yang memiliki kecenderungan sifat seperti sang Ayah. Materialistis dan cenderu
Eddo menarik tangan Kanaya sedikit kencang karena perasaan ingin tahu yang teramat menggelegak. Selain itu, ia yang lama tak bertemu memiliki kerinduan yang mendalam. "Apa benar kalau kau sudah menikah?" Kanaya, dengan kacamata yang masih belum terlepas menatap Eddo yang terlihat kecewa. Ia menelan ludah gugup. Bom yang selama ini ia bawa kemana-mana meledak sudah. "Maaf!" Hanya itu, hanya itu yang bisa Kanaya ucapkan dengan wajah tertunduk. Seketika suasana sunyi, hening. Ada sejumput rasa sesak yang tiba-tiba hadir. Andai saja ia lebih cepat, andai saja ia tak menunda, andai...andai...andai.... Eddo tak bisa menjawab dan air mukanya terlihat sangat kecewa. Eddo menitikkan air mata. Ia sungguh tak tahu harus berbuat apa. "Siapa suami mu? Dengan siapa kau menikah?" Dengan leher yang serasa tercekat Eddo berusaha angkat suara. "Eddo, aku sudah berusaha memutuskan hubungan kita agar kau tak merasa tersakiti, tapi..." "Tapi bukan itu seharusnya jalan keluarnya!" teria
"Ada apa mas?" Tiara bertanya sembari menatap heran suaminya yang terlihat seperti orang shock. Eddo membuka selimutnya dan mendapati jika dirinya memang telah telanjang. Kini jelas sudah, dia pasti semalam mabuk dan akhirnya melakukan hubungan dengan Tiara. Ah sial! "Mas kenapa pucat begitu, mas masih pusing?"Eddo menggeleng dengan frustasi. Ia frustasi bukan karena apapun, ia frustasi karena teringat dengan Kanaya. Ya, pria itu benar-benar hanya memikirkan Kanaya saat ini. "Aku mau mandi dulu!"Tiara diam dan tampak kebingungan ketika Eddo langsung pergi dengan muka suntuk. Pria itu di kamar mandi semakin tampak terpukul. Ia mabuk karena tak kuasa menerima kabar dari Reny, dan ketika sadar justru ia semakin merasakan sakit. Ia harus mencari Kanaya, ia harus membicarakan masalah ini, begitu pikir Eddo. Di kediaman Irwan, Talita yang di jam siang ini tumben sudah pulang terkejut dengan keberadaan Angkasa dan Kanaya di dalam rumahnya. "Naya?" pekik Talita tak menyangka."Surpris
"Mas, kamu mabuk?" Tiara dengan perasaan campur aduk langsung memapah suaminya yang hampir ambruk karena tak kuat menjaga keseimbangan. "Eugghhh!" racau Eddo yang merasa kepalanya sangat berat. Tiara yang khawatir langsung mengajak masuk suaminya lalu merebahkannya di atas ranjang. Dengan cemas, Tiara membantu melepaskan sepatu Eddo, kaos kaki juga jasnya dengan susah payah. Setalah itu, Tiara mengambil air hangat untuk menyeka leher, tangan juga wajah suaminya. Tiara dengan telaten menyeka tubuh suaminya dan berharap mengurangi rasa tak nyaman yang pasti mendera suaminya. Sebenarnya ada apa? Tumben suaminya mabuk sampai seperti ini. Apa ada masalah di kantor? "Naya!" DEG Tiara mengerutkan kening melihat suaminya yang meracau. Dan, tunggu sebentar. Siapa yang di panggil suaminya itu? "Mas!" Tiara menepuk pipi suaminya. Tapi sentuhan itu tiba-tiba membuat Eddo membuka matanya. Tangan lembut itu seolah membuat bangkit sisi maskulinnya. Eddo membuka matanya dan dia seolah
Karena dorongan rasa penasaran, setibanya di rumah Kanaya cepat-cepat menelpon nomor Eddo. Semula Kanaya ragu, tapi desakan dalam diri nya seolah menuntut untuk mencari jawaban. Dan dalam beberapa detik saja pria itu menjawab panggilannya. "Naya, tumben kamu telepon malam-malam. Ada apa?" Dan Kanaya pun menjadi bingung harus mengatakan apa. Apalagi, nada suara Eddo terdengar cemas. "Nggak apa-apa. Aku, cuman belum bisa tidur." jawabnya sembari menggigit bibir. "Aku juga. Kangen banget sama kamu!" "Kamu, lagi dimana?" tanya Kanaya kembali ingin memvalidasi apa yang ia lihat tadi tanpa merespon kalimat mendayu Eddo. "Di rumah lah di mana lagi sayang?" Kanaya tercenung. Jelas-jelas dia melihat Eddo tadi di rumah sakit. Tapi, kenapa pria itu bisa ke sana? Siapa yang sakit? "Halo!" seru Eddo karena komunikasi tiba-tiba berubah sunyi. "Emmm Do, maaf... tapi, setelah aku berpikir panjang, aku beneran pingin kita udahan!" Tapi Eddo justru tergelak, tentu saja laki-laki tak
Kanaya menepis tangan pria berkemeja putih bercelana pendek berwarna krem itu dengan takut. Orang macam itu mungkin saja bakal punya niat buruk kepadanya. Alhasil, meskipun sakit yang ia rasa di kaki luar biasa perih, tapi Kanaya terus berlari dan membuat luka di kakinya makin koyak. Pria yang masih berdiri mematung di sana akhirnya hanya bisa menatap Kanaya yang pergi sembari tercenung. Setelah berlari ngos-ngosan, Kanaya buru-buru membuka pintu gerbang ketika Tian tampak berjalan keluar. Membuat pria itu terkejut bukan main . "Ibu, Ibu sudah pulang?" tanya Tian yang heran dengan penampilan Kanaya yang bajir keringat Kanaya tak langsung menjawab. Ia kesal, tapi ia segera pergi sebab kakinya benar-benar sakit. Ia berjalan terpincang-pincang dan membuat si pembantu membulatkan matanya. "Astaga, kaki Ibu kenapa?" tanya Tian seketika berubah panik demi melihat cara berjalan Kanaya. "Yura, Yura! Cepat kemari!" teriak Tian sembari berjalan mengejar sang majikan. Maka yang di
Eddo yang menunggu sendiri di depan ruang tindakan, tampak mengambil ponsel dari dalam pouchnya. Ia langsung membelalakkan matanya ketika melihat jejak nomor Kanaya yang beberapa menit yang lalu menelponnya. Ah sialan, ponselnya rupanya dalam mode silent sebab beberapa waktu yang lalu sengaja ia matikan. Ia sangat mengharapkan kabar Kanaya, tapi saatnya sangat tidak pas. Namun bukan Eddo namanya jika tidak memprioritaskan Kanaya. Ia tiba-tiba beranjak pergi dan menelpon kembali nomor perempuan kesayangannya itu. Tapi hingga panggilan ke dua, gantian Kanaya yang tak membalasnya. Ia kini memilih mengirimkan pesan kepada Kanaya dan berharap perempuan itu nanti akan membacanya. "Sayang, kenapa tidak di jawab? Kamu lagi apa? Maaf tadi aku di jalan!" Dan Daniel yang rupanya mengetahui hal itu karena telah menyabotase ponsel Kanaya malah terdiam. Ia sungguh di landa kebingungan. Ia bisa saja mengatakan hal ini kepada Angkasa, tapi di lain sisi ini akan membuat semua masalahnya menjadi
Angkasa baru saja akan memejamkan matanya di samping Kanaya. Tapi getaran masif di ponselnya kian mengganggu. Angkasa lalu menyambar teleponnya dan terdengarlah suara Daniel. "Bos, Nona Tiara kambuh. Saya sedang perjalanan ke rumah sakit!" Detik itu juga Angkasa langsung menyambar jaket, kunci mobil lalu bergegas turun tanpa berpamitan kepada Kanaya yang kini menatap bingung. Mau kemana lagi suaminya itu? Bukankah beberapa menit yang lalu Angkasa berkata jika dia tidak akan kemana-mana? Angkasa bahkan langsung pergi dengan bermanuver kasar dan membuat Tian yang semula mencuci beberapa mobil terlihat kebingungan. Bos-nya tadi itu tampak gusar dan panik. Yura yang melihatnya hal itu turut menyusul suaminya. "Ada apa?" tanya Yura begitu ingin tahu. Tian mengendikkan bahunya sembari berucap, "Aku nggak tahu, tapi Bos kelihatan panik!" Di jalan, Angkasa menginjak pedal gasnya dengan sangat kencang. Tak pedulikan klakson dan makian yang berbunyi karena ulahnya. Dadanya bergemuruh
"Kamu mau pergi lagi?" kata Kanaya menebak. Semula, Angkasa kesal karena Kanaya tiba-tiba menyusulnya lalu menyuguhkan raut tak suka ketika dia akan pergi. Ia memang harus pergi karena Tiara pasti sedang membutuhkannya. "Kamu sungguh akan pergi? Kamu bahkan tidak menjawab pertanyaan ku?" desak Kanaya yang tidak tahu mengapa malah menjadi kesal. Alih-alih marah, Angkasa jutsru reflek merengkuh tubuh Kanaya. Ia terpaksa harus memanipulasi keadaan sebelum menjadi besar. " Pergi, pergi kemana? Istriku lebih membutuhkan ku. Aku tidak akan pergi!" Kanaya melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Angkasa mencari kebenaran. Apakah itu bukan bualan semata? Perempuan itu bahkan mendengar dengan jelas kalimat terakhir Angkasa. "Tapi..." Dan Angkasa segera menyumpal mulut Kanaya dengan ciuman supaya wanita itu tak lagi mendebatnya. Sementara di tempat lain, Tiara menangis seorang diri usai menutup teleponnya. Ia terpaksa menelpon kakaknya karena hingga larut malam ponsel suaminya tak bisa