Aruna meregangkan ototnya sejenak, baru saja mengatur ulang jadwal rapat atau lainnya buat Arsen. Tadi setelah kepergiaan Arsen setelah menanyakan keberadaan Daffa. Anetta—sekretaris sebelumnya mendadak muncul dan mengatakan hal penting, yaitu meneruskan pembuatan jadwal baru bagi Arsen.Itu sebabnya, kerja besok nyatanya dari sekarang. Meski baru pertama, belum bisa dikatakan mudah—baru membuat jadwal. Sulit loh! Harus memperhitungkan agar tidak bentrok bila ada pergantian atau pertemuan yang lebih penting—urgent untuk diubah.Sedari tadi pergi untuk menemui Daffa, sekarang baru menampakkan diri. Terbukti, Arsen datang bersama Daffa yang berlari kecil mengekor. Sesekali terlihat minta digendong, tetapi sengaja ditolak. Arsen tidak akan terlalu memanjakan Daffa, mengingat anak lelaki. Bukan berarti tidak akan menyayangi seperti biasa. Di waktu tertentu saja, akan memanjakan si anak.“Apa?”Aruna tersentak, baru sadar sedari tadi mengamati kelakuan Arsen dan lebih lagi Daffa masih memak
Keheningan terus mendominasi mereka berdua, sejak perdebatan kecil tadi. Tepatnya, setelah Brian memutuskan panggilan efek kemunculan Arsen.Kini, Aruna bingung Arsen mengajaknya ke mana. Ingin bertanya seketika diurungkan, pasti berujung emosi. Makanya, memilih diam dan sesekali melirik Arsen fokus menyetir.Pada akhirnya, Aruna mendapatkan jawaban tanpa diberitahu oleh Arsen. Mulai ikut menulusuri jalan setapak, cukup jauh. Suasananya amat sepi, tidak ada orang lain yang berlalu lalang.Aruna paham, karena yang didatangi Arsen adalah pemakaman. Hingga menduga, kalau Arsen ingin ziarah ke makam ibunya yang telah meninggal.Diam, itu yang terus dilakukan Aruna. Mengamati Arsen, duduk termenung menatap batu nisan bertuliskan nama ibu kandung Arsen, yaitu Seina."Jadi, ke makam ibumu kah?" Aruna sengaja memulai obrolan. Meski tahu tidak akan direspon. Alasan berkata, karena bergidik efek terus diam lebih lagi berada di pemakaman.Arsen hanya mendengkus, beranjak dari duduknya dan menepuk
Arsen mengelus sejenak pucuk kepala Daffa, kemudian menyuruhnya masuk. Ya, selalu menyempatkan diri untuk mengantar Daffa ke TK. Bila semakin mendapatkan waktu luang, mungkin akan menjemput juga.Sayangnya, sulit. Itu sebabnya, selalu menyuruh supir pribadi untuk menjemput dan mengantarkan Daffa ke kantor."Kenapa, hm?" Arsen menyamakan tingginya dengan Daffa.Daffa tidak menjawab, melainkan memeluk erat leher Arsen. Sepertinya, ingin digendong dan terkesan tidak mau ditinggal.Arsen menghela napas sejenak, sepertinya kali ini harus mengabaikan pekerjaan. "Ayo masuk, papa nggak pergi kok." Terus melangkah dengan Daffa di gendongannya.Benar saja, Daffa terlihat anteng dengan anak-anak lain. Agak lega, perlahan Daffa membiasakan diri dengan orang asing.Arsen terus mengamati Daffa dari bangku, yang dikhususkan untuk orang tua yang menunggu anaknya. Sesekali teralih pada ponsel, terdapat balasan dari Aruna. Ya, Arsen mengirim pesan singkat untuk mengerjakan semuanya. Selagi, dirinya tida
Arsen terus mengikuti ke manapun Daffa melangkah sedari tadi sudah ke berbagai macam wahana, terkadang berlari kecil dan akan berhenti dan melendot lagi padanya, bila ada orang asing mendekat sekadar menyapa karena gemas, atau tanpa sengaja hampir menabrak."Papa!"Seketika tersentak, efek melamun mendadak. Menggelengkan kepala sejenak, kemudian menyamakan tingginya dengan Daffa."Mau naik wahana apa lagi, hm? Atau laper?" Arsen memutuskan menggendong Daffa."Nggak! Maunya ice cream cokelat!" pinta Daffa, sembari menunjuk ke arah stand ice cream berbagai macam rasa dan toping."Oke." Mulai melangkah kakinya ke stand ice cream, beruntung di sebelahnya terdapat stand makanan persis sebuah kafe tetapi lebih mini.Arsen sibuk melahap habis makanan, sekaligus menyuapi Daffa juga. Memang akan dibelikan ice cream, setelah makan. Kalau tidak, pasti Daffa menolak untuk makan. Meski, tadi agak ngambek sejenak."Udah!" Daffa memalingkan wajah, saat Arsen ingin memberi suapan lagi. "Mau ice cream
Di kegelapan malam, Arsen melangkah santai keluar dari sebuah gang. Itu cukup jauh dari penginapan. Sepertinya, Arsen habis meluapkan emosi. Niat awal, tidak mencari korban untuk pelampiasan.Sayangnya, gagal. Emosinya semakin memuncak dan meledak, karena pertemuan kedua kalinya dengan Brian. Jika saja, Aruna tidak keluar dari penginapannya. Mungkin, Arsen akan kalap.Beruntung, tepat waktu.Kini, Arsen baru selesai melampiaskan. Kondisinya berantakan, terlihat babak belur. Bisa dibilang, hampir setiap malam mencari korban pelampiasan. Kemarin tidak, karena bertemu Aruna di minimarket dan berakhir meluapkan perasaannya."Lupakan semuanya." Arsen terus bergumam.Sesekali mengusap wajahnya, terlihat jelas bercak darah. Meski memulai dan mudah melakukan penyerangan, sekaligus perlawanan, tetap saja tidak luput terkena serangan goresan atau apapun, intinya menyebabkan memar dan luka berdarah.Langkah kakinya terhenti sejenak, manik hitamnya tertuju pada jam dinding dalam minimarket. Sudah
Aruna harus merelakan pekerjaannya, padahal sudah mengingatkan diri di hari pertama bekerja tidak akan absen kosong atau izin apapun.Sekarang, niat itu lenyap sudah. Memang sehari absen, tetapi mengusik loh!Kini sudah berada di depan penginapan yang dihuni oleh Arsen dan Daffa. Sesekali melirik arloji, seketika lega karena masih bisa ke kantor walau masuk setengah hari saja.Aruna menarik Daffa masuk ke dalam, kebetulan membawa kunci cadangan penginapan Arsen sebelum pergi mengantar Daffa ke TK tadi.Ketika masuk, penglihatannya tidak menangkap keberadaan Arsen. "Masih tidur kah?" Anehnya, saat melirik ke dapur mini tepatnya meja makan. Sepiring makanan sekaligus sebutir obat demam, sudah tandas.Daffa berlari ke kamar, Aruna mengekor saja. Ternyata, Arsen sibuk dengan laptop. Tetapi, terlihat jelas masih belum sehat benar.Dia benar-benar memaksakan diri.Aruna terusik dengan sisi keras kepala Arsen. "Aku pergi dulu," pamitnya.Arsen mendengkus sejenak, dan malepas kacamata anti rad
Arsen terusik dengan sebuah kiriman berupa undangan pernikahan, dan tertera Devan."Oh dia kah?" Arsen di masa SMA dulu, tidak terlalu menganggap semua siswa. Bahkan, berniat untuk akrab. Namun, tahu. Kalau Devan itu kekasih dari teman dekat Aruna, yaitu Tania.Berusaha melupakan masa lalu, tetap saja harus diingat lagi. Arsen menyimpan begitu saja di atas meja, entah datang atau tidak.Kini fokus pada pekerjaan lagi, ya semenjak mengambil cuti dua minggu. Arsen berdiam diri di penginapan, keluar hanya untuk mengantar Daffa, menunggu, dan pulang. Semua yang terjadi di kantor, akan selalu diinfokan oleh Fano."Papa!" teriak Daffa tiba-tiba.Arsen teralih sejenak dari pekerjaan. "Ya?" Agak terkejut melihat Daffa menggenggam undangan pernikahan tadi."Ini apa?" Daffa tipe mudah penasaran.Arsen berdeham sejenak. "Cuma undangan dari kenalan lama."Daffa mengerutkan kening. "Temen papa?"Arsen mendadak kikuk. "Mungkin."Daffa menyipitkan mata. "Papa aneh!" Melempar sembarang undangan tadi,
"Ada apa?"Aruna tersentak, baru sadar beberapa jam kepergiaan Arsen bersama Daffa. Mendadak melamun, padahal masih berada di acara pernikahan Tania dan Devan.Brian mendengkus kesal, karena diabaikan. Melirik sekitar sejenak, kemudian mencuri kesempatan dengan mengecup bibir Aruna."Kau ini!" Aruna mendelik, Brian lancang di muka umum."Habisnya kau mengabaikanku!" desisnya, tepat di telinga Aruna dan sengaja ditiup.Aruna mendadak merinding, refleks mendorong Brian agar menjauhkan wajahnya. "A-aku tidak bermaksud mengabaikanmu!"Brian menaikkan satu alis. "Yakin?" Sembari menyesap perlahan minuman yang diambilnya. "Asal kau tau ya? Tatapanmu sama lagi." Kemudian melangkah pergi.Meski sudah berusaha untuk tidak cemburu, atau berlebihan sampai melarang Aruna untuk tidak berdekatan dengan lelaki manapun. Tetap saja, sulit.Bagi Brian, Aruna berbeda dari yang lain. Jauh sebelum mengenal Aruna, sadar diri sudah terhitung banyak perempuan yang dekat. Tetapi, tidak lama. Entah tidak cocok,