Aruna harus merelakan pekerjaannya, padahal sudah mengingatkan diri di hari pertama bekerja tidak akan absen kosong atau izin apapun.Sekarang, niat itu lenyap sudah. Memang sehari absen, tetapi mengusik loh!Kini sudah berada di depan penginapan yang dihuni oleh Arsen dan Daffa. Sesekali melirik arloji, seketika lega karena masih bisa ke kantor walau masuk setengah hari saja.Aruna menarik Daffa masuk ke dalam, kebetulan membawa kunci cadangan penginapan Arsen sebelum pergi mengantar Daffa ke TK tadi.Ketika masuk, penglihatannya tidak menangkap keberadaan Arsen. "Masih tidur kah?" Anehnya, saat melirik ke dapur mini tepatnya meja makan. Sepiring makanan sekaligus sebutir obat demam, sudah tandas.Daffa berlari ke kamar, Aruna mengekor saja. Ternyata, Arsen sibuk dengan laptop. Tetapi, terlihat jelas masih belum sehat benar.Dia benar-benar memaksakan diri.Aruna terusik dengan sisi keras kepala Arsen. "Aku pergi dulu," pamitnya.Arsen mendengkus sejenak, dan malepas kacamata anti rad
Arsen terusik dengan sebuah kiriman berupa undangan pernikahan, dan tertera Devan."Oh dia kah?" Arsen di masa SMA dulu, tidak terlalu menganggap semua siswa. Bahkan, berniat untuk akrab. Namun, tahu. Kalau Devan itu kekasih dari teman dekat Aruna, yaitu Tania.Berusaha melupakan masa lalu, tetap saja harus diingat lagi. Arsen menyimpan begitu saja di atas meja, entah datang atau tidak.Kini fokus pada pekerjaan lagi, ya semenjak mengambil cuti dua minggu. Arsen berdiam diri di penginapan, keluar hanya untuk mengantar Daffa, menunggu, dan pulang. Semua yang terjadi di kantor, akan selalu diinfokan oleh Fano."Papa!" teriak Daffa tiba-tiba.Arsen teralih sejenak dari pekerjaan. "Ya?" Agak terkejut melihat Daffa menggenggam undangan pernikahan tadi."Ini apa?" Daffa tipe mudah penasaran.Arsen berdeham sejenak. "Cuma undangan dari kenalan lama."Daffa mengerutkan kening. "Temen papa?"Arsen mendadak kikuk. "Mungkin."Daffa menyipitkan mata. "Papa aneh!" Melempar sembarang undangan tadi,
"Ada apa?"Aruna tersentak, baru sadar beberapa jam kepergiaan Arsen bersama Daffa. Mendadak melamun, padahal masih berada di acara pernikahan Tania dan Devan.Brian mendengkus kesal, karena diabaikan. Melirik sekitar sejenak, kemudian mencuri kesempatan dengan mengecup bibir Aruna."Kau ini!" Aruna mendelik, Brian lancang di muka umum."Habisnya kau mengabaikanku!" desisnya, tepat di telinga Aruna dan sengaja ditiup.Aruna mendadak merinding, refleks mendorong Brian agar menjauhkan wajahnya. "A-aku tidak bermaksud mengabaikanmu!"Brian menaikkan satu alis. "Yakin?" Sembari menyesap perlahan minuman yang diambilnya. "Asal kau tau ya? Tatapanmu sama lagi." Kemudian melangkah pergi.Meski sudah berusaha untuk tidak cemburu, atau berlebihan sampai melarang Aruna untuk tidak berdekatan dengan lelaki manapun. Tetap saja, sulit.Bagi Brian, Aruna berbeda dari yang lain. Jauh sebelum mengenal Aruna, sadar diri sudah terhitung banyak perempuan yang dekat. Tetapi, tidak lama. Entah tidak cocok,
Arsen mendengkus kesal, sembari terus melangkah ke ruang kerja. Raut wajahnya kusut dan masam sekali, pekerjaan ditambah permasalahan pribadi begitu rumit. Membuat pusing.Langkah kakinya terhenti sejenak di ambang pintu, melirik ke arah Aruna asik di sofa bersama Daffa. Langsung beralih ke meja kerjanya, teringat pekerjaan belum selesai, mengira Aruna tidak mengerjakannya.Nyatanya, dikerjakan."Istirahat nanti kau ajak Daffa." Arsen benar-benar pusing, langsung masuk ke ruangan pribadi. Untuk saat ini, ingin mengistirahatkan diri.Aruna melirik heran, tetapi tidak ada niat untuk bertanya. Lebih memilih asik dengan Daffa, hingga tak terasa sudah waktunya istirahat."Papa sakit lagi?" Daffa sedari tadi bingung, saat kembali Arsen malah ke ruang pribadi."Kelelahan. Kan kerja terus." Aruna menjawab seadanya, sembari menarik Daffa untuk ikut ke kafetaria.****Seseorang melangkah sendirian, setelah keluar dari lift. Nyatanya itu Desty, benar-benar bebal. Padahal tadi sudah diturunkan di
Sinar matahari menembus dari celah gorden yang menutupi jendela kamar, membuat seseorang yang masih terlelap akhirnya terusik dan mau membuka matanya.Aruna melirik sejenak, ke arah jam dinding ternyata sudah pukul delapan pagi. "Sial! Kesiangan!"Langsung melompat dari ranjang, hendak bergegas membersihkan diri. Seketika diurungkan, kala menyadari kalau ini bukan di kamar penginapannya."Ah iya, ini penginapan Arsen." Aruna kesal sendiri, lupa tadi malam meluapkan semua rasa lelahnya pada Arsen.Akhirnya, Aruna membasuh wajahnya saja dan keluar untuk kembali ke penginapannya. Agak heran melihat Arsen berpakaian santai, dan Daffa juga seakan memang tidak sekolah."Apa?" Arsen terusik."Cuti lagi kah?"Arsen beranjak setelah menyuruh Daffa melanjutkan makannya, tanpa disuapi. Kemudian menjentikkan jari tepat di kening Aruna."Libur. Atau kau memang mau terus kerja kah?" Arsen tersenyum aneh. "Semalam kau merepotkan."Aruna refleks mendorong Arsen agar menyingkir, kemudian pergi."Mau ik
Brian setelah mengirimkan gambar disertai pesan singkat, kini terdiam. Bisa dikatakan bimbang, antara muak dan merasa bersalah. Seakan semua ini berlebihan."Kau aneh!" sindir seorang wanita, sedari tadi terusik dengan kelakuan Brian.Brian hanya mendengkus, tanpa ada niatan membalas. Lagi juga, kenapa mantan kekasihnya dulu harus muncul lagi?"Kudengar kau udah ada tunangan juga, tapi aneh!" Kembali melirik angkuh. "Liburan sendiri, atau hubunganmu kacau kah?" Seketika matanya menyipit. "Ah iya! Kau kan sangat cemburuan dan posesif. Mana ada yang mau tahan lama denganmu!" Santai sekali berkata, bahkan sengaja tertawa kencang.Brian berdecih. "Pergi!""Kau geer ya? Siapa juga yang mau menemani kesendirianmu yang mendadak eh?" gerutunya, lagi pun kebetulan sedang menunggu calon suaminya dan, tidak sengaja melihat si mantan. Wajar bukan? Kalau mendadak gatal untuk usil?Intinya sih, wujud balas dendam. Mau memanas-manasi si mantan. Agar mau mengubah sifat. Jangan terus cemburu bahkan be
Berusaha bertahan, tetapi wajar bukan kalau rasa lelah yang ditepis kembali menyerang dan kini, semakin meluap begitu besar.Setelah menempuh perjalanan lumayan lama, Aruna sampai di kota kelahiran Brian. Tadi, menyempatkan diri berkeliling guna melenyapkan rasa penasaran.Ketika sampai di rumah lama Brian sebelum pindah, Aruna terpaku sejenak melihat Brian yang ada di teras rumah."Sepertinya, kau sudah terlihat lebih tenang. Buktinya betah banget, walau masih belum sebulan sih." Aruna sengaja berkata begitu. "Ganggu ya?" Tanpa menunggu jawaban, Aruna memilih berkeliaran lagi.Tidak menyangka, rasa sakit persis dulu ketika Arsen terus bersama Desty, nyatanya terpaksa. Kali ini terjadi, meskipun berbeda.Entah siapa wanita yang bersama Brian, tetapi terlihat seolah sudah mengenal lama. Mantan atau teman kecil?Aruna tidak tahu, tetap mencoba mengerti dan berusaha bersikap biasa. Jujur, cemburu itu melelahkan.Brian sendiri ikut mematung sejenak, tidak percaya kalau Aruna menyusulnya. D
"Papa ke mana?" Daffa menatap bingung Pak Nuga—paman Arsen, alias kakak dari ibu kandung.Pak Nuga berdeham sejenak, kemudian tersenyum setidaknya agar Daffa percaya penjelasannya."Urusan mendadak, dalam waktu beberapa hari.""Kok nggak diajak!" rengek Daffa, benar-benar sulit dipisahkan lama dari Arsen. Padahal, tidak selamanya hanya beberapa hari atau mungkin seminggu.Daffa memberengut kesal, berhasil membuat Pak Nuga tertawa lucu. Sesekali mengecup pipi tembem Daffa. Bahkan, sengaja menggelitik dengan hidungnya.Setidaknya, Daffa bisa melupakan sejenak. Sedari tadi, terus bertanya di mana Arsen. "Coba mandiri dong.""Nggak mau! Takut!" Daffa masih tremor, efek korban penculikan."Kalo nggak dilawan, kapan beraninya? Laki-laki nggak boleh takut atau mengalah dalam melawan atau hal apapun. Meski begitu, bukan berarti laki-laki nggak bisa lemah alias menangis."Daffa hanya mengangguk, kemudian menguap. Rasa kantuk, mulai menyerang dan benar saja langsung pulas."Harus diselesaikan."