"Tu-tunggu," ucapku hendak menahan Hana.Namun, ia sudah duduk di kursinya dan ngobrol dengan teman sebangkunya. Bersamaan semua siswa kembali ke kursinya karena kedatang Bu Guru. Kutarik napas dalam, lalu melihat layar ponsel sejenak. Mencuri-curi waktu saat bu guru masih sibuk mencari sesuatu dari tasnya.[Selamat pagi, sayangku. Semangat sekolahnya ya, love you]Aku menghela napas, meski senyumku sulit kembali. Pesan dari Mas Erlan tak ada yang berubah. Aku mencoba berpikir positif bahwa perkataan Hana salah. "Baik, anak-anak. Tadi guru sedang rapat sebentar ya, tapi bukan berarti kalian lepas tugas. Sekarang buka buku paketnya!"Aku menyimpan ponsel ke dalam laci, lalu membuka tas yang berada di belakang punggungku. Tari yang tepat dibelakangku mendekatkan wajahnya."Rizta, tadi ucapan Hana itu-""Gak, salah kali," jawabku cepat membantah. Begitu buku yang kucari ketemu, langsung berbalik ke depan menghindari Dewi. Mulutnya itu sedikit lemes, aku gak mau terpengaruh oleh omongann
"Mo-modus?"Ting! Pesan masuk dari Mas Erlan menyadarkanku dari lamunan. Ucapan Bang Amar terus terngiang di kepala. Ingatan pertemuan kami, di mana Mas Erlan terus mencoba menyentuhku. Semua tampak saling bertolak belakangan.Aku segera bangkit, menjauh dari Emak dan Fandi. Mereka melanjutkan pembicaraan dan aku memilih ke kamar. Begitu tubuhku terbaring di ranjang, kubiarkan notifikasi pesan terus masuk. Yang mana itu pasti Mas Erlan. Aku bisa tahu, sebab kupilihkan nada dering khusus untuk kontaknya.Mataku tiba-tiba terasa berat, kubiarkan rasa ngantuk datang dan membiarkan ponselku terus berdering. Entahlah, aku ingin tertidur tanpa memikirkan hal lain.Hingga mataku terbuka, sudah azan subuh saja. Terdengar suara air dari luar, itu pasti Emak. Aku gegas beranjak dari ranjang menuju dapur."Udah bangun, Kak. Tumben semalem tidur cepet, gak begadang.""Heem." Badanku masih sempoyongan, aku memilih duduk di kursi meja makan, dan merebahkan kepala sejenak.Lagian hari ini Mas Erlan
"Kalau kamu mikir gitu, berarti gak percaya sama pasangan kamu sendiri. Buat apa menjalin hubungan kalau kalau gak saling percaya?"Mulutku seolah dikunci oleh ucapan Mas Erlan. Hal sederhana ini jadi rumit, kuputuskan diam sebab lelah adu argumen dan akhirnya aku kalah."Aku percaya sama kamu, kamu harusnya juga gitu kan?"Aku melengos, mengangguk kecil dan membiarkannya terus bicara. Baiklah aku percaya, dan semoga dia bukan pria buaya. Kubuang jauh-jauh pikiran jelek tentang Mas Erlan. Emak kembali, bagaimanapun aku harus tersenyum di depannya.Hari makin sore, Mas Erlan pamit karena juga ada janji menjemput ibunya yang pulang kerja. Setelah bersaliman pada Emak, ia keluar. Aku melambaikan tangan mengiringi kepergiannya.Aku kembali ke kamar, melanjutkan beberapa hal yang mau kubersihkan. Hampir sejam aku berkutat di kamar, setelah beres aku bermain ponsel hingga tak terasa saat mataku terbuka suasana terasa sepi.Ternyata tengah malam, aku tidur terlalu cepat dan terjaga jam segin
"Mas Erlan?" Aku mengelus dada melihat sosok itu. Dengan mata menyipit, ia menatapku. "Hai!" sapanya melambaikan tangan."Astaga, Mas!"Ia terkekeh, pasti menertawai raut wajahku yang tegang. Kukira itu tadi siapa. Ternyata Mas Erlan yang datang dengan bucket bunga di tangannya. Bunga lagi, bunga lagi. Aku sebenenya bukan pecinta tanaman sih. Herannya Mas Erlan tak pernah tanya sukaku apa. Padahal aku lebih suka kalau dibawain makanan. Enak bisa bikin kenyang, tetapi sudah dibawain ya harus tetap pasang raut senang. Meski emang aslinya senang, karena kedatangannya yang mengejutkan."Aku gak dibolehin masuk nih. Yaudah pulang aja," ujarnya berbalik badan. "Eeeh, tunggu dong." Segera kubuka pagar bambu itu. Mempersilahkannya masuk, duduk di kursi teras.Aku juga duduk di sebelahnya, Mas Erlan menyodorkan bucket bunga itu. Aku tak bisa menahan wajahku yang menggembung sangking terharunya. "Makasih ya, Mas," ucapku menghirup aroma berbagai bunga itu. "Ini bunga asli semua ya?" tanyaku
"Mirip pacarnya tetanggaku."Ucapan Hana kala itu kembali terbesit di benakku. Aku yang sudah melupakannya seiring berjalan waktu dengan berpikir bahwa itu hanya kemiripan. Meski Mas Erlan menduga Hana melakukan itu berniat ingin merusak hubungan kami. Aku rasa ia tak sejahat itu, meski pada akhirnya sikapku seolah mengiyakan pernyataan Mas Erlan. Aku benar-benar sudah jarang berinteraksi dengan Hana, padahal kami sekelas. Jarak duduk pun tak jauh, tetapi aku selalu menghindar. Entah dia merasakan perubahan itu atau tidak."Ta, Ayo!" panggil Rahma sambil tangannya mencolek lenganku. Lamunanku buyar, aku mengangguk lalu mengekori Rahma menuju parkiran.Kami bertiga langsung pulang. Aku dibonceng Vina dan Rahma melajukan motor tepat dibelakang kami. Sesekali bersebelahan. Tiba di gang mau masuk ke desaku, kami berpisah."Makasi ya, Vin," ucapku lalu turun."Keknya gak semangat banget deh, Ta. Kenapa, masih galau karena belum ketemu doi?" tanya Vina menyidik, aku tersenyum tipis seolah
Buat apa Mas Erlan ke sana, cari kado buat siapa?Laju motor yang cepat membuatku tak sempat memperhatikan lebih jelas, mau minta Fandi berhenti sama saja mengajak perang. Begitu sampai di rumah saja, ia segera pergi bermain bersama temannya. Sedangkan aku membawa semua belanjaan memberikannya pada Emak di dapur.Iseng aku cek ponsel saat ke kamar, ingin tahu kabar Mas Erlan sudah aktif atau belum. Namun, kecewa lagi yang kudapatkan. Pesanku masih centang satu, WAnya belum juga aktif."Kaaak!" panggil Emak, aku segera keluar melempar ponsel ke ranjang.***Ting!Aku tersentak, baru saja merebahkan diri, mataku hendak terpejam karena rasa kantuk melanda. Kulirik ke sebelah kanan, layar ponselku menyala. Segera kuraih dan cek dari panel notifikasi.Dahiku mengernyit, melihat ada nomor baru. Segera kubuka aplikasi WA. Aku segera bangkit dari tiduran, membuka pesan itu.[Hai, cewek?][Siapa ya?][Kenalan, dong?]Aku terdiam membaca ketikan itu, seperti mengenalnya. [Maaf, saya udah puny
"Mas?" Mas Erlan mendongakkan kepalanya, "Maaf ya, aku-""Kamu nangis beneran, Mas?" tanyaku lagi."Aku berlebihan ya, maaf ya, aku bener-bener rindu banget sama kamu. Sampe mau nangis gini," ujarnya menyeka sesuatu di bawah matanya.Aku menghela napas kasar, membuang muka menahan sesuatu yang akan jatuh. Lemah sekali aku soal ini, tiba-tiba suasana jadi sendu."Aku sayang banget sama kamu, kangen banget. Rasanya masih seneng banget bisa ketemu bisa luangin waktu aku, aku udah ngerasa bersalah banget selama ini. Aku takut kamu ngira aku sok sibuk, aku alasan rapat dan rapat."Wajahku kembali menatap ke arahnya, tak terasa air mata juga mengalir begitu saja. "Mas, aku itu cuma mau buktiin kalau dugaan temenku itu salah. Kamu gak akan macem-macem, gak ada yang disembunyiin. Tapi, kenapa kamu-""Sayang, maaf ya. Aku cuma gak mau kamu fokus ke hp, aku bener-bener maunya ngobatin rasa rindu aku. Ini udah malam, aku gak bisa lama-lama kan. Kalau kamu cuma bahas hp-hp terus, terus ujung-uju
Ah, aku menggelengkan kepala. Apa yang kupikirkan sih? Hanya kebetulan saja, pasti Mas Erlan sedang buru-buru makanya langsung off begitu saja.Sedangkan Mbak Izza, mungkin ia tidur lebih awal. Meski beberapa hari sebelumnya aku melihat dia online sampai malam. Persis sama denganku jam tidurnya. Sementara aku kan tidur kalau Mas Erlan sudah pamit akan off.Ponsel di tangan segera kucharger di kamar, lalu kembali ke depan kamar mengerjakan laporan sambil nonton tv."Udah sampai mana, Ta?" tanya Vina dari belakangku, ia membawa segelas susu.Aku tak menjawab, hanya menunjukkan kertas hvs di tangan. Ia lalu mengangguk samar dan berlalu ke kamar. Hah? Apa-apaan sih Vina, bukannya bantuin. Ketika mataku sudah terasa berat, kuputuskan membereskan kerjaan malam ini. Lalu masuk ke kamar, melihat Vina malah VCan aku jadi kesal. Tugas ini kan berdua, kok aku doang yang repot sih?Segera kucabut ponsel dari kabel data, lalu merebahkan diri membelakangi Vina. [Mas, kamu ke mana sih. Aku mau ce