"Eh, kamu kenapa sih. Kamu ngiranya aku ini mau jahatin kamu gitu. Aku kan ngajak kamu ke sini karena kangen, ya kali mau macem-macem. Kamu masih takut ya sama aku?" tanya cowok itu melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Ah, nggak gitu. Maksudnya ... gak usah pegang-pegang," ucapku mengecilkan suara diakhir kalimat. Dengan hati yang tak henti berdebar, tetap kutampilkan senyum di wajah ini. Seketika suasana jadi canggung di antara kami.Mas Erlan mengangguk menanggapi jawabanku, kukira ia akan tersinggung. Namun, nada suaranya malah lembut tak terlihat marah sedikit pun. Ia kembali mengajakku naik, segera aku mengekor di belakangnya. Dalam hati aku berharap tidak ada yang mengenalku saat ini."Mau duduk di mana?" tanyanya menoleh ke arahku, aku menjawab terserah. Meski sudah pernah ke tempat ini, aku belum pernah masuk ke cafenya. Hanya pergi ke spot foto yang tak mahal.Secara anak sekolahan sepertiku akan mikir seribu kali memesan menu di sini, mahal katanya. Mas Erlan memilih meja paling ujung, dekat dengan taman mini yang di sebelahnya.Ia menarik kursi dan mempersilahkanku untuk duduk, "Makasih, Mas." Aku kembali mengulas senyum. Ingin kuhentakkan kaki ke tanah berulang kali sangking senangnya diperlakukan begini. Belum pernah dan untuk pertama kalinya aku merasakan adegan-adegan di ftv yang biasa kutonton. Cowok itu tampaknya membalas, terlihat dari matanya yang menyipit.Setelahnya Mas Erlan duduk di depanku, ia membawa tas ransel dan meletakkanya di bawah kursi, kini kami berhadapan. Aku menarik napas dalam, rasanya jantung ini tak bisa diam barang sejenak. Ditatap langsung begini adalah juga hal pertama bagiku. Selama ini aku belum pernah pacaran, dekat dengan cowok pun ya hanya lewat sosial media. Terakhir dikenalkan Vina, teman dari pacarnya, tetapi tiba-tiba ia malah memacari anak SMA lain. Kan minta dihajar."Kamu mau pesen apa, mau makan. Udah makan belum?" Aku menggeleng, padahal belum sarapan sih, tetapi sedang berduaan dengan cowok begini rasa lapar itu sirna.Aku hanya menoleh saat ia bicara, lalu kembali membuang muka ke arah rumput di bawah sana."Ngelihatin apa sih, lihatin aku dong. Kamu masih takut ya, apa malu. Ah sedih deh, malah ngelihatin semut daripada aku. Apa aku jadi semut aja ya, biar kamu perhatiin gitu?"Aku menggeleng pelan dengan senyum canggung. Hanya itu yang bisa kulakukan, sebab tak bisa berkata-kata menanggapi ucapannya. Mana nada suaranya lembut, tutur katanya sopan banget masuk ke telingaku. Dia tak tahu saja, jariku saling mencubit sangking groginya. Dari ucapannya manis, persis kek.pesan-pesan yang dikirimkan selama ini di WA."Aku pesenin minum ya, takutnya nanti haus kamu diem aja. Kamu mau apa?""Terserah," jawabku."Mau teh, kopi, apa es?" tanyanya melihat kertas menu yang sudah terletak di meja."Terserah, Mas aja.""Kopi ya?" Ia mendongak dengan kedua alisnya terangkat. Duh, penasaran wajahnya sesuai ekpektasiku gak ya?"Aku gak suka kopi," sergahku menggigit bibir bawahku. Terserahlah asal jangan kopi.Terdengar ia menghembuskan napas, apa dia kesal? "Oke ... kupesenin jus aja. Tunggu di sini bentar ya."Aku manggut-manggut, ia segera berdiri. Mataku mengikuti langkahnya yang menuju meja kasir, kuperhatikan punggungnya begitu juga dari kaki hingga kepala. Sepatu yang ia kenakan, celana lepis dengan atasan memakai jacket hitam. Badannya terlihat bagus dari belakang, masih satu misterinya. Wajahnya yang ditutupi masker.Tiba-tiba cowok itu menoleh ke arahku. Aku tertangkap basah memandanginya. Cepat-cepat kupalingkan wajah, tak berani lagi aku menoleh ke arahnya, tengsin dong. Tak lama ia kembali ke meja, tetapi tak duduk di kursi."Aku mau ke toilet, kamu tunggu bentar gak papa kan?" tanyanya meraih ranselnya, aku langsung mengiyakan.Begitu raganya menjauh, kurogoh ponsel dari celana lepisku. Langsung kubuka WA dan mengirim pesan pada Vina.[Aku udah sampai, Vin. Beneran diajak ke gunung madu, Kok.]Pesannya masih centang dua abu-abu. Semenit, dua menit tak kunjung dibales padahal online. Aku memilih kembali membuka foto profil Mas Erlan, fotonya kali ini adalah foto bersama dengan teman kuliahannya. Foto itu dari jauh, tak terlihat jelas.Lalu aku ke galeri fotoku, mencari beberapa tangkapan layar foto Mas Erlan yang ia posting di story WAnya. Baru kusadari, beberapa foto selalu menutupi wajahnya. Entah ingin menciptakan kesan misterius, atau memang ada sesuatu?Ada foto yang ia menenggelamkan wajah di jacketnya, foto ia miror selfi di kaca spion motor dan wajahnya tak terlihat dan foto yang mana hanya tampak badan belakangnya. Sayangnya, foto profil pertama menyimpan nomor Mas Erlan tak sempat kusimpan. Dia sudah ganti profil pose berdiri dan dibelakangnya gunung. Dia suka mendaki sepertinya.Terasa lama, aku melihat ke arah Mas Erlan tadi pergi. Sepertinya yang kutunggu muncul, tampak seorang cowok jalan ke arahku. Semakin lama semakin dekat, dan ..."Minumannya belum dateng juga ya?" tanya Mas Erlan membuyarkan lamunanku."Ah?" Aku mengedipkan mata berulang kali, lalu mencoba fokus menatap sosok di depanku. "Belum," jawabku.Jaketnya sudah dilepas, tinggal kemeja kotak-kotak biru yang tak dikancingi sehingga terlihat dalaman kaos putih, dan masker yang menutupi wajah sudah terlepas. Sungguh membuatku tak habis pikir. Dia seganteng ini?Ya ampun, kulitnya putih, hidungnya mancung. Rambutnya hitam legam begitu rapi, kaya habis sisiran. Apa jangan-jangan dia lama karena dandan dulu di kamar mandi?"Kenapa, sekarang baru mau lihat ke aku. Udah gak takut dong ya kan udah lepas masker," ucapnya mengembangkan senyum di wajah bersihnya.Ah jantungku seolah mau copot, tubuhku seketika hendak melayang ke udara.Aku lega, setidaknya hal yang kutakutkan tak terjadi. Aslinya ia berparas lumayan. Bukan lumayan lagi, lebih ganteng dari cowok-cowok yang sebelumnya dekat denganku. Ya ampun, di sekolahku aja gak ada yang seganteng ini.Kini aku yang jadi minder, kulitku yang sawo matang ini, badanku yang tak sampai 150 cm ini. Apa dia gak malu dilihatin orang kaya bawa anak ingusan kek aku? Tiba-tiba kepercayaan diriku anjlok seanjlok-anjloknya."Siapa bilang kamu jelek, manis gini. Mana senyum ada lesung pipinya, coba senyum dong kaya di foto profil kamu. Aku pengen lihat secara langsung, pasti cantik deh.""Eh?" Dia bukan dukun kan, kok tahu amat isi hati orang.Mas Erlan terkekeh, "Ah eh ah eh, kenapa sih kayaknya kamu gak fokus gitu. Kamu lagi mikirin apa sih ... apa lagi mikirin aku ya?" Aku hanya diam, masa mau jawab iya gitu?"Ini minumannya dua ya, Mas," ucap pelayan cafe itu meletakan dua gelas jus. Mas Erlan menyodorkan satu untukku.Mas Erlan berterima kasih pada pelayan dengan ramah, tampak mereka saling lirik. Seperti sudah kenal, mungkin sudah sering ke sini."Di minum, seger itu juga sehat. Biar kamu fokus aku ajak ngobrol." Aku memandangi minuman itu, lalu meraih sedotannya. Menatapnya beberapa detik, berdoa dalam hati lalu baru meminumnya.Mas Erlan hanya menatapku, lagi-lagi ia berhasil membuat tersipu. "Kenapa?" tanyaku."Gak papa, seneng aja. Gak nyangka bisa ketemu juga, kamu juga seneng kan?" Aku mengulum bibir, mengalihkan pandangan ke taman mini yang tak jauh dari sana.Suasana hening seketika, aku lagi-lagi meminum jus itu sebagai pengalihan rasa grogiku. Tiba-tiba ponselku bergetar, aku ingin mengeceknya. Namun, Mas Erlan berdehem."Hpnya di buka nanti ya, masa kita ketemu kamu malah sibuk sama hp. Aku mau ngobrol banyak hal tahu, kan biar kita bisa saling kenal lebih jauh dan aku juga mau nyampein sesuatu yang penting hari ini."Ponsel di tangan segera kulepas, "Sesuatu apa?" tanyaku penasaran.Mas Erlan tak menjawab, tetapi ia malah menggeser kursinya yang semula tepat di depanku kini perlahan mendekat ke sebelah kiriku. Hingga jarak kami lumayan dekat."Mau ngapain, Mas?""Ya ampun, aku gak boleh nih duduk deket kamu. Duh, aku bukan orang jahat, Dek. Jangan-jangan kamu pikir di jus itu kutaruh obat lagi?" "Hah?" Aku sontak melihat ke arah gelas isi jus yang sudah tinggal setengah. Mataku melebar sangking kagetnya.Aku menelan ludah, kalau beneran dimasukin obat tidur gimana? Aku menoleh ke arah Mas Erlan, ia malah tersenyum. Maksudnya apa coba?"Bercanda, bercanda. Nih aku juga minum jusnya," ujarnya menyeruput segelas jus miliknya. "Aku pengen aja lihat kamu dari deket gini, tapi kayanya kamu gak nyaman. Maaf, ya?"Mas Erlan bergeser ke kanan lagi. Sedikit menjauh, tetapi tatapan matanya tak lepas dariku. Meski pandangaku ke meja, dan kedua tangan memegang erat gelas. Aku bisa merasakan jika terus diperhatikan."Makasi ya, kamu nurut maunya aku pake sepatu. Terus pake kerudung juga. Oh ya ... aku boleh gak minta sesuatu?"Aku jadi parno dengan kata 'sesuatu'. Seolah sedang naik roal coster di posisi tertinggi, menegangkan. Eh tahu-tahunya meluncur de
"Rahmatika Rizta, kamu mau kan jadi pacarku?" Waktu seolah berhenti berputar, keadaan sekitar seperti tak bergerak. Yang tadi berisik serasa hening dalam kepalaku, hingga yang terdengar hanya detak jantungku yang berdebar hebat. Rasanya mau lompat-lompat di tempat!Dari mana bunga itu datang, tiba-tiba saja muncul dari belakang punggung Mas Erlan?Ah! Kenapa aku memikirkan hal tak penting itu. Sekarang aku harus bagaimana. Setangkai bunga itu seolah menarik perhatianku. Seumur hidupku baru kali ini diberi bunga oleh cowok. Tak kusangka hal yang lazim terjadi di drama televisi kini sedang kualami. Sebenarnya aku tak pernah tertarik dengan bunga-bunga, tetapi kalau Mas Erlan yang ngasih? Bolehlah. Boleh banget maksudnya."Rizta?""Tapi, Mas. Kita kan baru kenal beberapa minggu, sebulan aja belum. Mas yakin gak malu pacaran sama aku?" Seketika penyakit minderku kembali jadi keraguan.Mas Erlan tampak memejam, "Aku sengaja ajak kamu ketemu, justru karena mau nembak secara langsung. Aku g
Mas Erlan mengangguk, "Kita kan udah pacaran, masa gandengan aja gak boleh. Lihat tuh yang berdua sama pasangannya," ujar Mas Erlan mengarahkan dagunya ke arah pintu masuk tadi. Ada anak remaja yang sepertinya seusiaku, nempel banget sama cowoknya kaya perangko. Kok aku risih ya, emang pacaran harus begitu?Meninggalkanku yang masih diam, Mas Erlan pergi ke kasir. Aku memperhatikannya saat membayar. Meski dari belakang, aku bisa melihat ia tampak bicara dengan pelayannya. Kaya sudah kenal dan akrab. Mungkin karena sering ke sini kali ya?Tak lama Mas Erlan datang ke meja, "Ayo!" Aku berdiri dengan membawa bunga mawar tadi, sedangkan ponsel kumasukkan ke saku celana. Tangan Mas Erlan perlahan meraih tangan kananku, ia menoleh dengan senyum manisnya. Berasa tersihir, aku gak marah kami akhirnya gandengan. Asli aku merasa risih, tak biasa dan ini begitu asing buatku.Tiba di parkiran, Mas Erlan memakaikan helm padaku. Bahkan membenarkan kerudungku. Aku hanya bisa pasrah, sambil mengigit
[Siapamu itu, Ta. Aku kaya kenal, wajahnya gak asing.]Dahiku mengernyit heran membaca komenan teman sekelas di postingan FBku. Tadi aku juga memposting foto Mas Erlan yang kusimpan di galery. Foto yang bahkan tak memperlihatkan seluruh wajahnya, tetepi Hana--temanku itu bisa mengenalinya. Berasa aneh."Kak?" "Eh, iya?"Aku menoleh ke arah Emak lagi, "Mandi dulu udah sore," ucap Emak. Aku mengangguk lalu beranjak ke kamar. Mengisi daya ponselku.Setelahnya mencari baju ganti dan keluar dari kamar membawa handuk. Lima menit saja aku sudah selesai, entah kenapa aku ingin cepat-cepat menyudahi. Karena pikiranku kini terpusat pada dua hal. Tentang komenan Hana, juga tanggapan Emak.Begitu aku masuk ke kamar, aku tersentak sudah ada Emak di kamar. Ia yang berdiri di samping ranjang menatap ke arahku di bawah bingkai pintu. Terlihat Emak menarik napas dalam, aku menggigit bibir bawahku. Takut akan dimarahi.Namun, Emak malah duduk di bibir ranjang. Memanggilku untuk duduk di sebelahku. "Or
"Tunggu, Han-""Ayo, Rizta. Ntar dimarahi pak guru!" teriak Hana. Aku menghela napas, rasanya penasaran sekali. Namun, hatiku seperti berat. Entah apa. Hana pun segera berlari keluar, aku langsung mengekor. Menyimpan tanda tanya perihal Mas Erlan itu untuk nanti. Begitu tiba di lapangan, Vina dan Rahma langsung menarikku berdiri di sebelah mereka."Lama banget sih, mentang-mentang baru jadian gak kuat pisah chatingan," ujar Rahma. Aku tergelak, lalu kami saling cubit pinggang. "Kaya kamu gak aja!"Satu jam pelajaran kami mengikuti pelajaran olahraga, Pak Guru mengajarkan lalu dipanggil siswa yang bisa memberi contoh. Begitu bel pergantian jam berbunyi, kami diminta kembali ke kelas. Beberapa siswa lain ganti baju, sedangkan aku, Rahma dan Vina tidak. "Gak bawa ganti kan?" tanya Vina, aku dan Rahma menoleh lalu menggeleng bersamaan. Kami bertiga mampir ke koperasi membeli jajanan karena masih ada waktu sebelum guru lain masuk."Rahma, ayo!" panggilku saat ia terhenti di depan kelas
[Gak papa, Ta. Takut salah orang.][Loh, gimana sih, Han?]Membaca balasan Hana bukannya lega, aku malah semakin kepikiran. Statusnya sudah tidak online lagi, dan pesanku masih centang satu. Sementara pesan dari Mas Erlan kembali masuk, membuyarkan pikiranku. Kulupakan tentang Hana sejenak dan membalas pesan-pesan mas pacar.[Sayang, kok pesanku dianggurin aja?][Aku baru selesai bantuin Ibu, Mas][Aku kira kamu ngambek, udah baca kok gak dibales-bales. Aku kangen]Aku tersenyum membaca pesannya barusan. Ingin juga kubalas bahwa sama kangennya, tetapi gengsiku tinggi.[Masa?]Aku merebahkan diri di atas ranjang, membalas pesan-pesan Mas Erlan yang terus bilang kangen. Wajahku tak henti mengembang, senyum-senyum sendiri membaca pesan dari Mas Erlan. [Kamu udah makan, yank?][Udah, kamu, Mas?][Belum, maunya disuapin kamu]Aku terkekeh membaca balasan itu, ada-ada saja jawabannya. Kakiku tak bisa diam, badanku guling ke kanan dan ke kiri. Salah tingkah sendiri.Kami berbalas pesan hin
"Tu-tunggu," ucapku hendak menahan Hana.Namun, ia sudah duduk di kursinya dan ngobrol dengan teman sebangkunya. Bersamaan semua siswa kembali ke kursinya karena kedatang Bu Guru. Kutarik napas dalam, lalu melihat layar ponsel sejenak. Mencuri-curi waktu saat bu guru masih sibuk mencari sesuatu dari tasnya.[Selamat pagi, sayangku. Semangat sekolahnya ya, love you]Aku menghela napas, meski senyumku sulit kembali. Pesan dari Mas Erlan tak ada yang berubah. Aku mencoba berpikir positif bahwa perkataan Hana salah. "Baik, anak-anak. Tadi guru sedang rapat sebentar ya, tapi bukan berarti kalian lepas tugas. Sekarang buka buku paketnya!"Aku menyimpan ponsel ke dalam laci, lalu membuka tas yang berada di belakang punggungku. Tari yang tepat dibelakangku mendekatkan wajahnya."Rizta, tadi ucapan Hana itu-""Gak, salah kali," jawabku cepat membantah. Begitu buku yang kucari ketemu, langsung berbalik ke depan menghindari Dewi. Mulutnya itu sedikit lemes, aku gak mau terpengaruh oleh omongann
"Mo-modus?"Ting! Pesan masuk dari Mas Erlan menyadarkanku dari lamunan. Ucapan Bang Amar terus terngiang di kepala. Ingatan pertemuan kami, di mana Mas Erlan terus mencoba menyentuhku. Semua tampak saling bertolak belakangan.Aku segera bangkit, menjauh dari Emak dan Fandi. Mereka melanjutkan pembicaraan dan aku memilih ke kamar. Begitu tubuhku terbaring di ranjang, kubiarkan notifikasi pesan terus masuk. Yang mana itu pasti Mas Erlan. Aku bisa tahu, sebab kupilihkan nada dering khusus untuk kontaknya.Mataku tiba-tiba terasa berat, kubiarkan rasa ngantuk datang dan membiarkan ponselku terus berdering. Entahlah, aku ingin tertidur tanpa memikirkan hal lain.Hingga mataku terbuka, sudah azan subuh saja. Terdengar suara air dari luar, itu pasti Emak. Aku gegas beranjak dari ranjang menuju dapur."Udah bangun, Kak. Tumben semalem tidur cepet, gak begadang.""Heem." Badanku masih sempoyongan, aku memilih duduk di kursi meja makan, dan merebahkan kepala sejenak.Lagian hari ini Mas Erlan