"Kamu Rizta kan?" tanyanya. Aku mengangguk dengan senyum tipis yang dipaksakan. Hatiku sedang tak aman, bertemu langsung dengan cowok yang selama ini saling mengirim pesan di WA. Sudah jelas deg-degan.
Di situasi ini, membuatku ingat pesan pertama dari Mas Erlan hingga berakhir di pertemuan pagi ini.[Hy]Begitulah awal mula pesan singkat Mas Erlan masuk, begitu melihat fotonya aku berani menanggapi. Kalau jelek, aku memilih acuh dan berakhir ku blokir.[Siapa ya?]Tak sampai sedetik, pesanku langsung dibacanya.[Erlan, nama kamu siapa. Boleh kenalan?]Aku terdiam sejenak membaca pesan itu berulang kali, tetapi ada yang harus kutanyakan lebih dulu.[Dapat nomorku dari mana?]Lagi, pesan itu cepat terbaca. Sepertinya emang lagi gabut ini cowok.[Dari i*******m, nama kamu siapa?]Alu menepuk jidat, sok kesal kalau ada nomor tak kenal iseng menghubungi. Padahal aku sendiri yang obral di semua sosial mediaku. Karena terlihat keren saja, teman-temanku juga melakukan itu. Menulis nomor WA mereke di bio sosial medianya. Kupikir siapa coba yang mau repot-repot salin nomor kita kan? Eh taunya ada juga orang begitu.Sebelum membalas, ku buka akun I*******m. Lalu kuhapus nomor WA dari bio. Anehnya, tak ada akun baru yang mengikuti akunku."Kamu tenang aja, aku janji bakal buka masker. Tapi temen kamu suruh pulang dulu ya, aku gak bakal macem-macem kok. Kamu percaya sama aku kan?" tanyanya membuyarkan lamunanku.Ucapan cowok itu terus mencoba menyakinkanku, tetapi Vina--sahabatku sebaliknya. Ia menahan dan meminta agar bisa tetap ikut."Masa temen kamu mau jadi nyamuknya, gak enak dong," ucapnya lagi. Semakin membuatku dilema.Sementara aku yang masih bingung, Vina tiba-tiba bersuara. "Ah, iya Rizta. Kan mau temenin aku cari jam buat cowokku dulu. Nanti baru deh kamu pergi sama dia, temenin aku ke toko jam dulu yuk!""Hah?" Tiba-tiba saja, padahal tadi gak ada janjian begitu. Aku melirik cowok tadi, ia mengangguk padahal aku belum bilang apa-apa."Aku tunggu di sana ya," ucapnya mengarahkan telunjuk ke bawah pohon tempat ia menunggu tadi. "Aku udah bawa helm loh, kamu jangan lama-lama ya. Kamu gak kasihan apa, aku nungguin dari jam delapan loh, kamu malah datengnya setengah sepuluh.""Ma-maaf," ucapku. Mendengar ucapanya aku jadi merasa bersalah. Padahal karena sangking deg-degan mau bertemu. Sengaja kuundur waktu. Kuminta Vina membawa motor dengan santai dan membuatnya menunggu lama.Vina cepat menarik tanganku untuk naik, sementara cowok itu putar arah kembali ke tempatnya semula. Aku masih mengamatinya meski motor yang kutumpangi sudah menjauh.Tiba di toko jam, Vina gegas masuk mengajakku. Bertanya pendapatku untuk memilih model yang cocok. "Tiba-tiba banget, Vin. Beliin jam dalam rangka apa?""Ah, ituh Mas Arsya besok ulang tahun. Maaf tadi lupa ngomong," jawabnya masih melihat ke dalam jejeran jam di dalam lemari kaca.Setelah beberapa menit memilah model yang bagus, Vina menetukan satu pilihan. Jam tangan berwarna hitam dengan pinggiran bagian lingkarannya ada warna biru. Sambil menunggu jam tangan dibungkus, Vina mendekatiku dan berbisik"Gimana, kamu udah mikir. Yakin mau ikut berdua aja, kalau nanti dia bukan orang baik gimana. Aneh tahu, masa ketemuan tapi wajahnya gak mau dilihatin.""Malu kali sama kamu, Vin," jawabku."Gak tenang tahu aku, lagian dia keknya bohong deh." Aku mengernyitkan dahi, dan bertanya bagian mananya. "Katanya dia orangnya item, pendek. Coba lihat tadi, tangannya aja putih, terus kelihatan tinggi gitu kok."Aku tak sempat memperhatikan karena dilanda perasaan deg-degan. Sumpah jantungku saja masih berdegup kencang. Menurut Vina, dia tak seburuk deskripsinya kemarin saat chatingan. Kalau iya, buat apa coba dia bohong?"Eh, tunggu, tapi dia gak mau buka masker ... apa jangan-jangan?"Nah itu dia yang buat penasaran, apa ada sesuatu di bagian wajahnya?"Ini, Dek. Jamnya sudah dibungkus sekalian," ucap penjaga toko, Vina langsung mengeluarkan selembar uang merah dan membayar jam lalu menerima plastik berisi jam. Setelahnya kami kembali ke motor."Gimana?" tanya Vina lagi, "Aku takut loh, kalau dia aneh-aneh gimana. Kan baru pertama ketemu, Ta!" Vina tampak geram karena aku tak kunjung memberi jawaban.Sebuah pesan masuk dari ponselku, "Dia udah nunggu," ucapku menoleh pada Vina. "Kasihan, Vin.""Aduh itu mah, cuma-""Tenang aja, Vin!" sergahku menyakinkan Vina.Vina mengangguk, memintaku naik. Tak sampai lima menit kami sampai di bawah pohon itu. Cowok itu yang tadinya duduk langsung turun begitu aku tiba dan membuka jok motornya memberikan helm yang ia bawa."Ini helm ibuku, kan kamu bilang gak punya helm. Jadi kupinjemin ini ya. Aku gak mau bawa anak orang tapi gak jamin keselamatannya." Dengan ragu tanganku menerima helm hitam itu.Rasanya perasaan takut tadi terkikis perlahan hanya karena benda pelindung kepala ini. Terlihat baik kan? Dia saja memikirkan keselamatanku kok.Vina memberi kode agar aku mendekat, "Jangan mau diajak ke tempat sepi, main di tempat yang rame orang nongkrong. Terus ingat, nanti kalau ada apa-apa langsung WA aku ya.""Iya, kamu online terus ya."Entah dari mana keberanian ini datang, aku ingin ikut dengan Mas Erlan. Rasanya bertemu dengannya juga keinginanku sejak awal. Seolah rasa takut atas praduga pria itu bukan orang baik sirna begitu saja. Apa ini namanya uji nyali?"Sini kupasangin?" Aku menggeleng pelan, bisa memasangnya sendiri."Mau diajak ke mana?" tanya Vina, Mas Erlan langsung melirik padaku."Ke Lembah gunung madu gimana, ke sana aja. Gak jauh juga, terus sabtu gini kan rame." Aku dan Vina saling lirik, cowok itu seolah tahu kekhawatiran sahabatku. Aku mengangguk sebagai jawaban pada Mas Erlan.Motor Mas Erlan berputar arah, begitupun dengan Vina. Bibir Vina masih komat-kamit dan memberi kode. Setelah aku naik, dan berkata sudah siap. Mas Erlan malah menatap kepada Vina. "Duluan aja," ucapnya.Vina berdecak kesal, terlihat rautnya tak suka. Namun, ia tetap melajukan motornya setelah pamit padaku. Setelah melihat motor Vina agak jauh, baru Mas Erlan melajukan motornya."Pegangan dong," ucapnya menoleh ke belakang sejenak.Aku menggeleng pelan, dan untungnya ia tak memaksa. Sepanjang perjalanan kuperhatikan wajahnya yang tertutup masker dari kaca spion kiri. Dalam hati aku mulai menebak ada apa dibalik masker itu.Apa ada masalah dengan giginya? Tonggoskah, atau ompong mungkin? atau bibirnya hitam mengkilap karena rokok? Ah semua tebakan ini terus menganggu, rasanya ingin segera tiba di tempat tujuan. Kusiapkan mental agar terima apapun itu ketika ia buka masker nanti.Sesekali ia melirik ke kaca spion, dengan cepat aku mengalihkan pandangan. Menyadari diriku yang salah tingkah, terdengar kekehan kecil. Ditambah saat kulihat lagi di kaca spion, matanya menyipit. Ia sedang tersenyum, atau menertawaiku? Semoga bukan tawa jahat.Akhirnya motor memasuki tempat wisata di daerah itu, setelah motor diparkirkan, aku turun. Cowok itu melangkah ke seorang pria yang memberi karcis parkir. Saat ia berbalik tangannya memegang kepala, "Helmnya copot," ujarnya."Ah, iya. Bentar," jawabku langsung mencoba membuka pengait di bawah dagu. Eh, tunggu kenapa susah sekali. Ah katroknya aku, lepas helm saja tak bisa, mana sudah ditunggu."Bisa gak?" tanyanya mendekat dan berdiri tepat di depanku. Tiba-tiba tangannya hendak menyentuh tanganku, gegas kuturunkan dan membiarkan tangannya mencoba membuka pengait helm itu.Pandangku langsung ke bawah, tak berani menatap wajahnya yang terasa begitu dekat. "Udah, gampang gini kok. Modus ya?" tanyanya dengan kekehan kecil di ujung kalimatnya."Gak!" sergahku tegas.Dia mengajakku naik tangga yang mana menuju tempat wisata itu. Saat kaki menginjak tangga pertama, aku melihat sekitar. Apa karena masih jam sepuluh pagi ya, jadi tempat ini tak seramai biasanya?Tanpa aba-aba, tangan Mas Erlan meraih tanganku. Spontan kutepis dan menatapnya dengan tajam."Jangan macem-macem ya!""Eh, kamu kenapa sih. Kamu ngiranya aku ini mau jahatin kamu gitu. Aku kan ngajak kamu ke sini karena kangen, ya kali mau macem-macem. Kamu masih takut ya sama aku?" tanya cowok itu melambaikan tangannya di depan wajahku. "Ah, nggak gitu. Maksudnya ... gak usah pegang-pegang," ucapku mengecilkan suara diakhir kalimat. Dengan hati yang tak henti berdebar, tetap kutampilkan senyum di wajah ini. Seketika suasana jadi canggung di antara kami.Mas Erlan mengangguk menanggapi jawabanku, kukira ia akan tersinggung. Namun, nada suaranya malah lembut tak terlihat marah sedikit pun. Ia kembali mengajakku naik, segera aku mengekor di belakangnya. Dalam hati aku berharap tidak ada yang mengenalku saat ini. "Mau duduk di mana?" tanyanya menoleh ke arahku, aku menjawab terserah. Meski sudah pernah ke tempat ini, aku belum pernah masuk ke cafenya. Hanya pergi ke spot foto yang tak mahal. Secara anak sekolahan sepertiku akan mikir seribu kali memesan menu di sini, mahal katanya. Mas Erlan memilih
"Ya ampun, aku gak boleh nih duduk deket kamu. Duh, aku bukan orang jahat, Dek. Jangan-jangan kamu pikir di jus itu kutaruh obat lagi?" "Hah?" Aku sontak melihat ke arah gelas isi jus yang sudah tinggal setengah. Mataku melebar sangking kagetnya.Aku menelan ludah, kalau beneran dimasukin obat tidur gimana? Aku menoleh ke arah Mas Erlan, ia malah tersenyum. Maksudnya apa coba?"Bercanda, bercanda. Nih aku juga minum jusnya," ujarnya menyeruput segelas jus miliknya. "Aku pengen aja lihat kamu dari deket gini, tapi kayanya kamu gak nyaman. Maaf, ya?"Mas Erlan bergeser ke kanan lagi. Sedikit menjauh, tetapi tatapan matanya tak lepas dariku. Meski pandangaku ke meja, dan kedua tangan memegang erat gelas. Aku bisa merasakan jika terus diperhatikan."Makasi ya, kamu nurut maunya aku pake sepatu. Terus pake kerudung juga. Oh ya ... aku boleh gak minta sesuatu?"Aku jadi parno dengan kata 'sesuatu'. Seolah sedang naik roal coster di posisi tertinggi, menegangkan. Eh tahu-tahunya meluncur de
"Rahmatika Rizta, kamu mau kan jadi pacarku?" Waktu seolah berhenti berputar, keadaan sekitar seperti tak bergerak. Yang tadi berisik serasa hening dalam kepalaku, hingga yang terdengar hanya detak jantungku yang berdebar hebat. Rasanya mau lompat-lompat di tempat!Dari mana bunga itu datang, tiba-tiba saja muncul dari belakang punggung Mas Erlan?Ah! Kenapa aku memikirkan hal tak penting itu. Sekarang aku harus bagaimana. Setangkai bunga itu seolah menarik perhatianku. Seumur hidupku baru kali ini diberi bunga oleh cowok. Tak kusangka hal yang lazim terjadi di drama televisi kini sedang kualami. Sebenarnya aku tak pernah tertarik dengan bunga-bunga, tetapi kalau Mas Erlan yang ngasih? Bolehlah. Boleh banget maksudnya."Rizta?""Tapi, Mas. Kita kan baru kenal beberapa minggu, sebulan aja belum. Mas yakin gak malu pacaran sama aku?" Seketika penyakit minderku kembali jadi keraguan.Mas Erlan tampak memejam, "Aku sengaja ajak kamu ketemu, justru karena mau nembak secara langsung. Aku g
Mas Erlan mengangguk, "Kita kan udah pacaran, masa gandengan aja gak boleh. Lihat tuh yang berdua sama pasangannya," ujar Mas Erlan mengarahkan dagunya ke arah pintu masuk tadi. Ada anak remaja yang sepertinya seusiaku, nempel banget sama cowoknya kaya perangko. Kok aku risih ya, emang pacaran harus begitu?Meninggalkanku yang masih diam, Mas Erlan pergi ke kasir. Aku memperhatikannya saat membayar. Meski dari belakang, aku bisa melihat ia tampak bicara dengan pelayannya. Kaya sudah kenal dan akrab. Mungkin karena sering ke sini kali ya?Tak lama Mas Erlan datang ke meja, "Ayo!" Aku berdiri dengan membawa bunga mawar tadi, sedangkan ponsel kumasukkan ke saku celana. Tangan Mas Erlan perlahan meraih tangan kananku, ia menoleh dengan senyum manisnya. Berasa tersihir, aku gak marah kami akhirnya gandengan. Asli aku merasa risih, tak biasa dan ini begitu asing buatku.Tiba di parkiran, Mas Erlan memakaikan helm padaku. Bahkan membenarkan kerudungku. Aku hanya bisa pasrah, sambil mengigit
[Siapamu itu, Ta. Aku kaya kenal, wajahnya gak asing.]Dahiku mengernyit heran membaca komenan teman sekelas di postingan FBku. Tadi aku juga memposting foto Mas Erlan yang kusimpan di galery. Foto yang bahkan tak memperlihatkan seluruh wajahnya, tetepi Hana--temanku itu bisa mengenalinya. Berasa aneh."Kak?" "Eh, iya?"Aku menoleh ke arah Emak lagi, "Mandi dulu udah sore," ucap Emak. Aku mengangguk lalu beranjak ke kamar. Mengisi daya ponselku.Setelahnya mencari baju ganti dan keluar dari kamar membawa handuk. Lima menit saja aku sudah selesai, entah kenapa aku ingin cepat-cepat menyudahi. Karena pikiranku kini terpusat pada dua hal. Tentang komenan Hana, juga tanggapan Emak.Begitu aku masuk ke kamar, aku tersentak sudah ada Emak di kamar. Ia yang berdiri di samping ranjang menatap ke arahku di bawah bingkai pintu. Terlihat Emak menarik napas dalam, aku menggigit bibir bawahku. Takut akan dimarahi.Namun, Emak malah duduk di bibir ranjang. Memanggilku untuk duduk di sebelahku. "Or
"Tunggu, Han-""Ayo, Rizta. Ntar dimarahi pak guru!" teriak Hana. Aku menghela napas, rasanya penasaran sekali. Namun, hatiku seperti berat. Entah apa. Hana pun segera berlari keluar, aku langsung mengekor. Menyimpan tanda tanya perihal Mas Erlan itu untuk nanti. Begitu tiba di lapangan, Vina dan Rahma langsung menarikku berdiri di sebelah mereka."Lama banget sih, mentang-mentang baru jadian gak kuat pisah chatingan," ujar Rahma. Aku tergelak, lalu kami saling cubit pinggang. "Kaya kamu gak aja!"Satu jam pelajaran kami mengikuti pelajaran olahraga, Pak Guru mengajarkan lalu dipanggil siswa yang bisa memberi contoh. Begitu bel pergantian jam berbunyi, kami diminta kembali ke kelas. Beberapa siswa lain ganti baju, sedangkan aku, Rahma dan Vina tidak. "Gak bawa ganti kan?" tanya Vina, aku dan Rahma menoleh lalu menggeleng bersamaan. Kami bertiga mampir ke koperasi membeli jajanan karena masih ada waktu sebelum guru lain masuk."Rahma, ayo!" panggilku saat ia terhenti di depan kelas
[Gak papa, Ta. Takut salah orang.][Loh, gimana sih, Han?]Membaca balasan Hana bukannya lega, aku malah semakin kepikiran. Statusnya sudah tidak online lagi, dan pesanku masih centang satu. Sementara pesan dari Mas Erlan kembali masuk, membuyarkan pikiranku. Kulupakan tentang Hana sejenak dan membalas pesan-pesan mas pacar.[Sayang, kok pesanku dianggurin aja?][Aku baru selesai bantuin Ibu, Mas][Aku kira kamu ngambek, udah baca kok gak dibales-bales. Aku kangen]Aku tersenyum membaca pesannya barusan. Ingin juga kubalas bahwa sama kangennya, tetapi gengsiku tinggi.[Masa?]Aku merebahkan diri di atas ranjang, membalas pesan-pesan Mas Erlan yang terus bilang kangen. Wajahku tak henti mengembang, senyum-senyum sendiri membaca pesan dari Mas Erlan. [Kamu udah makan, yank?][Udah, kamu, Mas?][Belum, maunya disuapin kamu]Aku terkekeh membaca balasan itu, ada-ada saja jawabannya. Kakiku tak bisa diam, badanku guling ke kanan dan ke kiri. Salah tingkah sendiri.Kami berbalas pesan hin
"Tu-tunggu," ucapku hendak menahan Hana.Namun, ia sudah duduk di kursinya dan ngobrol dengan teman sebangkunya. Bersamaan semua siswa kembali ke kursinya karena kedatang Bu Guru. Kutarik napas dalam, lalu melihat layar ponsel sejenak. Mencuri-curi waktu saat bu guru masih sibuk mencari sesuatu dari tasnya.[Selamat pagi, sayangku. Semangat sekolahnya ya, love you]Aku menghela napas, meski senyumku sulit kembali. Pesan dari Mas Erlan tak ada yang berubah. Aku mencoba berpikir positif bahwa perkataan Hana salah. "Baik, anak-anak. Tadi guru sedang rapat sebentar ya, tapi bukan berarti kalian lepas tugas. Sekarang buka buku paketnya!"Aku menyimpan ponsel ke dalam laci, lalu membuka tas yang berada di belakang punggungku. Tari yang tepat dibelakangku mendekatkan wajahnya."Rizta, tadi ucapan Hana itu-""Gak, salah kali," jawabku cepat membantah. Begitu buku yang kucari ketemu, langsung berbalik ke depan menghindari Dewi. Mulutnya itu sedikit lemes, aku gak mau terpengaruh oleh omongann