Share

Jangan Macem-macem!

"Kamu Rizta kan?" tanyanya. Aku mengangguk dengan senyum tipis yang dipaksakan. Hatiku sedang tak aman, bertemu langsung dengan cowok yang selama ini saling mengirim pesan di WA. Sudah jelas deg-degan.

Di situasi ini, membuatku ingat pesan pertama dari Mas Erlan hingga berakhir di pertemuan pagi ini.

[Hy]

Begitulah awal mula pesan singkat Mas Erlan masuk, begitu melihat fotonya aku berani menanggapi. Kalau jelek, aku memilih acuh dan berakhir ku blokir.

[Siapa ya?]

Tak sampai sedetik, pesanku langsung dibacanya.

[Erlan, nama kamu siapa. Boleh kenalan?]

Aku terdiam sejenak membaca pesan itu berulang kali, tetapi ada yang harus kutanyakan lebih dulu.

[Dapat nomorku dari mana?]

Lagi, pesan itu cepat terbaca. Sepertinya emang lagi gabut ini cowok.

[Dari i*******m, nama kamu siapa?]

Alu menepuk jidat, sok kesal kalau ada nomor tak kenal iseng menghubungi. Padahal aku sendiri yang obral di semua sosial mediaku. Karena terlihat keren saja, teman-temanku juga melakukan itu. Menulis nomor WA mereke di bio sosial medianya. Kupikir siapa coba yang mau repot-repot salin nomor kita kan? Eh taunya ada juga orang begitu.

Sebelum membalas, ku buka akun I*******m. Lalu kuhapus nomor WA dari bio. Anehnya, tak ada akun baru yang mengikuti akunku.

"Kamu tenang aja, aku janji bakal buka masker. Tapi temen kamu suruh pulang dulu ya, aku gak bakal macem-macem kok. Kamu percaya sama aku kan?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

Ucapan cowok itu terus mencoba menyakinkanku, tetapi Vina--sahabatku sebaliknya. Ia menahan dan meminta agar bisa tetap ikut.

"Masa temen kamu mau jadi nyamuknya, gak enak dong," ucapnya lagi. Semakin membuatku dilema.

Sementara aku yang masih bingung, Vina tiba-tiba bersuara. "Ah, iya Rizta. Kan mau temenin aku cari jam buat cowokku dulu. Nanti baru deh kamu pergi sama dia, temenin aku ke toko jam dulu yuk!"

"Hah?" Tiba-tiba saja, padahal tadi gak ada janjian begitu. Aku melirik cowok tadi, ia mengangguk padahal aku belum bilang apa-apa.

"Aku tunggu di sana ya," ucapnya mengarahkan telunjuk ke bawah pohon tempat ia menunggu tadi. "Aku udah bawa helm loh, kamu jangan lama-lama ya. Kamu gak kasihan apa, aku nungguin dari jam delapan loh, kamu malah datengnya setengah sepuluh."

"Ma-maaf," ucapku. Mendengar ucapanya aku jadi merasa bersalah. Padahal karena sangking deg-degan mau bertemu. Sengaja kuundur waktu. Kuminta Vina membawa motor dengan santai dan membuatnya menunggu lama.

Vina cepat menarik tanganku untuk naik, sementara cowok itu putar arah kembali ke tempatnya semula. Aku masih mengamatinya meski motor yang kutumpangi sudah menjauh.

Tiba di toko jam, Vina gegas masuk mengajakku. Bertanya pendapatku untuk memilih model yang cocok. "Tiba-tiba banget, Vin. Beliin jam dalam rangka apa?"

"Ah, ituh Mas Arsya besok ulang tahun. Maaf tadi lupa ngomong," jawabnya masih melihat ke dalam jejeran jam di dalam lemari kaca.

Setelah beberapa menit memilah model yang bagus, Vina menetukan satu pilihan. Jam tangan berwarna hitam dengan pinggiran bagian lingkarannya ada warna biru. Sambil menunggu jam tangan dibungkus, Vina mendekatiku dan berbisik

"Gimana, kamu udah mikir. Yakin mau ikut berdua aja, kalau nanti dia bukan orang baik gimana. Aneh tahu, masa ketemuan tapi wajahnya gak mau dilihatin."

"Malu kali sama kamu, Vin," jawabku.

"Gak tenang tahu aku, lagian dia keknya bohong deh." Aku mengernyitkan dahi, dan bertanya bagian mananya. "Katanya dia orangnya item, pendek. Coba lihat tadi, tangannya aja putih, terus kelihatan tinggi gitu kok."

Aku tak sempat memperhatikan karena dilanda perasaan deg-degan. Sumpah jantungku saja masih berdegup kencang. Menurut Vina, dia tak seburuk deskripsinya kemarin saat chatingan. Kalau iya, buat apa coba dia bohong?

"Eh, tunggu, tapi dia gak mau buka masker ... apa jangan-jangan?"

Nah itu dia yang buat penasaran, apa ada sesuatu di bagian wajahnya?

"Ini, Dek. Jamnya sudah dibungkus sekalian," ucap penjaga toko, Vina langsung mengeluarkan selembar uang merah dan membayar jam lalu menerima plastik berisi jam. Setelahnya kami kembali ke motor.

"Gimana?" tanya Vina lagi, "Aku takut loh, kalau dia aneh-aneh gimana. Kan baru pertama ketemu, Ta!" Vina tampak geram karena aku tak kunjung memberi jawaban.

Sebuah pesan masuk dari ponselku, "Dia udah nunggu," ucapku menoleh pada Vina. "Kasihan, Vin."

"Aduh itu mah, cuma-"

"Tenang aja, Vin!" sergahku menyakinkan Vina.

Vina mengangguk, memintaku naik. Tak sampai lima menit kami sampai di bawah pohon itu. Cowok itu yang tadinya duduk langsung turun begitu aku tiba dan membuka jok motornya memberikan helm yang ia bawa.

"Ini helm ibuku, kan kamu bilang gak punya helm. Jadi kupinjemin ini ya. Aku gak mau bawa anak orang tapi gak jamin keselamatannya." Dengan ragu tanganku menerima helm hitam itu.

Rasanya perasaan takut tadi terkikis perlahan hanya karena benda pelindung kepala ini. Terlihat baik kan? Dia saja memikirkan keselamatanku kok.

Vina memberi kode agar aku mendekat, "Jangan mau diajak ke tempat sepi, main di tempat yang rame orang nongkrong. Terus ingat, nanti kalau ada apa-apa langsung WA aku ya."

"Iya, kamu online terus ya."

Entah dari mana keberanian ini datang, aku ingin ikut dengan Mas Erlan. Rasanya bertemu dengannya juga keinginanku sejak awal. Seolah rasa takut atas praduga pria itu bukan orang baik sirna begitu saja. Apa ini namanya uji nyali?

"Sini kupasangin?" Aku menggeleng pelan, bisa memasangnya sendiri.

"Mau diajak ke mana?" tanya Vina, Mas Erlan langsung melirik padaku.

"Ke Lembah gunung madu gimana, ke sana aja. Gak jauh juga, terus sabtu gini kan rame." Aku dan Vina saling lirik, cowok itu seolah tahu kekhawatiran sahabatku. Aku mengangguk sebagai jawaban pada Mas Erlan.

Motor Mas Erlan berputar arah, begitupun dengan Vina. Bibir Vina masih komat-kamit dan memberi kode. Setelah aku naik, dan berkata sudah siap. Mas Erlan malah menatap kepada Vina. "Duluan aja," ucapnya.

Vina berdecak kesal, terlihat rautnya tak suka. Namun, ia tetap melajukan motornya setelah pamit padaku. Setelah melihat motor Vina agak jauh, baru Mas Erlan melajukan motornya.

"Pegangan dong," ucapnya menoleh ke belakang sejenak.

Aku menggeleng pelan, dan untungnya ia tak memaksa. Sepanjang perjalanan kuperhatikan wajahnya yang tertutup masker dari kaca spion kiri. Dalam hati aku mulai menebak ada apa dibalik masker itu.

Apa ada masalah dengan giginya? Tonggoskah, atau ompong mungkin? atau bibirnya hitam mengkilap karena rokok? Ah semua tebakan ini terus menganggu, rasanya ingin segera tiba di tempat tujuan. Kusiapkan mental agar terima apapun itu ketika ia buka masker nanti.

Sesekali ia melirik ke kaca spion, dengan cepat aku mengalihkan pandangan. Menyadari diriku yang salah tingkah, terdengar kekehan kecil. Ditambah saat kulihat lagi di kaca spion, matanya menyipit. Ia sedang tersenyum, atau menertawaiku? Semoga bukan tawa jahat.

Akhirnya motor memasuki tempat wisata di daerah itu, setelah motor diparkirkan, aku turun. Cowok itu melangkah ke seorang pria yang memberi karcis parkir. Saat ia berbalik tangannya memegang kepala, "Helmnya copot," ujarnya.

"Ah, iya. Bentar," jawabku langsung mencoba membuka pengait di bawah dagu. Eh, tunggu kenapa susah sekali. Ah katroknya aku, lepas helm saja tak bisa, mana sudah ditunggu.

"Bisa gak?" tanyanya mendekat dan berdiri tepat di depanku. Tiba-tiba tangannya hendak menyentuh tanganku, gegas kuturunkan dan membiarkan tangannya mencoba membuka pengait helm itu.

Pandangku langsung ke bawah, tak berani menatap wajahnya yang terasa begitu dekat. "Udah, gampang gini kok. Modus ya?" tanyanya dengan kekehan kecil di ujung kalimatnya.

"Gak!" sergahku tegas.

Dia mengajakku naik tangga yang mana menuju tempat wisata itu. Saat kaki menginjak tangga pertama, aku melihat sekitar. Apa karena masih jam sepuluh pagi ya, jadi tempat ini tak seramai biasanya?

Tanpa aba-aba, tangan Mas Erlan meraih tanganku. Spontan kutepis dan menatapnya dengan tajam.

"Jangan macem-macem ya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status