Rita menarik kembennya yang sedikit melorot. Pemotretan untuk majalah tinggal satu sesi lagi dan gaun krem yang dia pakai saat ini adalah gaun terakhirnya. Setelah itu, dia bisa mengobrol puas dengan kekasihnya yang dari tadi menelepon. Ya, sudah lima panggilan dari Fathan tidak dia respo karena memang dari tadi dia tidak bisa mengangkat telfon. Tidak punya cukup waktu lebih tepatnya.
“Rita,” terdengar suara Lea, manajer Rita memanggil.
“Iya, Lea,” kata Rita. Gadis itu memejamkan mata karena ada MUA yang sedang melakukan retouch pada eye shadow-nya.
Rita lalu masuk ke dalam ruang make-up. “Belum selesai?” tanyanya pada Rita.
“Sudah kok, Mba,” kata MUA yang tadi memoles kelopak mata Rita.
“Yaudah, kita ke studio yuk,” kata Lea. Dia lalu menggandeng Rita yang sudah berdiri.
Rita melakukan pemotretan kurang lebih selama dua puluh menit. Selama sepuluh menit dia mengikuti arahan fotografer untuk pose berdiri, sementara sepuluh menit sisanya dia pose dengan duduk di lantai berselonjor.
Setelah proses pemotretan selesai, si fotografer menunjukkan hasil jepretannya pada Rita dan Lala. Mereka bertiga duduk di sebuah kursi panjang yang menempel di tembok studio.
“Foto yang selonjoran hasilnya bagus-bagus deh,” kata Lea, “iya nggak, Ta.”
“Yang duduk di kursi juga bagus, Lea,” kata Rita.
“Eh, tapi semuanya bagus deh,” kata Lea lagi.
“Iya dong,” sahut Rita. Dia mengembalikan kameranya kepada si fotografer, “siapa dulu modelnya.”
“Oh, fotografernya nggak dianggep nih,” si fotografer yang sudah memakai tas ranselnya, protes.
Rita dan Lea tertawa bersaman. “Yaampun, maaf,” kata Rita.
“Yee,” kata si fotografer, “yaudah gue balik dulu lah.” Dia lalu bergantian menyalami Rita dan Lea.
Setelah si fotografer pergi, Rita lalu menuju ruang ganti. Lala mengikutinya. Wanita itu menunggu di luar ruang ganti. Iseng, dia mengecek ponsel Rita yang tergeletak di atas meja rias. Dia geleng-geleng kepala melihat enam belas panggilan tak terjawab dari Fathan, kekasih Rita.
“Ta, cowok lo masih suka tantrum nggak jelas nggak kalo lo nggak respon telfonnya?” kata Lala setelah meletakkan ponsel Rita di meja rias lagi.
“Masih,” sahut Rita dari dalam ruang ganti, “kenapa emang?”
“Ini ada enam belas missed call dari dia,” kata Lea, “feeling gue bakalan tantrum deh entar cowok lo.”
Rita keluar dari ruang ganti dengan senyum miris tercetak di bibirnya. “Udah biasa, Lea,” katanya, “gue udah kebal.”
Raut wajah Lea terlihat kesal. “Lo tuh kenapa nggak putusin aja sih cowok lo yang sakit jiwa itu,” katanya. Wanita satu ini memang terkenal ceplas-ceplos. Lagi pula, dia sudah sepuluh tahun lebih menjadi manager Rita dan dia mengikuti perjalanan asmara Rita sejak masih pedekate dengan Fathan. Dia tahu betul kalau Rita tidak akan sakit hati dengan ucapannya karena sifat Fathan yang dia ucapkan itu memang benar adanya.
Rita duduk di kursi rias. “Gue sayang banget sama dia, Lea,” kata Rita, “lagian kan lo juga tahu kalo gue sama Fathan udah pacaran enam tahun lebih. Nggak semudah itu buat gue ngelepasin dia.”
“Gue mungkin bisa aja mutusin Fathan,” kata Rita lagi, “tapi setelah itu belum tentu gue bisa gampang move on.”
Lea tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Iya gue tahu,” katanya, “apalagi kalo inget goyangan dia di atas ranjang, lo pasti makin susah move on.”
Rita terkekeh. “Dih apaan sih?” katanya, “udah ah, ayo balik. Gue mau istirahat.”
Baru saja Rita dan Lea akan keluar dari ruangan, orang yang daritadi dibicarakan datang. Fathan masuk ruangan dengan langkah-langkah lebar dan terburu-buru. Laki-laki berambut lurus dan tebal itu lalu meraih lengan Rita dengan posesif.
“Eh ... eh lo apaan sih. Jangan kasar dong,” kata Lea.
“Bukan urusan lo ya gimana gue mau memperlakukan cewek gue,” kata Fathan, “lagian pemotretannya ydah selesai kan? Jadi gue bisa ngajak Rita ke mana aja.”
Tanpa menunggu reaksi Lea, Fathan lalu mengajak Rita berjalan keluar ruangan. Dia menarik lengan gadis itu agar bisa berjalan lebih cepat mensejajari langkahnya.
“Yang, bisa pelan dikit nggak sih jalannya?” keluh Rita.
Fathan tidak merespon. Dia terus menarik tangan Rita. Bahkan langkahnya semakin lama semakin cepat. Baru setelah masuk ke dalam lift dia melepaskan cengkeramannya di pergelangan tangan Rita.
“Kamu kenepa nggak angkat telfonku dari tadi?” tanya Fathan. Nada suaranya meninggi dan penuh tekanan. Tatapannya tajam.
“Aku nggak ada waktu,” sahut Rita. Sebenarnya dia muak dengan sikap Fathan yang kekanak-kanakan begitu. Tanpa dijelaskan juga seharusnya Fathan tahu kalau saat bekerja, Rita tidak bisa diganggu. Malah sebenarnya Rita enggan menjawab pertanyaan Fathan. Kalau sedang bad mood gadis itu malas berbiicara. Tapi mau bagaimana lagi, fathan bisa makin murka kalau diabaikan.
“Alasan,” kata Fathan. Dia lalu menarik pinggul Rita dengan gesit sehingga Rita tak sempat menghindar meski pinggulnya terasa sakit. Seperti orang haus, bibir Fathan menyerang bibir Rita dengan kecupan-kecupan dalam. Ciumannya brutal, liar dan penuh dengan nafsu. Bersamaan dengan terbukanya pintu lift, Fathan baru mengakhiri serangannya.
Perempuan pada umumnya mungkin akan merasa bahagia dan berbunga-bunga kalau mendapat ciuman dari kekasihnya. Tapi, Rita tidak. Karena dia sama sekali tidak bisa merasakan kenikmatan cinta dari apa yang Fathan lakukan. Karena dia sadar selama ini dia dan tubuhnya hanyalah pelampiasan birahi.
***
Jam yang tergantung di dinding kantor sudah menunjukkan jam setengah sepuluh malam. Endra masih berkutat di depan komputer di meja kerjanya. Laki-laki yang rambutnya berwarna kecokelatan itu tampak serius melihat laporan data penjualan kamar hotel dari setiap cabang hotel di seluruh kota di Sumatra, Jawa dan Bali.
Saat Kara, asistennya, masuk pun dia masih fokus meneliti data yang dia lihat di layar komputer. Saat gadis bertubuh langsing itu memanggilnya, dia baru mendongak.
“Pak Endra nggak mau makan malam dulu?” tanya Kara. Wanita itu berdiri di dekat pintu.
“Lo udah beli?” tanya Endra.
Kara tersenyum tipis. “Sudah, Pak,” katanya, “dari tadi jam delapan.”
“Oh, lo makan dulu aja kalo gitu,” katanya, “entar gue nyusul. Ini bentar lagi kelar kok.”
“Kalo bentar lagi selesai, saya tunggu Pak Endra aja,” kata Kara.
“Atau kalo nggak suapin aja tuh anak, Kar.” Fajar, ayah Endra, tiba-tiba masuk ruangan. laki-laki yang kepalanya hampir dipenuhi uban itu memakai kaos dan kulot. Sepertinya dia datang dari rumah.
Yang masuk ke dalam ruangan setelah Hana dan Fajar keluar adalah Endra. Laki-laki itu awalya canguung saat melangkah ke dalam ruangan. Namun akhirnya dia bersuara juga setelah kakinya terhenti di dekat ranjang.“Kenapa lo nggak pernah cerita kalo lo sakit jantung?” tanya Endra.“Sebelumnya gue juga nggak tahu kok kalo gue sakit jantung. Gue baru ta ...”“Bohong,” sahut Endra, “gue pernah nemuin botol kecil tempat obat di kamar lo pas mau ngambil jam tangan Papa yang lo pinjem.”Zevan menghembuskan napas panjang. “Gue nggak mau terlihat lemah di hadapan orang-orang terdekat gue dan keluarga gue.”Endra tak menyahut. Dia memahami perasaan Zevan. Sebagai seorang anak laki-laki, dia juga gengsi akan bercerita tentang penyakit atau kelemahannya kepada keluarga.“Terus selama ini kenapa lo musuhin gue?” tanya Endra, “seharusnya kita nggak kayak gini nggak sih?”“Gue benci sama lo karena nyokap lebih sayang sama lo,” kata Zevan, “gue udah berusaha maklum kalo Papa selalu jarang ada di rumah
Saat diberi tahu tentang perayaan hari ulang tahun sebenarnya Zevan tidak terlalu tertarik. Karena dia yakin momen itu tak akan menjadi momen yang spesial sespesial momen ulang tahun Endra. Dia bahkan berniat pergi di hari ulang tahunnya itu. Biar saja orang-orang rumah merayakan semua tanpa dirinya. Tapi setelah dinasihati Dania, akhirnya Zevan pun luluh. Meski tak terlihat bersemangat, Zevan tetap keluar kamar sekitar jam tujuh malam.Saat melihat dekorasi di ruang tamu rumahnya yang disulap menjadi hall, Zevan seketika merasa muak. Ruangan itu didekorasi dengan warna serba putih, warna kesukaan Endra. Pasti ini ide Hana. Lihatlah, di saat banyak Evolutioners yang menetahui hal-hal kecil tentang Zevan, ibunya sendiri malah tidak tahu warna favoritnya.Zevan seketika menghembuskan napas kasar. Dia ingin berbalik dan masuk ke dalam kamar lagi. Tapi niatnya itu tak berjalan mulus lantaran Fajar memanggilnya saat kakinya baru berjalan satu langkah.“Mau ke mana kamu?” tanya Fajar.“Mau
Seiring dengan renggangya komunikasi Zevan dan Dania, pemberitaan di sosial media tentang mereka juga mereda. Seharusnya Dania senang karena dengan begitu dia tak menjadi bahan kejar-kejaran awak media lagi. Tapi, kenyataannya tidak. Dia justru semakin merasa kosong karena itu sekaligus memperjelas kalau dia dan Zevan memang sudah sejauh itu sekarang.Dania lalu memikirkan saran dari Sisil. Apakah memang sebaiknya dia mengajak Zevan mengobrol? Karena jujur, dia sudah sangat muak dengan kecanggungan yang terjadi di antara dia da Endra selama bebeberapa minggu belakangan ini.Setelah berpikir selama beberapa menit, akhirnya Dania memutuskan untuk mengajak Zevan mengobrol. Dia memutuskan untuk berbicara dengan laki-laki itu setelah Evolution tampil.Tanpa Dania sangka, ternyata Zevan juga berniat mengajaknya berbicara. Karena saat bertatap muka, keduanya mengucapkan, “gue mau ngobrol sama lo,” secara hampir bersamaan.“Lo duluan aja,” kata Dania akhirnya.“Lo saja,” kata Zevan.“Lo dulua
“Jadi lo ngehancurin kencan mereka?” tamya Dania.“Iya,” sahut Zevan, “kesian anjir ceweknya tampangnya langsung bete gitu.”Dania terbahak. “Lah itu kan ulah lo juga kali,” katanya.“By the way, tadi gue udah mutusin kalo kita bakalan kelihatan kaya orang pacaran pas di depan Karra sama Endra aja,” kata Dania lagi.Zevan tak langsung menjawab. Kalau Dania sudah memutuskan seperti itu berarti kemungkainan mereka bersamaan akan berkurang. Tapi toh tak ada bedanya juga. Saat sedang bekerja pun dia teteap bisa mendekati Dania.“Zevan,” sahut Dania dari seberang, “kok lo diem sih?”“Eh, ya nggak apa-apa kalo misalnya keputusan lo kaya begitu,” sahut Zevan. Tapi sebenarnya dia berat mengucapkan hal itu.***Dania merasakan perubahan sikap Zevan selama beberapa hari. Kalau biasanya laki-laki itu sering mengobrol dengannya setiap istirahat makan siang, belakangan ini laki-laki itu jarang berbicara dengannya. Zevan berbicara dengannya kalau tentang masalah kerjaan saja. Sama persis saat awal-
Endra tentu saja panik melihat Karra. Dia lalu berusaha menenangkan gadis itu.“Hei, udah dong nangisnya. Aku minta maaf,” kata Endra, “Dia lalu mengusap pipi Karra yang basah dengan ujung ujung jarinya.“Sini,” kata Endra. Dia lalu mendekap Karra Erat-erat.“Jadinya kamu kenapa kok jadi aneh sikapnya ke aku setelah pesta malem itu?” tanya Dania setelah Endra melepaskan pelaukannya.Endra menghembuskan napas kasar. “Aku cuma masih syok aja ngelihat Zevan jaian sama seseorang yang pernah ada hubungan sama aku.”Karra menghembuskan napas panjang. “Beneran cuma itu? Sykur deh kalau kecurigaanku gak bener.”Endra tersenyum. Dia lalu mendekatkan wajahnya ke Karra. Tanpa aba-aba, dia menyematkan kecupan lembut dan dalam di bibir gadis itu. Rasanya seperti sudah lama sekali dia tak menyalurkan perasaannya pada Karra. Maka, dia lampiaskan semuanya sekarang. Perlahan, tangan kanannya pun mulai merayap di bawah rok Karra. Namun ketika mencapai pinggul gadisya itu, tangannya terhenti lantaran te
“Ayo buruan,” kata Hana.Endra menghembuskan napas kasar. Dia lalu maju lebih dulu.“Zevan buruan!” kata Hana.Akhirnya Zevan ikut maju juga. Mereka berdua akhirya saling bersalaman walau tak saling pandang. Hana geleng-geleng kepala melihatnya. Wanita itu lalu menghembuskan napas panjang.“Cepetan balik ke kamar sana, Endra,” kata Fajar, “Papa nggak mau ya ngeliat kalian berkelahi lagi kaya gini.”“Nggak janji,” kata Endra. Dia lalu beranjak pergi.***Seperti yang sudah Zevan duga sebelumnya. Kemunculannya dengan Dania di pesta malam itu pasti akan mengundang perhatian publik. Zevan tak tahu siapa pelaku pertama yeng mengunnggah video itu di internet. Yang pasti keesokan harinya setelah pesta itu selesai, videonya berdansa dengan Dania sudah tersebar di sosial media. Di X bahkan hastag ZevanDania masuk ke dalam sepuluh besar trending.Zevan ada jadwal nanti jam satu siang. Mungkin, dia baru akan keluar rumah sekitar jam sebelas pagi atau jam setengah dua belas siang. Selama itu dia