"Ri, lo ada acara atau meeting gitu gak hari ini?" tanya Vera melalui sambungan telepon.
"Enggak. Kenapa?"
"Tolong ke Monokrom susulin Candra dong. Gue dipanggil big boss ke pusat nih."
"Hah? Lo dipanggil Pak Antara? Ngapain?" Ria heran mendengar Vera dipanggil ke pusat oleh Tara.
"Mana gue tau. Bisa gak ke sini?"
"Lo yakin Antara manggil lo? Hati-hati loh Ver lagi jamannya penculikan," ujar Ria sedikit khawatir.
"Heh Antara Antara aja. Iya ini beneran big boss yang manggil."
"Coba telepon sekretarisnya. Beneran dah Vera, waspada!" Ria tetap tidak percaya begitu saja.
"Ck. Gue di email langsung pake email perusahaan. Yaudah sih Ri, tenang aja. Gue cuman mau ke pusat kok."
"Gue kirim supir kantor deh ya. Tunggu gue, nanti habis antar gue ke Monokrom Pak supir langsung antar lo ke Pusat. Jangan membantah!"
"Anton, tolong beliin perlengkapan untuk perban di apotek. Mau minuman juga deh beli di kafe terdekat aja. 60 gelas, all variant, jangan lupa susunya buat aku. Apa lagi ya, hmm cemilan boleh deh. Beli aja terserah kamu berapa banyak. Ku kirim uangnya sekarang. Ajak security yang jemput kamu juga aja untuk bantu bawa minumannya," ujar Ria melalui sambungan telepon tanpa disela sedikitpun oleh Anton."Baik, Nona." Ria mematikan sambungan telepon setelah mendengar respon dari Anton."Hallo, kenalin saya Faris, sutradara untuk shooting kali ini." Seseorang mengulurkan tangannya ke hadapan Ria."Oh iya, Ria perwakilan dari tim proyek Intrafood." Ria menyambut uluran tangan tersebut dan berusaha tersenyum ramah."Ayok duduk di depan monitor saja di samping kursi saya untuk melihat hasilnya secara langsung dari layar." Faris menawarkan Ria untuk pindah tempat."Boleh, M
Hai pembaca aku yang tidak aku ketahui siapa gerangan. Terima kasih ya sudah membaca tulisanku. Aku sangat menghargai kalian yang sudah membaca sejauh ini. Aku harap kita bisa menjalin komunikasi melalui komentar atau apapun. Bisakah kalian memberikan jejak berupa komentar? Hehe Atau kalian ada yang dibingungkan terkait isi cerita ini? Bisa sekali, ditanyakan. Kita bisa diskusi ya. Kalau memang kamu paham sekali tentang case di cerita ini, bisa juga ya beri masukan. Sekecil apapun masukan/komentar dari kalian, semoga bisa berefek besar dalam kualitas penulisanku ke depannya. Sekali lagi, terima kasih ya sudah membaca ceritaku. Jika berkenan, mau minta tolong bagikan juga ke teman-teman sekitarmu untuk ikut bersama mengarungi kisah ini. Salam hangat, Mochi 💓
Kenapa aku dibawa ke sini? Papah udah gak sayang aku ya? Papah suruh aku pergi juga seperti Reno dan Rey?Aku gak tahu salah aku apa. Kenapa mereka marah sama aku? Kenapa juga aku dikirim ke sini? Gak sekalian aja kirim aku pergi dari dunia ini?"Arrrggghhhh." Aku meraung mengeluarkan segala rasa sakit ini. Menjambak rambutku saja rasanya sudah tak ada. Di dalam sini sakit sekali.Memang setidak berguna itu aku ada di dunia ini? Kenapa Tuhan gak ambil aku aja. Ria capek, Tuhan. Ria sakit. Ria ingin pergi dan gak lagi hidup di tengah kebencian dan orang yang selalu minta Ria pergi.Segala cara telah Ria coba untuk pulang ke sisi Tuhan, tapi kenapa gak pernah berhasil? Tuhan mau apa sih dari Ria? Tuhan gak tolong Ria, Tuhan malah kirim Ria ke sini. Tuhan suruh Papah kirim Ria ke sini kan? Ria harus apa Tuhan?Ria gak pernah minta dilahirkan dari orang tua kaya raya banyak h
"Ri, bangun udah siang," ujar Tian dari depan pintu kamar Ria. Sebenarnya masih pukul 9 pagi, tapi menurut Tian itu sudah termasuk siang. "Kok gak dijawab?" Tian membuka knop pintu untuk melihat keberadaan Ria. Begitu masuk ke dalam kamar, yang dilihatnya adalah Ria masih terlelap di dalam selimutnya. "Mau bangun gak?" bisik Tian di hadapan Ria sambil ia mengelus rambut halus Ria. "Engga," balas Ria yang masih setengah sadar. Ia makin mengeratkan pelukannya dengan boneka beruang coklat pemberian Tian. "Yaudah, take your time. Aku ke gym dulu ya," pamit Tian dan keluar kamar Ria untuk menuju tempat gym di tower 3. Ria benar-benar menikmati waktu tidurnya di hari Sabtu ini. Rasanya seperti sudah lama ia tak tidur dengan baik semenjak projectnya berjalan. Ria baru terbangun pukul 11 siang. Ia melihat Tian yang sedang menonton serial film di TV sambil m
"Udah, sampai sini aja. Kasih ke security biar mereka yang bawa naik!" titah Ria pada kelima pengawal yang mengikutinya dari supermarket tower satu.Ria berjalan menuju resepsionis berada untuk meminta bantuan security membawa barangnya dan melaporkan jika ada dua kawannya yang akan berkunjung ke unitnya."Tolong tunjukkan KTP-nya dan tinggalkan identitas diri sebagai jaminan," pinta resepsionis tersebut pada Jimmy dan Januar. Ria bertemu Januar tadi di perjalanan kembali menuju tower tiga dan Januar memutuskan untuk ikut bergabung berkunjung ke tempat Ria.Jimmy dan Januar saling pandang. Ia tak yakin untuk memberikannya, nanti penyamaran yang mereka lakukan malah terbongkar di lobby ini."Gak masalah kok. Ini salah satu prosedur keamanan di tower tiga. Privasi kalian terjamin. Kalau nanti terbongkar, kalian bisa tuntut resepsionis itu karena melakukan pelanggaran," jel
Tok. Tok. Tok. Tok "Non, bangun. Ke kantor gak?" Ketiga kalinya Bi Sumi mengetuk pintu kamar Ria. Nonanya belum juga memberi sahutan. Bi Sumi memutuskan untuk masuk ke dalam kamar nonanya, meskipun ia sedikit takut karena Ria tak suka kamarnya dimasuki orang lain.Ria masih terlelap di balik selimutnya. Ia sangat kelelahan karena baru menyelesaikan pekerjaannya di jam tiga pagi. Ritme kerjanya akhir-akhir ini sudah di luar batas kemampuannya, tapi tetap ia paksakan. Pemimpin memang seperti itu, kelihatannya saja mudah menyuruh bawahannya untuk bekerja, padahal beban kerjanya lebih di atas mereka."Non, ayo bangun, sudah jam 8. Bukannya kantor Non masuk jam 9?" Bi Sumi menepuk pelan lengan atas Ria. Ia juga tidak tenang tidurnya tadi malam karena nonanya masih bangun dini hari.Ria melakukan sedikit pergerakan, ia masih berusaha mengumpulkan nyawanya yang entah pergi kemana. Tubuhnya sakit sekali.
"Sakit." Terdengar suara lirihan yang cukup menyayat hati bagi yang mendengar. Tian menghampiri Ria dan berusaha menenangkannya."Iya sakit, mana yang sakit?""Kepala, hidung, tangan." Ria menjelaskan dengan perlahan karena ia masih belum memiliki tenaga yang banyak untuk berbicara."Sini aku pijit ya." Tian memijat kepala Ria yang katanya sakit. Ia memijat dengan lembut dan penuh kasih sayang."Tenggorokan aku sakit banget." Ria menepuk-nepuk lehernya untuk menghilangkan sakit seperti tercekik. "Jangan dipukul Ri, kasian." Tian menghalau tangan Ria yang sibuk memukul lehernya."Tidur lagi ya." Tian membujuk Ria untuk kembali memejamkan matanya. Saat ini masih pukul dua dini hari.
Keheningan melingkupi ruangan yang berisi dua manusia dengan perasaan yang berbeda. "Aku gapapa," ujar sang lelaki dengan malas. Ia hanya jatuh dari motor dan masih selamat.Ria tidak mengeluarkan satu kata pun sedari tiba di kamar sang adik. Ia masih memandang Reynal dengan perasaan berkecamuk. "Mau sampai kapan sih diem-dieman? Aku gapapa, Kak. Aku gak mati, masih hidup dan lagi diliatin terus dari tadi." Rey muak lama-lama melihat kakaknya yang hanya diam saja."Ikut Kakak pulang yuk," ujar Ria yang membuat Rey mengernyitkan dahi. Kan' mereka sudah di rumah."Ke Rajawali." Rey menggelengkan kepala, ia tidak mau ke sana. Dari dulu ia memang tidak suka apartemen. Ria menghela napas, ia sudah tahu adiknya pasti akan menolak.“Siapa tadi yang antar